DI Amerika Utara, minggu terakhir Februari 2021 adalah pekan kesadaran terhadap bahaya spesies invasif. Bahkan ada namanya secara nasional: National Invasive Species Awareness Week. Melalui berbagai platform, pemerintah dan berbagai organisasi gencar menyampaikan pesan pentingnya memahami bahaya spesies invasif, terutama jenis tanaman yang ada di sekitar tempat tinggal.
Para petugas memberi petunjuk praktis bagaimana warga masyarakat bisa ikut ambil bagian dalam upaya melawannya, bukan sebaliknya, dengan tanpa sengaja ikut mendukung penyebarannya.
Spesies invasif menjadi ancaman besar bagi keragaman hayati. Serangan mereka terjadi secara terselubung dan dalam sunyi. Kehadiran mereka sering kali tidak terlihat sebagai ancaman karena manusia sudah terbiasa melihat mereka, dan mungkin bahkan ikut menikmati kecantikannya.
Data International Union for Conservancy of Nature (IUCN) menunjukkan bahwa, setelah kehilangan habitat, serangan spesies invasif adalah penyebab kedua paling signifikan dalam kepunahan jenis-jenis tertentu secara global. Spesies invasif juga berdampak negatif terhadap nilai-nilai rekreasi, ekologi, dan ekonomi di suatu tempat.
Apa yang dimaksud spesies invasif dan seperti apa dampaknya pada keragaman hayati?
IUCN mendefinisikan spesies invasif adalah populasi jenis biota yang tumbuh dan berkembang biak di habitat atau ekosistem alami maupun bukan aslinya, yang kemudian berdampak negatif pada jasa-jasa ekosistem maupun kehidupan manusia.
Convention of Biological Diversity (CBD) mendefinisikannya sebagai jenis introduksi yang menyebar keluar dari habitat aslinya sehingga keberadaannya mengancam keragaman hayati di lokasi baru. Spesies invasif yang paling banyak dijumpai mencakup berbagai jenis tanaman terestrial, tanaman akuatik, ikan, dan serangga, juga beberapa jenis binatang lain.
Suatu jenis tanaman bisa jadi tidak bersifat invasif pada daerah sebaran aslinya, karena populasinya terkontrol oleh musuh alaminya. Namun ketika mereka keluar dari wilayah aslinya dan masuk ke dalam habitat baru yang musuh alaminya tidak tersedia, spesies ini bisa tumbuh secara tidak terkendali dan merusak keseimbangan ekosistem di sana. Karena itu disebut invasif.
Spesies invasif bisa masuk ke dalam ekosistem baru, baik secara alami maupun tidak alami, yaitu melalui aktivitas kegiatan manusia termasuk perdagangan dan transportasi secara nasional dan internasional. Ada yang disengaja, misalnya sebagai tanaman hortikultura, tanaman hias, binatang peliharaan, dan ikan hias. Namun perpindahan ini dapat juga terjadi secara tidak sengaja, terikut pada barang lain, termasuk dari aktivitas manusia.
Kegiatan-kegiatan rutin seperti bersepeda di gunung dan hiking, bisa secara tidak sengaja menjadi media penyebaran jenis-jenis invasif, karena biji atau bakal tanaman yang menempel pada sepatu atau ban sepeda. Terkadang karena ketidakpahaman, seseorang memetik tanaman di tempat yang dikunjunginya (bisa jadi di negara lain atau di pulau lain) dan menanamnya kembali di tempat lain, tanpa mengetahui bahwa tanaman itu berpotensi invasif di habitat barunya.
Penanganan jenis-jenis invasif tidak murah. Di Provinsi Ontario, Kanada, laporan menunjukkan bahwa otoritas konservasi membutuhkan biaya lebih dari 50 juta dolar Kanada per tahun untuk pencegahan, pendeteksian, serta pengendalian dan pengelolaan spesies invasif. Lebih dari 70% biaya untuk pengendalian. Artinya, penanganan ketika serangan telah terjadi. Dampak ekonomi spesies invasif bagi pertanian, perikanan, kehutanan, kesehatan, turisme, dan industri rekreasi diperkirakan mencapai 3,6 miliar dolar Kanada setiap tahun hanya untuk di satu provinsi ini saja.
Untuk konteks Indonesia, LIPI menyebutkan bahwa 50% taman nasional di Indonesia telah diinvasi oleh kurang lebih 2.809 jenis asing. Contohnya Acacia nilotica di Taman Nasional (TN) Baluran; kayu afrika (Maesopsis eminii) di TN Gunung Gede Pangrango; kaliandra (Calliandra calothyrsus) di TN Gunung Gede Pangrango dan TN Gunung Halimun Salak; Chromolaena odorata di TN Ujung Kulon, TN Alas Purwo; dan mantangan (Merremia peltata) di TN Bukit Barisan Selatan.
Studi pada jurnal Biotropia menyebutkan bahwa mantangan telah menginvasi lebih dari 7.000 hektare wilayah TN Bukit Barisan Selatan. Dalam penelitian lainnya invasi mantangan di wilayah berhutan taman nasional telah menyebabkan migrasi satwa liar, seperti harimau, gajah, dan badak Sumatera, ke wilayah-wilayah perdesaan di bagian utara. Ini kemudian berpotensi memunculkan konflik manusia dengan satwa liar.
Di sisi positifnya, ancaman spesies invasif telah mendorong berkembangnya berbagai studi dan upaya-upaya untuk mengelola sesuatu yang invasif menjadi inovatif. Sebagai contoh, studi Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi KLHK di TN Bukit Barisan Selatan mendapatkan bahwa mantangan memiliki kandungan protein sebesar 9,7% dan kandungan energi 4.087 kalori.
Kandungan protein tersebut lebih tinggi dibandingkan rumput Paspalu conjugatum (8,85%) dan Panicum repens (7,54%) yang biasa menjadi pakan kambing di Provinsi Lampung. Padahal protein dan energi memiliki efek substansial terhadap kenaikan berat badan. Oleh karenanya, mantangan disarankan sebagai pakan alternatif ternak dan menjadi salah satu strategi pengelolaan kawasan konservasi di sana.
Permasalahan spesies atau jenis-jenis asing invasif (JAI) juga tidak terlepas dari perubahan iklim. JAI bisa mengurangi ketahanan habitat alami, sistem pertanian dan wilayah perkotaan terhadap perubahan iklim. Sebaliknya, semakin menghangatnya suhu bumi karena perubahan iklim juga mengurangi ketahanan habitat terhadap invasi biologis.
Beberapa habitat, seperti hutan beriklim sedang (temperate) yang sebelumnya memiliki penghalang termal yang membatasi JAI, sekarang menjadi lebih rentan terhadap invasi karena perubahan iklim. Musim dingin yang lebih hangat di Kanada telah menyebabkan serangan mountain pine beetle (Dendroctonus ponderosae) pada pohon pinus dengan sangat cepat. Padahal sebelumnya suhu dingin dapat membunuh 98% dari populasi kumbang yang sekarang menjadi invasif.
Karena itu, pengelolaan jenis-jenis invasif harus dimasukkan ke dalam kebijakan perubahan iklim. Sebagai bagian dari komitmen global terhadap UNCBD, Indonesia juga telah memiliki Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif sejak 2015. Kombinasi aksi-aksi nyata edukasi dan penyadartahuan, kemitraan dan kolaborasi, pendekatan regulatoris dan pengendalian langsung di lapangan menjadi kunci untuk upaya pengendalian spesies invasif yang efektif.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :