Kabar Baru| 12 Februari 2021
Deforestasi Terencana di Papua
MELALUI pemungutan suara para Menteri Keuangan 52 negara pada 10 Februari 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendapatkan suara terbanyak menjadi co-chair The Coalition of Finance Minister for Climate Action 2021-2023. Suara untuk Sri Mulyani melampaui dua pesaingnya, Menteri Keuangan Filipina dan Uganda.
Kementerian Keuangan, dalam rilis sehari berikutnya, menyatakan bahwa pemilihan tersebut mengafirmasi kepercayaan besar komunitas aksi perubahan iklim global kepada Indonesia. “Ini tak lepas dari berbagai aksi nyata mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh pemerintah Indonesia,” kata Sri Mulyani.
Sri berjanji menjalankan peran co-chair secara optimal bersama Finlandia melalui pengurangan emisi yang sudah ditetapkan dalam kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC) di PBB sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% atau 1,1 miliar ton setara CO2 dengan bantuan internasional pada 2030.
Salah satu usaha menurunkan emisi adalah melalui pengurangan deforestasi dan degradasi lahan yang berada di bawah komando Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tahun lalu pengurangan deforestasi mendapatkan hibah dari pemerintah Norwegia dan badan keuangan PBB.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.70/2017, deforestasi didefinisikan sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan. Sementara dalam aturan lain, definisi hutan adalah lahan minimal 0,25 hektare dengan tutupan tajuk 30% dengan tinggi pohon 5 meter.
Benarkah klaim Sri Mulyani dan penilaian para Menteri Keuangan 52 negara? Yayasan Auriga coba menelisiknya melalui laporan yang diterbitkan di hari yang sama dengan sidang para Menteri Keuangan itu. Lembaga swadaya pemantau hutan ini ingin membuktikan klaim pemerintah dalam keberhasilan menurunkan deforestasi ataukah karena hutan alam di luar hutan konservasi dan hutan di provinsi yang sedikit hutan alamnya sudah habis dikonversi ke pertanian dan perkebunan.
Auriga melihat Papua, provinsi dengan luas hutan alam masih terluas di Indonesia. Hingga 2018, luas hutan Papua 33.847.928 hektare atau 74,31% dari total luas Tanah Papua (gabungan Provinsi Papua dan Papua Barat). Dengan luas hutan itu, Papua memiliki flora terkaya di dunia dan tiga kali lipat dari keragaman tumbuhan Pulau Jawa.
Seperti tren deforestasi pulau lain, penggundulan hutan akibat konversi lahan juga turun, namun rasionya naik. Dalam dua dekade terakhir hutan Papua menyusut 663.443 hektare. Sebanyak 29% terjadi pada 2001-2010 dan 71% pada 2011-2019. Dengan luas kehilangan hutan tertinggi pada 2015 seluas 89.881 hektare, rata-rata deforestasi Papua 34.918 hektare per tahun.
Deforestasi itu terutama untuk lahan pertanian dan perkebunan. Sejak 1992 hingga 2019 ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan yang dibuat Menteri Kehutanan dengan total luas 1.549.205 hektare, 84% untuk tujuan pertanian lalu perkebunan.
Menurut analisis Auriga, tabrakan antara UU Otonomi Khusus dan UU Pemerintah Daerah membuat laju pemekaran kabupaten di Papua meningkat. Papua kini terbagi dua provinsi dan 55 kabupaten kota. Pelepasan kawasan hutan bermula dari izin prinsip yang diterbitkan oleh bupati dan disetujui oleh Menteri Kehutanan.
Dengan menganalisis citra satelit, Auriga menyimpulkan seluas 1.292.497 hektare atau 82% dari total luas pelepasan kawasan hutan dalam kondisi memiliki tutupan hutan alam yang rapat ketika pemerintah memberikan izin perubahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu dalam laporan versi bahasa Inggris, Auriga menyebutnya planned deforestation atau deforestasi terencana.
Soalnya, dari seluruh areal yang telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit,terdapat 1.145.902 hektare areal yang masih memiliki tutupan hutan. Para pengusaha kelapa sawit belum membuka seluruh areal konsesi mereka untuk ditanami sawit.
Masalahnya, pengusaha akan disalahkan jika mereka tak segera menanami areal konsesi tersebut sesuai tujuan permohonan pelepasan kawasan hutan. UU Cipta Kerja memberikan batas waktu 2 tahun agar pengusaha segera mengelola areal konsesinya setelah izin pelepasan kawasan hutan terbit. Lewat dari masa itu, pemerintah akan mengambil alih kawasan tersebut kembali ke negara.
Terminologi deforestasi terencana menjadi kosa kata baru dalam politik kebijakan lingkungan Indonesia. Aktivis NGO memakai frase ini merujuk pada perubahan fungsi hutan menjadi bukan hutan untuk pembangunan ekonomi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :