DENGAN infeksi yang terus meninggi, pandemi virus corona telah bergeser dari instabilitas lingkungan menjadi kerentanan sosial. Para ahli sepakat bahwa kemunculan virus-virus ganas akibat tak seimbangnya antara degradasi alam dengan daya dukung ekosistem. Keduanya menghasilkan krisis iklim yang, salah satunya, membangkitkan pandemi.
Untuk mengukur seberapa paham masyarakat akan dampak krisis iklim, United Nation for Developing Program atau Badan Pembangunan PBB menggelar survei pada 7 Oktober hingga 4 Desember 2020. Hasilnya dipublikasikan dalam laporan People’s Climat Vote pada akhir Januari 2021.
Surveinya cukup unik karena delapan pertanyaan tentang krisis iklim disisipkan melalui aplikasi game permainan populer seperti Angry Bird, Dragon City atau Subway Suffers. Sebanyak 1,22 juta responden, termasuk dari Indonesia, merespons pertanyaan-pertanyaan tersebut. Responden berusia kurang dari 18 tahun hingga lebih dari 60 tahun.
Temuannya cukup menarik dan mengejutkan. Remaja di bawah 18 tahun ternyata cukup peka dan punya pengetahuan tentang dampak perubahan iklim serta cara mencegahnya. Persentasenya bahkan melampaui orang-orang tua.
Sebanyak 70% remaja di bawah 18 tahun menjawab bahwa krisis iklim sudah darurat dibandingkan responden usia 18-25 tahun sebanyak 65%, lalu usia 36-59 tahun sebanyak 60%, dan responden di atas 60 tahun hanya 58%.
Para responden juga paham mitigasi mencegah pemanasan global yang efektif, yakni peran negara dan pemerintah. Agaknya Greta Thunberg benar-benar populer di kalangan anak muda dalam setahun terakhir. Remaja Swedia berusia 17 tahun itu secara persisten mendorong peran negara dalam membuat kebijakan mencegah pemanasan global.
Greta berbicara di banyak forum dunia untuk menyerukan dunia bersatu membuat kebijakan agar suhu bumi tak naik melewati 20 Celsius dibanding tahun 1800. “Kami sudah menyelesaikan pekerjaan rumah kami, sekarang tinggal Anda sekalian yang harus bertindak,” katanya, di depan parlemen Inggris pada awal 2020.
Seperti tecermin dalam laporan Forest Digest edisi 15, Greta meluapkan kemarahan kepada Komisi Uni Eropa dalam sebuah demonstrasi di Brussels awal Maret 2020. Ia menuding Komisi Uni Eropa tak serius menjalankan janji mereka menuju nol emisi setelah wakil dari 27 negara Eropa itu menunda perjanjian nol emisi (European Green Deal) menjadi 2030.
Buat Greta, peran negara amat penting menghentikan krisis iklim karena kebijakan negara pula yang menyebabkan pemanasan global. Seperti tecermin dalam survei UNDP yang diolah oleh para ahli dari Universitas Oxford Inggris, pilihan cara mencegah krisis iklim hanya bisa dilakukan secara kolektif melalui kebijakan politik.
Karena itu, responden dari negara maju dan berkembang, negara kepulauan atau daratan, negara yang rendah emisi maupun mereka yang memproduksi polusi gila-gilaan, memilih konservasi hutan dan lahan sebagai cara efektif mencegah pemanasan global.
Sebanyak 57% responden Indonesia memilih cara ini untuk mencegah pemanasan global, lebih tinggi dari rata-rata responden yang memilih konservasi di semua negara Asia Pasifik sebesar 48%, namun lebih rendah ketimbang jawaban responden negara maju sebanyak 61%.
Di Indonesia, krisis iklim sudah terlihat melalui pelbagai bencana. Banjir besar di Kalimantan Selatan menunjukkan musim berubah akibat deforestasi dan degradasi lahan. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja akan fokus menggenjot ekonomi dengan mendorong lebih laju industri ekstraktif yang mengeruk secara langsung sumber daya alam.
Secara umum, para respondoen memilih cara mencegah krisis iklim melalui konservasi hutan dan lahan sebanyak 54%, disusul pemakaian energi angin, matahari, dan energi terbarukan lainnya, lalu teknik pertanian yang ramah lingkungan, transportasi, dan terakhir promosi makanan sehat. Dari urutan ini, para responden paham bahwa mencegah krisis iklim dimulai dari kebijakan negara, lalu industri, kemudian tindakan personal.
Dalam hal kebijakan, para responden juga menaruh perhatian pada “lindungi lingkungan dahulu, sebelum membangun ekonomi”. Manajemen lingkungan yang lestari mendapat skor tertinggi sebesar 1,37 dari skor maksimum 3. Lalu energi sebesar 1,3, kemudian pertanian dan makanan, transportasi, ekonomi hijau, dan melindungi komunitas.
Administrator UNDP Achim Steiner mengatakan bahwa hasil survei ini dengan jelas menggambarkan bahwa tindakan melindungi iklim yang mendesak mendapat dukungan luas dari orang seluruh dunia secara lintas usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan. “Lebih dari itu, jajak pendapat ini menunjukkan bagaimana orang-orang menginginkan pembuat kebijakan mengatasi krisis,” katanya.
Prof Stephen Fisher dari Departemen Sosiologi Universitas Oxford mengatakan bahwa survei UNDP ini merupakan survei opini publik terbesar tentang perubahan iklim yang pernah ada dengan hasil mengejutkan. Ia menyebutnya sebagai “harta karun” data opini publik yang belum ia lihat sebelumnya.
“Pengakuan tentang keadaan darurat akibat krisis iklim jauh lebih luas daripada yang diperkirakan sebelumnya,” kata dia. “Survei juga menunjukkan kebanyakan orang menginginkan tanggapan kebijakan yang kuat dan meluas."
Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :