Kabar Baru| 05 Februari 2021
Ujian Demokrasi Saat Pandemi
PERGESERAN pandemi dari instabilitas lingkungan menjadi kerentanan sosial kian merembet dengan menguji sistem demokrasi tiap negara. Indeks demokrasi global, seperti terlihat dalam laporan The Economist Intelligence Unit yang baru terbit, merosot pada 2020. Jika dibanding 2019 yang masih 5,44 turun menjadi 5,37 pada 2020, dari skala 1-10.
Pandemi menguji tiap negara bersetia pada nilai-nilai demokrasi. Ada lima parameter yang diukur oleh The Economist—majalah ekonomi politik terkemuka dari Inggris berumur 178 tahun—yakni pluralisme dan sistem pemilihan, peran pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.
Dari 167 negara yang dinilai, Norwegia mendapatkan skor tertinggi sebesar 9,81 dan terendah Korea Utara dengan 1,08. Indonesia berada di posisi 64 dengan skor 6,30, sama dengan Lesotho—negara berpenduduk 2,1 juta jiwa berbentuk kerajaan di Afrika Selatan. Indonesia berada jauh di bawah Timor Leste, bahkan kalah oleh Filipina.
Skor demokrasi Indonesia itu terendah sejak 2006. Meski tak ada analisis khusus tentang Indonesia, skor rendah Indonesia karena kebebasan sipil dan budaya politik yang rendah. Tak ada oposisi solid di parlemen, banyaknya penangkapan masyarakat sipil karena pendapat, agaknya yang membuat skor Indonesia dalam parameter ini paling rendah dibanding partisipasi politik dan pluralisme.
Dengan skor sebesar itu, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat (flawed). Ada empat kategori indeks demokrasi: < 4 otoriter, 4-6 rezim hibrid, 6-8 demokrasi cacat, dan > 8 demokrasi penuh. Di kawasan Asia dan Australasia, hanya Selandia Baru, Australia, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan yang mendapat skor tertinggi karena menerapkan demokrasi penuh.
Menurut The Economist, pandemi menjadi salah satu sebab merosotnya indeks demokrasi global akibat penerapan karantina wilayah yang membatasi pergerakan manusia untuk mencegah penyebaran wabah corona. Keinginan pemerintah tiap negara mencegah wabah membuat penanganannya kebablasan dari penghargaan terhadap kebebasan sipil. Di Indonesia bahkan ada ancaman pidana bagi mereka yang menolak vaksin dan pembatasan interaksi sosial.
Meski tak secara khusus menghubungkan pandemi dan demokrasi, indeks demokrasi global The Economistmenggarisbawahi soal ini. Majalah ini menyorot keberhasilan karantina wilayah di Cina yang relatif berhasil. Para pengamat, seperti Slavoj Žižek, langsung menyimpulkan bahwa peran negara akan makin menguat setelah pandemi akibat keberhasilan Cina menangani wabah.
Menurut The Economist, budaya dan sistem politik Cina berbeda sehingga mendorong otoritarianisme penanganan wabah relatif berhasil. Jika dilihat secara keseluruhan, negara-negara yang menerapkan demokrasi penuh justru lebih banyak yang sukses menangani pandemi virus corona.
Di Asia dan Australasia adalah contoh nyata. Semua negara yang menerapkan demokrasi penuh di kawasan ini tercatat sukses menangani wabah. Selandia Baru yang mendapat skor demokrasi tertinggi, berada di depan dalam penanganan wabah. Di sana, jumlah orang terinfeksi bisa dihitung dengan jari, bahkan pernah selama sebulan sama sekali tak ada kasus baru sehingga pemerintah Perdana Menteri Jacinda Ardern membuka karantina wilayah dan hidup kembali normal.
Kunci negara-negara demokrasi berhasil menangani pandemi adalah keterbukaan. Sejak dari data hingga cara menanganinya. Dengan transparan, masyarakat mengikuti langkah-langkah penanganan tahap demi tahap. Pelanggaran terhadap karantina wilayah relatif kecil karena masyarakat patuh terhadap program pemerintah.
Tes, penelusuran, dan penanganan menjadi tiga cara pemerintahan demokratis dalam mencegah penularan. Keterbukaan juga membuat kebebasan sipil yang menjadi inti demokrasi tidak terganggu. Taiwan, yang naik skor menjadi demokrasi penuh di masa pandemi, juga menerapkan keterbukaan data dan kebijakan.
Keterbukaan juga meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Hasilnya, mereka patuh terhadap pembatasan karantina wilayah, betapa pun kebijakan ini cenderung melanggar hak dan kebebasan individu. Seperti yang terjadi di Taiwan. The Economist menyorot secara khusus peningkatan skor demokrasi di negara ini.
Tahun 2019, skor demokrasi Taiwan berada di peringkat ke 31 secara global. Tahun lalu skornya melesat menjadi posisi 11 dengan skor 8,94, di atas Swiss dan Jerman. Kebebasan individu, partisipasi politik yang meningkat terutama di kalangan muda membuat skor demokrasi Taiwan melesat. “Dalam hal Taiwan, demokrasi menjadi pertahanan terbaik mencegah ancaman Cina,” tulis The Economist.
Majalah ini menyoroti transparansi pembiayaan partai politik, kebebasan memilih anggota parlemen dalam pemilu Januari 2020, reformasi hukum dengan peradilan yang independen. Dengan transparansi dan partisipasi yang tinggi, membuat Taiwan sukses menangani wabah tanpa harus menerapkan karantina wilayah dalam skala besar.
Masyarakat Taiwan dengan sukarela mematuhi kebijakan pencegahan wabah, termasuk ketika pelacakan dan tes melacak penyebaran virus. Skor rendah Taiwan hanya belum ada organisasi mapan dalam melindungi data pribadi, seperti Selandia Baru dan Australia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :