PROYEK lahan gambut sejuta hektare untuk lumbung pangan atau food estate di Kalimantan Tengah pada 1995 yang gagal total membuat pemerintah “trauma” karena bencana ekologis setelahnya. Fungsi “spon” ekosistem hutan gambut yang menyimpan air pada musim hujan, dan tetap basah pada musim kemarau sehingga mencegah secara alamiah kebakaran, hilang akibat proyek itu.
Bagaimana sesungguhnya menempatkan lumbung pangan atau food estate dalam manajemen hutan kita?
Pemerintah Hindia-Belanda telah memetakan wilayah Indonesia menjadi zona-zona komoditas pertanian, termasuk perkebunan dan kehutanan, berdasarkan agroklimat. Komoditas padi yang merupakan makanan pokok bangsa Indonesia, cocok dan sesuai secara agroklimat hampir di sebagian besar pulau Jawa yang tanahnya subur dari tanah vulkanis dari gunung berapi dan curah hujan cukup, sebagian di Sumatera (Aceh, Sumut, Sumbar, Lampung), sebagian lagi di Sulawesi, dan Bali.
Demikian juga dengan perkebunan karet. Lokasinya di Sumatera Utara, Jawa Barat, Bengkulu. Tandan buah segara sawit di Sumatera Utara tiga kali lipat dibanding sawit Kalimantan Tengah. Kebun teh di Puncak, Bogor, Bumiayu, Kayu Aro di Kerinci. Sementara jati di daerah berkapur di Jawa Tengah dan Timur, Muna di Sulawesi Tenggara.
Di luar intervensi teknologi, pembagian komoditas berdasarkan agroklimat mestinya jadi referensi bagi pemerintah kita dalam menempatkan pertanian dan perkebunan. Alih-alih belajar, konsep food estate serupa Kalimantan Tengah ditiru di Merauke pada 2010 seluas 1,2 atau 30% dari wilayah kabupaten itu. Hingga kini belum terdengar cerita suksesnya.
Pemerintahan Joko Widodo menghidupkan kembali ide ini pada 2020 seiring krisis akibat pandemi virus corona covid-19. Pemerintah menggarap 130.000 hektare lahan di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Pemerintah juga menyiapkan lahan seluas 30.000 hektare di Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara, yang baru dimulai 1.000 hektare tahun lalu. Kedua lokasi lumbung pangan ini juga belum terdengar menghasilkan.
Konsep food estate dalam kawasan hutan tanpa mengubah fungsinya adalah konsep hutan cadangan pangan (HCP) yang digagas Menteri Kehutanan dan Perkebunan Maret-Mei 1998 Sumohadi. Konsepnya ia kembangkan dari pengalamannya di Perum Perhutani, yaitu menanam tanaman pangan atau tanaman semusim (khususnya padi dan palawija) secara sistem tumpang sari di dalam kawasan hutan untuk memperkuat dan meningkatkan produksi pangan pada lahan kering dalam kawasan hutan. Syarat pertanian tumpang sari adalah padat karya dengan jumlah tenaga kerja yang cukup.
Karena itu sebetulnya Perhutani bisa menjadi andalan dalam ketahanan pangan, dibanding membuka lahan hutan baru yang kini sedang direncanakan pemerintah. Lahan yang dikuasai Perhutani seluas 2,4 juta hektare. Jika separuhnya saja menerapkan tumpang sari, hasil sekali panen sekitar 3,6 juta ton padi lahan kering, dengan asumsi 1 hektare menghasilkan rata-rata 3 ton.
Di luar Perhutani, Indonesia punya program perhutanan sosial yang targetnya seluas 13,8 juta hektare. Meski baru tercapai sekitar 4 juta hektare, potensinya sangat besar. Jika separuhnya mempraktikkan tumpang sari padi lahan kering akan menghasilkan 18 juta ton padi.
Masalahnya, memang, lahan yang disiapkan untuk perhutanan sosial tidak semuanya layak untuk padi lahan kering. Hutan gambut di Kalimantan yang basah dan miskin hara tak cocok untuk sistem tumpang sari. Karena itu, lahan perhutanan sosial mesti dirancang sejak awal khusus untuk ketahanan pangan, meski 13,8 juta hektare itu sudah masuk peta indikatif.
Hutan cadangan pangan sebaiknya juga tidak terbatas pada komoditas tanaman pangan/tanaman semusim, karena bisa juga dikembangkan tanaman kayu yang menghasilkan pangan seperti sukun, kemiri, sagu, aren. Hutan cadangan pangan rasanya realistis diteruskan sebagai pengganti lumbung pangan atau food estate yang lebih masuk akal.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :