Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Februari 2021

UU Cipta Kerja dan Banjir Jakarta

Banjir Jakarta kian menegaskan pentingnya rasio kecukupan hutan dalam sebuah daerah aliran sungai. UU Cipta Kerja yang menghapus rasio 30% membuat lingkungan kian rentan.

Banjir di Kalideres, Jakarta (Foto: Siti Sadida Hafsyah)

PEMERINTAH Jakarta tengah merevisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2017-2022. Salah satu yang akan revisi adalah cara menangani 13 sungai di ibu kota untuk mencegah bencana tahunan yang rutin: banjir.

Pemerintah Jakarta hendak menghapus program naturalisasi dan menggantinya dengan normalisasi. Program naturalisasi adalah warisan penataan sungai dari Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (2014-2017). Dalam pengertian Gubernur Basuki, naturalisasi adalah betonisasi dengan meluruskan jalur sungai sehingga air cepat sampai di Laut Jawa agar tak menggenangi wilayah Jakarta.

Konstruksi Kayu

Apa beda normalisasi dan naturalisasi? Artikel ini sudah membahasnya dengan detail. Dalam pengertian kedua Gubernur, normalisasi dan naturalisasi bertolak belakang. Gubernur Anies (2017-2022), sebaliknya, ingin aliran air 13 sungai yang melintasi Ibu Kota berjalan lambat sehingga metodenya adalah penyerapan air melalui ekosistem sungai.

Mana yang lebih baik? Artikel ini sudah menunjukkannya. Terlepas dari metode keduanya, ada hal prinsip yang menjadi penyebab utama banjir Jakarta, yakni rasio luas hutan di daerah aliran sungai (DAS). Naturalisasi dan normalisasi di Jakarta tak akan berperan karena hanya membereskan sungai di hilir, sementara penyebab banjir lebih banyak oleh keadaan di hulu.

Pasal 18 Undang-Undang Kehutanan menegaskan bahwa rasio luas tutupan hutan untuk satu DAS dan/atau pulau sebesar 30%. Rasio ini sudah hitung melalui penemuan ilmiah bahwa daya tahan sebuah DAS atau pulau menampung air jika luasnya 30%. Banjir Kalimantan Selatan akibat DAS sungai Barito menyusut tinggal 20% dari total wilayah provinsi itu.

Maka banjir Jakarta juga harus meninjau rasio ini. Sungai besar yang mengalir melalui Jakarta melahirkan 12 anak sungai lain adalah sungai Ciliwung. Hulunya berada di kawasan Puncak Bogor, Jawa Bara. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 tentang rencana tata ruang nasional, pemerintah menetapkannya sebagai Kawasan Strategis Nasional sekaligus kawasan lindung.

Kawasan lindung masuk DAS Ciliwung adalah hutan lindung dan cagar alam dan taman wisata Telaga Warna seluas 368 hektare serta kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango seluas 1.869 hektare.

Menurut catatan Forest Watch Indonesia, eksploitasi kawasan hulu DAS Ciliwung selalu masif dari tahun ke tahun. Pada 2009 saja, seluas 879,81 hektare hutan lindung dan 337,61 hektare hutan konservasi menjadi perkebunan, 322,37 hektare hutan lindung dan 53,67 hektare hutan konservasi menjadi tegalan.

Deforestasi di kawasan Gunung Gede-Pangrango mencapai 66 kali luas Kebun Raya Bogor. Menurut data pemerintah Kabupaten Bogor, kecepatan alih fungsi lahan di kawasan Puncak sebesar 3,46% per tahun. Kawasan Puncak yang menjadi wisata favorit mendorong alih fungsi lahan yang masif.

Alih fungsi lahan yang masif untuk perkebunan, pertanian, dan permukiman membuat kawasan hulu DAS Ciliwung terdegradasi parah. Pada 2015 saja, lahan di hulu DAS Ciliwung untuk permukiman dan pertanian defisit 32.016,16 hektare. Defisit makin menganga seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan pemusatan lokasi wisata.

Jika tahun 1981 kawasan hutan di hulu DAS Ciliwung masih berkisar 29,96%, pada 1990 menyusut tinggal 21,07% dan kini tinggal 8,9%. Rasio yang jauh di bawah 30% ini membuat debit air Ciliwung tak sanggup lagi terserap oleh badan sungai. Akibatnya, air menderas masuk ke wilayah di bawahnya.

Sungai seperti tubuh manusia. Ada kepala, badan, dan kaki. Jika kepala rusak maka harapan berikutnya adalah badan yang fit. Dalam hal Ciliwung, badan sungai adalah wilayah DAS di Kabupaten Bogor dan Depok. Di sini air mesti ditahan dan dialihkan agar tak langsung menuju Jakarta. Tak heran pemerintahan Hindia Belanda banyak membangun danau dan situ di sepanjang Depok dan Bogor.

Situ dan waduk itu kini terus berkurang dengan kecepatan 5% per tahun. Pada 1960, jumlah waduk di sepanjang Ciliwung sebanyak 800-an buah. Kini tinggal 200 saja. Setelah hulu rusak, badan Ciliwung juga ringsek.

Maka apa yang dilakukan pemerintah Jakarta adalah memperbaiki kakinya. Provinsi ini menerima limpasan air dalam jumlah besar. Dalam kondisi ini, ide Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama masuk akal dengan membeton sungai agar air besar itu segera masuk Laut Jawa. Masalahnya, ide ini menjadi bumerang karena laju penurunan tanah Jakarta 7,5 sentimeter per tahun dan Jakarta Utara 20-25 sentimeter per tahun.

Dengan tanah yang turun, air sungai akan kembali masuk Jakarta atau tertahan air laut yang lebih tinggi. Walhasil, normalisasi ala Gubernur Basuki hanya memindahkan banjir dari selatan ke utara Jakarta saja. Kecuali, jika air sungai ditahan memakai situ dan waduk. Sama seperti situ lain, waduk di Jakarta Utara juga tak dibenahi dengan serius.

Sementara ide naturalisasi Gubernur Anies juga terbentur soal lain: pembebasan lahan. Badan sungai kini sudah jadi permukiman sehingga jalurnya menyempit dan memangkas daya tampung badan sungai. Sementara janji Anies dalam kampanye adalah mengurangi sesedikit mungkin relokasi penduduk dari bantaran sungai.

Dengan kondisi itu, membenahi DAS Ciliwung tak hanya di Jakarta, tapi menyeluruh hingga ke hulu. Revegetasi dan reforestasi kawasan hulu DAS Ciliwung tak bisa ditawar untuk menaikkan rasio tutupan hutan 30%. Program pemerintah membuat waduk di Ciawi layak diapresiasi tapi harus dibarengi dengan penghutanan kembali. 

Cara terbaik adalah melalui pemberdayaan masyarakat dengan teknik agroforestri. Masyarakat Cibulao sudah membuktikan agroforestri bisa menghijaukan kembali bukit yang gundul. Juga penyadaran kepada masyarakat melalui desa lingkungan agar menyetop buang sampah ke sungai seperti yang dilakukan masyarakat Megamendung

Reforestasi DAS Ciliwung kini kian berat karena UU Cipta Kerja telah menghapus rasio 30% dalam pasal 18 UU Kehutanan. Penghapusan ini membuat kewajiban negara menyediakan rasio tutupan hutan menjadi tak ada lagi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain