Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 Februari 2021

Tiga Langkah Mengubah Nasib Masyarakat Adat

Masyarakat adat bukan fakta hukum, seperti halnya negara, melainkan suatu fakta sosio-antropologis. Tiga langkah melindungi masyarakat adat.

Seren taun Kasepuhan Cisungsang Sukabumi, Jawa Barat (Foto: Dok. PSKL)

MESKI ditolak Fraksi Partai Golongan Karya, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) kembali masuk program legislasi nasional tahun 2021. Terakhir, RUU ini masuk program legislasi 2019, lalu tak jelas nasibnya.

Kini, meski telah masuk program pembahasan, DPR belum menyurati Presiden Joko Widodo agar Pemerintah mengagendakan pembahasannya. Pada periode pertama pemerintahannya, Jokowi gagal menyusun daftar inventarisasi masalah. Dengan tak ada surat permintaan membahas RUU ini, ada kekhawatiran naskah tersebut kembali mentok tak sampai pembahasan.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi masyarakat yang getol mengadvokasi masyarakat adat, bereaksi keras. Dalam rilis baru-baru ini, mereka terang-terangan menyebut Golkar berkhianat.

AMAN mengkritik penjelasan Golkar bahwa RUU MHA tidak mendesak. “Pernyataan itu menunjukkan sikap Fraksi Golkar yang terang-terangan menutup mata terhadap berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat, perampasan wilayah adat, pengusiran paksa, kriminalisasi dan kekerasan yang masih terus terjadi di berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia," demikian salah satu butir pernyataan AMAN.

Selain itu, dalam poin lain, AMAN menyatakan bahwa “Sikap Golkar itu berbahaya karena menganggap persoalan rakyat tak penting dibicarakan di parlemen.”

Tak berubah

Jika kita cermati, hampir tidak ada perubahan yang berarti antara RUU MHA versi 2019 dan versi 2018. Perubahannya hanya bersifat redaksional. Dengan begitu, sembilan kelemahan yang pernah saya sampaikan beberapa waktu lalu tetap relevan (Tempo, 27 April 2019).

Dalam bahasa perumusan undang-undang, sembilan masalah itu menyangkut aspek formil, substansi, dan aspek dampak pemberlakuan regulasi. Misalnya, dari aspek formil, judul yang kemudian digunakan DPR RI tidak sesuai dengan agenda prolegnas yang mengamanatkan “RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat”.

Penyebutan judul itu tentu tidak sembarangan dan punya alasan tertentu yang terkait dengan amanat konstitusi. Kita semua tahu bahwa hasil amendemen konstitusi melahirkan dua terma yang “serupa tapi tak sama”: masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional.

Untuk mengurus dua mandat konstitusi ini para perumus kebijakan harus berani melakukan terobosan untuk melahirkan nomenklatur baru (masyarakat adat). Toh, masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional, dalam bahasa konstitusi, sekadar nama fungsi.

Dari aspek substansi, setidaknya ada tujuh hal yang perlu dipikirkan ulang. Salah satu yang terpenting RUU MHA terperangkap pandangan romantik. Setelah penetapan, seharusnya, sebuah masyarakat hukum adat tidak boleh atau tidak bisa berubah. Tapi RUU itu mengatur proses evaluasi oleh pihak luar, yang hasilnya bisa menghapus keberadaan masyarakat adat jika mereka anggap tak lagi sesuai dengan undang-undang.

Setelah penghapusan, tanah adat menjadi tanah negara. Padahal, UU Pokok Agraria saja membuka ruang perubahan status tanah adat menjadi tanah privat cq. tanah perorangan yang disebut ex-tanah adat.

Fakta ini mengkhawatirkan. Dari sudut kepentingan masyarakat adat, penetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja tidak banyak memberikan pengaruh yang positif bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ke depan. Beberapa pasal yang berpihak malah terancam mandul karena masih akan berhubungan dengan kerangka regulasi yang sulit dipenuhi oleh masyarakat adat (Zakaria, 2018 & Zakaria, et.al., 2020). Peluang terjadinya situasi yang lebih buruk justru jauh lebih besar.

Warisan kolonial

Tidak belebihan jika ada yang berharap masa depan masyarakat adat digantungkan pada hadirnya undang-undang yang berpihak kepada kepentingan masyarakat adat. Tentu, syaratnya, RUU yang kini di tangan DPR RI dirombak total.

Sebab, keberadaan Pasal 67 ayat (2) UU 41/1999 tentang kehutanan yang mengatur bahwa hak masyarakat adat akan diakui jika keberadaan subyeknya ditetapkan melalui peraturan daerah tidak diubah UU Cipta Kerja. Sementara, setidaknya ada dua undang-undang lain dalam UUCK 11/2020 yang yang mengatur pengakuan hak masyarakat adat dengan logika hukum yang sama.

Undang-undang itu adalah UU 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil juncto UU 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil dan UU 17 Tahun 2019 tentang sumber daya air.

UU Cipta Kerja tak mengatur soal ini. Wajar jika muncul spekulasi hanya pasal 67 yang menjadi acuan mengatur masyarakat adat. Presedennya pernah ada. Kendati Mahkamah Konstitusi pada 2012 memisahkan hutan adat bukan hutan negara, pemerintah mempertahankan Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan bahkan peraturan lain yang mengatur banyak hal dengan logika sama.

Seperti Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2019 tentang tata cara penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat.

Logika hukum yang ada sekarang mengingatkan kita pada masa kolonial Hindia Belanda. Ketika itu penduduk dibagi ke dalam tiga golongan: Eropa (dan/atau penduduk berkulit putih lainnya), Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan Asia Selatan), serta Bumiputra.

Sebagai penduduk kelas tiga, Bumiputra tentu saja mendapatkan sejumlah pembatasan. Salah satu pembatasan adalah hak keperdataan atas tanah bisa diakui dan mendapat acte van eigendom (sertifikat hak milik), subyek hukumnya terlebih dahulu harus mendapatkan keputusan (besluit) dari pemerintah cq. Departemen Dalam Negeri.

Besluit itu adalah keputusan pemerintah yang menyatakan kedudukan sosial kedua golongan penduduk Hindia Belanda itu telah dipersamakan dengan orang Eropa. Pada masa itu surat keputusan penyamaan kedudukan hukum orang Bumiputra itu akan diberikan jika orang yang bersangkutan memenuhi lima syarat: (a) berhasil menunjukkan bahwa dia bisa berbahasa Belanda dengan fasih seperti halnya orang Belanda; (b) berpakaian seperti orang Belanda; (c) bergaul dalam komunitas Belanda; (d) kemungkinan memperlancar usaha perdagangan orang Belanda; dan (e) sedapat mungkin beragama sama dengan orang Belanda, yaitu Kristen.

Kalau dibandingkan dengan syarat penetapan masyarakat adat sekarang, syarat pengakuan hak orang pribumi pada masa kolonial jauh lebih “maju”. Karena syarat pengakuan masyarakat adat sekarang adalah jika mereka masih hidup di masa lampau.

Lihatlah syarat-syarat pengakuan masyarakat adat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 atau Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 34 Tahun 2017 cq. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kelola Lingkungan Nomor 1 Tahun 2017.

Tiga langkah ke depan

Politik diskriminatif terhadap masyarakat adat saatnya diakhiri. Masyarakat adat yang lahir dan beranak-pinak di wilayah Indonesia sebelum Indonesia merdeka, sejatinya adalah warga negara Republik Indonesia. Merujuk pada teori beschikkingsrecht yg dikembangkan van Vollenhoven, Herman Soesangobeng (2012) berpendapat bahwa masyarakat adat sebenarnya adalah pemilik asal semua tanah dalam wilayah NKRI (Inlandsch bezitstrecht). Dengan demikian hak kepemilikan tanah sama dengan hak asasi warga negara Indonesia.

Berbeda dengan konsep warga negara yang berlaku umum, warga negara RI yang bersangkutan juga telah mengembangkan dan/atau menjadi bagian dari sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum tertentu, yang secara ekplisit telah diakui oleh konstitusi (Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3)).

Dengan sistem-sistem (pra-negara) itu, meminjam kaca mata Clifford Geertz (1963), warga negara yang bersangkutan adalah warga yang melampaui hak-hak pribadinya sebagai warga negara suatu negara modern (modern/new state), dengan menjadi bagian atau menjadi warga dalam suatu sistem komunalitas yang khas dari suatu tatanan sosial yang berasal dari tradisi masa lampau (old tradition/old society). Dengan kata lain, yang diperlukan saat ini adalah menemukan mekanisme kenegaraan yang mampu mengakomodasi “kewarganegaraan yang lain”, suatu sistem kewargaan yang berakar pada tradisi itu, ke dalam sistem ketatanegaraan.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah politik hukum pengakuan yang berbasis pendekatan politik (yang tergambarkan dalam logika hukum pengakuan yang bertahap dan bertingkat sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi politik hukum yang lebih ramah dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat adat.

Betapapun apa yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat itu tidak lain tidak bukan merupakan sistem pengelompokan sosial yang telah terlembaga sedemikian rupa, dengan atau tanpa kehadiran negara (kolonial dan nasional) sekalipun, lengkap dengan sejarah perkembangannya. Sehingga tidak logis menguji keberadaan sebuah masyarakat adat melalui suatu proses politik.

Masyarakat adat bukan fakta hukum, seperti halnya negara (berikut berbagai unit pemerintahan di dalamnya), melainkan suatu fakta sosio-antropologis yang keberadaannya perlu diperiksa melalui konsep-konsep tentang persekutuan/pengelompokan sosial yang berlaku umum dalam disiplin Ilmu sosiologi dan/atau antropologi.

Dari kaca mata pendekatan sosio-antropologis, yang disebut masyarakat adat itu “punya nama dan jelas alamatnya”. Sebutlah susunan masyarakat nagari, suku, dan kaum dalam konteks orang Minangkabau. Atau seperti pemilahan-tiga di antara suatu kelompok yang berstatus marga, boru (yakni kelompok penerima istri), dan hula-hula (kelompok asal istri dari suatu marga tertentu) dalam tradisi Batak Toba.

Keberadaan kelompok-kelompok sosial yang terbentuk atas dasar prinsip-prinsip genealogi, terotorial, fungsional, atau gabungan lebih dari prinsip-prinsip ini, umumnya terekam dalam daftar silsilah yang disebut ranji (Minangkabau) atau tarombo (Batak Toba). Sehingga agak mustahil ada nagari, suku, atau kaum atau marga jadi-jadian—seperti latar belakang aturan pengakuan masyarakat adat melalui peraturan daerah itu.

Paling-paling, yang mungkin terjadi, tidak diakuinya eksistensi suatu nagari oleh nagari yang lain, karena, boleh jadi, proses pemekarannya belum berjalan sesuai tradisi. Jika ini terjadi, juga bukan otoritas politik yang berhak menentukan kebenarannya, melainkan mekanisme-mekanisme adat-istiadat yang berlaku di daerah yang bersangkutan.

Langkah kedua, alih-alih berorientasi pada pengakuan subyek, menimbang begitu banyaknya hak masyarakat adat yang diakui, kebijakan mendatang itu lebih baik berorientasi pada proses pengadministrasian pengakuan berbagai hak (terutama yang strategis).

Toh, menurut pandangan politik hukum tertentu, pengakuan atas keberadaan subyek masyarakat adat itu sudah ada dalam konstitusi (pengakuan secara deklaratoir) dan tidak memerlukan proses pengakuan yang konstitutif. Dengan kata lain, yang diperlukan kemudian adalah proses pengadministrasian akibat adanya pengakuan secara deklaratoir itu.

Pengakuan subyek, yang beragam dan tergantung pada jenis hak yang akan diadministrasikan pengakuannya itu, melekat pada proses pengakuan hak yang bersangkutan. Tidak perlu ada proses penetapan subyek hak.

Langkah ketiga, karena soal pengakuan hak masyarakat adat menyangkut kepentingan lebih dari separuh warga negara RI, proses pengadministrasian pengakuan hak-hak masyarakat adat itu harus sedekat mungkin kepada masyarakat adat. Selain dekat tentu juga harus mudah dan murah.

Untuk itu desentralisasi kewenangan dalam administrasi pengakuan hak-hak masyarakat dat harus sampai tingkat kabupaten/kota seperti birokrasi penerbitan sertifikat hak milik di kantor pertanahan kabupaten/kota. Masyarakat adat bukan mahluk ruang angkasa yang menakutkan hingga perlu diurus parlemen daerah atau bahkan keputusan politik di tingkat menteri.

Dengan perubahan paradigma sebagaimana yang disarankan dalam tiga langkah di atas, kita bisa menaruh harapan kelak nasib masyarakat adat berubah lebih baik.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Antropolog, pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain