Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 18 Februari 2021

Tawaran IPB Mencegah Dampak Buruk UU Cipta Kerja

Kajian akademik IPB terhadap UU Cipta Kerja. Ada 12 potensi risiko yang merusak lingkungan, mengancam kedaulatan pangan, meminggirkan petani, nelayan, hingga masyarakat adat.

Sampul Forest Digest edisi 18. Sebuah variasi dari The Scream karya Edvard Munch (1893) (Ilustrasi: Rahma Dany)

IPB University menerbitkan kajian akademik yang menohok tentang Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Dalam pemaparan secara online di depan wartawan pada 18 Februari 2021, para ahli IPB University merumuskan 12 potensi risiko penerapan UU Cipta Kerja bagi lingkungan, petani, nelayan kecil, dan masyarakat adat.

Ada 34 ahli yang terlibat dalam penyusunan kajian akademik UU Cipta Kerja ini, dengan serangkaian diskusi sejak akhir tahun 2020, yang mengerucut pada risiko-risiko di sektor agromaritim. Menurut Kepala Pengkajian dan Pengabdian Mayarakat IPB Ernan Rustiadi, IPB terpanggil membuat kajian ini sebagai bagian dari tinjauan objektif atas omnibus law ini.

Konstruksi Kayu

Meski 49 peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja telah disahkan, IPB tetap mempublikasikan kajian akademik ini karena, “Aturan turunan tak bisa melampaui undang-undangnya.” Sementara pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja memiliki dampak-dampak signifikan terhadap lingkungan hingga mengancam kedaulatan pangan.

Menurut Ernan, ada 15 klaster dalam bidang argromaritim yang menjadi ruang lingkup kajian akademik ini. Dalam kajian IPB, UU Cipta Kerja paling banyak membahas peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. “Pasal-pasal yang mengatur soal ini sebanyak 39,78%,” kata Ernan.

Klaster lain, sebanyak 13,98%, mengenai pengadaan tanah lalu investasi pemerintah dalam proyek strategis nasional sebanyak 10,75%. Proporsi pasal dalam 78 undang-undang yang diubah oleh UU Cipta Kerja ke dalam 1.187 pasal di 12 klaster lain di bawah 10%. 

Rina Mardiana, salah satu ahli pengkaji, menambahkan bahwa potensi-potensi risiko UU Cipta Kerja mencakup banyak segi, terutama pada lingkungan, petani kecil, nelayan, dan masyarakat adat karena fokus undang-undang ini meningkatkan investasi besar untuk membuka lapangan pekerjaan. Sehingga tata ruang, izin berusaha, kajian lingkungan, dan proteksi petani serta nelayan kecil ditiadakan dari undang-undang yang direvisi oleh omnibus law ini.

Bahkan masyarakat adat amat rentan karena dalam UU Kehutanan ada klausul sisipan pasal 50A yang akan mengenakan sanksi administratif bagi komunitas adat jika melakukan pelanggaran. Menurut Rina, pemerintah pusat bisa mencabut kembali izin hutan adat bagi sebuah komunitas adat yang baru mendapatkan pengakuan di bawah 5 tahun. Sebab, sanksi administratif dalam UU Cipta Kerja adalah pencabutan izin berusaha.

Petani kecil juga bisa terlindas oleh UU ini karena pengaturan budidaya pertanian berkelanjutan tak berpihak pada petani kecil. Dengan mengutamakan proyek strategis nasional, kawasan budidaya pangan berkelanjutan bisa diubah menjadi proyek infrastruktur yang keputusannya ada di tangan pemerintah pusat.

Ditambah lagi keran pangan impor akan dibuka lebar. Seperti terlihat dalam revisi UU Pangan, impor pangan tak lagi menempati urutan terakhir setelah cadangan dan produksi pangan dalam negeri. Perubahan pasal 1 nomor 7 soal ketersediaan pangan menempatkan impor setara dengan produksi dalam negeri.

Ketentuan dalam UU Cipta Kerja pasal 1 nomor 7 berbunyi: Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan.

Bandingkan dengan ketentuan semula dalam UU Pangan Nomor 18/2012

Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Impor pangan rawan korupsi karena ketentuannya memakai kuota. Jamak kita tahu, kuota itu menjadi dagangan para politikus kepada para importir untuk  meraup untung besar sekaligus menjadi modal partai. Membuka impor pangan akan memuluskan para politikus menjual-belikan kuota yang akan berimbas pada harga tinggi di tingkat konsumen.

Rina menambahkan ada beberapa pasal yang menyatakan ketahanan pangan tak lagi memakai produksi dalam negeri. Perubahan pasal 36 UU Pangan, misalnya, menempatkan impor pangan sebagai pemenuhan kecukupan pangan dalam negeri dan sebagai cadangan pangan nasional.

Nelayan juga akan bersaing dengan industri dengan penghapusan beberapa ketentuan dalam pembatasan kapasitas kapal penangkap ikan. Penghapusan itu membuka peluang industri perikanan bermodal besar akan mengklaim sebagai nelayan kecil yang akan mendapatkan fasilitas dan wilayah tangkapan yang lebih luas. “Penunggang gelap yang memanfaatkan ketentuan ini akan banyak,” kata Rina.

Walhasil, dengan pelbagai potensi risiko ini, UU Cipta Kerja akan menciptakan ketimpangan yang kian lebar antara pengusaha besar dan masyarakat. Mereka akan bersaing secara terbuka dalam mengelola sumber daya alam. Karena itu potensi konflik sosial akan semakin lebar. Sementara masyarakat kecil tak memiliki afirmasi atau kebijakan proteksi di depan hukum. Di sisi lain, sanksi-sanksi untuk industri besar kian dikurangi bahkan ditiadakan.

Meski potensi risiko itu belum tentu terjadi karena aturan tergantung pelaksananya, dampak buruknya bisa terasa mengingat tata kelola buruk dalam manajemen sumber daya alam. Menurut Rina, sepanjang korupsi masih merajalela dan jadi budaya di tiap jenjang birokrasi, UU Cipta Kerja akan memperparah kerusakan lingkungan dalam menggenjot ekonomi, sehingga hingga kemajuan tak akan tersebar secara adil dan merata. 

Karena itu untuk mencegah dampak buruk itu terjadi setelah UU ini diterapkan, Dodik Ridho Nurrohmat menawarkan jalan alternatif yakni menyusun omnibus law serupa untuk memproteksi lingkungan, petani kecil, nelayan, dan masyarakat adat serta mewujudkan reforma agraria. 

Cara ini, menurut guru besar kabijakan kehutanan ini, bisa menjadi jalan lain selain menguji UU Cipta Kerja melalui jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi lewat uji materi, selain mendorong DPR merevisi pasal-pasal krusial UU Cipta Kerja yang merugikan. “Misalnya, bisa saja pemerintah menyusun omnibus law lingkungan, omnibus law reforma agraria, omnibus law tanah,” kata Dodik.

Dalam asas hukum Indonesia, aturan paling belakang yang akan berlaku. Sehingga, kata Dodik, omnibus-omnibus lawlain itu akan meniadakan ketentuan-ketentuan yang merusak dalam omnibus law Cipta Kerja. “Jadi tak akan ada tumpang-tindih ketentuan,” katanya.

Dengan tiga cara yang ditawarkan IPB itu masih ada kesempatan bagi masyarakat sipil memperbaiki ketentuan mencemaskan dalam UU Cipta Kerja. Sebab, seperti kata Rina, “Dalih menggenjot ekonomi tak harus menutup mata pada pelanggaran hukum pemilik modal.”

Kajian akademik IPB atas UU Cipta Kerja bisa diunduh di tautan ini. Sebelumnya, Forest Digest juga melakukan analisis serupa untuk tujuh klaster: kehutanan, lingkungan hidup, pertanian dan perkebunan, perhutanan sosial, masyarakat adat, agraria dan tata ruang, serta energi. Silakan unduh di sini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain