Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 01 Maret 2021

Perubahan Substansial Manajemen Hutan di PP UU Cipta Kerja

Sebanyak 49 peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja telah terbit. Lima terkait kehutanan mengubah dratis dua hal substansial pengelolaan hutan lestari.

Tutupan Hutan Harapan di Jambi. Hutan adalah areal seluas minimal 0,25 hektare dengan tinggi pohon 5 meter pada masa akhir daurnya dengan tutupan tajuk minimal 30%.

DALAM pengelolaan sumber daya hutan, Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja mengubah hal-hal paling mendasar. Bertujuan mengintegrasikan berbagai norma hukum dan pengaturan, omnibus law ini memberi harapan pengelolaan hutan bisa sinkron. Kini aturan turunan UU Cipta Kerja telah terbit. 

Dari 49 peraturan, setidaknya ada lima peraturan yang berkait dengan sumber daya hutan, yaitu PP Nomor 5/2021 tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko, PP Nomor 22/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, PP Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, PP Nomor 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif bidang kehutanan, serta PP Nomor 43/2021 tentang penyelesaian ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin, dan/atau hak atas tanah.

Konstruksi Kayu

Dalam artikel ini, telaah saya batasi pada PP Nomor 23/2021, terutama pada norma dan pengaturan yang saya anggap berubah cukup signifikan. Terutama yang terkait erat dengan aspek kelembagaan, yang selama ini menjadi tulang punggung pelaksanaan berbagai peraturan dan solusi penyelesaiannya.

Pertama, perubahan peran organisasi kesatuan pengelolaan hutan (KPH). Dalam PP Nomor 23/2021, organisasi KPH bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan, meliputi perencanaan pengelolaan, pengorganisasian, pelaksanaan pengelolaan, serta pengendalian dan pengawasan (pasal 40). Aturan ini mengubah apa yang berjalan sebelum UU Cipta Kerja berlaku. 

Dalam peraturan terbaru, KPH sebagai unit pelaksana teknis daerah (UPTD), menjadi organisasi struktural dengan fungsi fasilitasi sesuai tanggung jawabnya (pasal 123). Jalan pikiran peraturan ini meletakkan KPH sebagai UPTD dengan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) sendiri sebagai bagian dari organisasi pelaksana daerah (OPD). Dengan kata lain, UPTD KPH menjadi organisasi struktural sebagai fasilitator, bukan lagi entitas yang bisa langsung memanfaatkan sumber daya hutan.

Segala bentuk pemanfaatan hutan dan hasil hutan hanya melalui perizinan berusaha dan perhutanan sosial. Oleh karena itu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 49/2017 tentang kerja sama pemanfaatan hutan pada KPH—menurut jalan pikiran PP 23/2021—perlu ditinjau kembali. Sebab KPH tidak lagi mempunyai kewenangan swakelola pemanfaatan atas kawasan hutan tertentu yang belum berizin.

Tembusan kepada KPH atas penetapan pelaksanaan hutan desa (pasal 217) dan hutan kemasyarakatan (pasal 222), menjadikan lembaga ini benar-benar sebagai fasilitator dengan pekerjaan semata administrasi, bukan pelaksana pengelolaan hutan di tingkat tapak. Tidak seperti sebelumnya, perhutanan sosial yang berbentuk kemitraan, tidak lagi bisa bermitra dengan KPH.

Kemitraan itu hanya bisa dilakukan oleh masyarakat sebagai pemegang perizinan berusaha atau BUMN Kehutanan (pasal 244). Dengan begitu, perhutanan sosial yang berjalan secara mandiri juga bisa bekerja sama dengan para pihak (pasal 206), tetapi para pihak itu bukan KPH.

Sementara itu, berbagai hal menjadi tugas KPH tetap berjalan dengan penegasan-penegasan, seperti inventarisasi hutan (pasal 10), meningkatkan sistem pengelolaan hutan nasional dan provinsi (pasal 39), menyelaraskan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dengan rencana jangka panjang KPH (pasal 145), verifikasi hasil survei potensi hutan oleh pemegang perizinan berusaha (pasal 128), memantau dan melaksanakan pemadaman kebakaran hutan (pasal 256), serta melaksanakan rehabilitasi hutan (pasal 259).

Kinerja KPH, dengan demikian, tidak bisa dipisahkan dengan kinerja dinas yang menangani kehutanan. Sejalan dengan hal itu, penghasilan daerah dari hutan (PAD) hanya diperoleh melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pemegang perizinan berusaha dan perhutanan sosial yang ditentukan alokasinya sesuai peraturan.

Pada evaluasi sepuluh tahunan implementasi KPH, Kim dkk (2015) dalam kajiannya “Indonesia's Forest Management Units: Effective intermediaries in REDD+ implementation?” menyatakan bahwa “Kemajuan yang dibuat oleh KPH dalam meningkatkan tata kelola hutan, termasuk kemitraan dengan masyarakat lokal, memungkinkan KPH memenuhi peran perantara kebijakan pusat-lokal, sambil mengambil peran transformatif. Namun, agar KPH bisa memenuhi mandatnya, upaya yang lebih terpadu dari pemerintah pusat dan provinsi masih diperlukan. Hal ini termasuk konsistensi dalam kebijakan dan peraturan pemerintah, komunikasi kebijakan yang lebih baik, dan komitmen memperkuat kapasitas KPH”.

Sementara dalam peraturan pemerintah yang baru sebagai turunan UU Cipta Kerja, KPH diletakkan dengan fungsi administrasi penuh, bertolak belakang dengan sebelumnya sebagai pelaksana manajemen hutan di tingkat tapak.

Dalam pembahasan mengenai rancangan peraturan daerah mengenai pengelolaan hutan Provinsi Sumatera Barat pekan lalu, saya mendengar beberapa Kepala KPH menyebut bahwa regulasi itu berpotensi mengurangi semangat KPH yang selama ini cukup aktif mengembangkan komoditas kehutanan, melalui kerja sama dan kemitraan dan telah mendorong naiknya pendapatan asli daerah.

Kedua, perubahan ketetapan mengenai “pengelolaan khusus” pada areal yang dikelola badan usaha milik negara (BUMN) bidang kehutanan. Akses legal dalam perhutanan sosial—yang terdiri dari hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat dan kemitraan kehutanan (pasal 204)—diberikan oleh Menteri yang membidangi kehutanan (pasal 210). Namun, dalam pengawasannya, Menteri bisa mendelegasikannya kepada pemerintah daerah (pasal 207).

Terkait dengan BUMN Kehutanan tersebut, ada istilah baru yakni “pengelolaan khusus” dengan tujuan tertentu (pasal 108). Pengelolaan khusus itu, selain untuk kepentingan perhutanan sosial, juga untuk kepentingan penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, atau pemanfaatan jasa lingkungan (pasal 112). Bentuknya bisa melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan HTR, dengan skema kemitraan kehutanan (pasal 208), selama paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Kecuali di pulau Jawa.

Pasal 112 menegaskan bahwa pengelolaan khusus oleh BUMN Kehutanan di kawasan hutan negara dikecualikan untuk Provinsi Jawa Tengah, Timur, Barat, dan Banten. Di pulau ini, menteri bidang kehutanan sendiri yang akan melaksanakannya dengan kriteria dan standar pengelolaan hutan lestari (pasal 113).

Konsekuensi dari dua pasal ini adalah luas areal Perum Perhutani akan berkurang. Meski ada celah mempertahankan luas melalui pengelolaan khusus yang tak berbau kewenangan publik (pasal 125), seperti perhutanan sosial, rehabilitasi, dan perlindungan hutan. Sementara PP ini, terutama pasal 208 hanya mengatur perhutanan sosial oleh BUMN Kehutanan dibatasi hanya kemitraan kehutanan dengan tidak mengubah kewenangannya terhadap masyarakat (pasal 244). 

Kedua perubahan tersebut, fungsi KPH dan munculnya “pengelolaan khusus”, akan menjadi isu perubahan tata kelola kelembagaan kehutanan yang penting. Apa yang terjadi ke depan dengan adanya peraturan ini?

Setidaknya ada tiga. Pertama, menarik menunggu respons pemerintah daerah terhadap peraturan-perundangan baru tersebut terutama terhadap penyesuaian program kerja KPH agar tetap dapat memberi akses manfaat hutan bagi masyarakat. Kedua, resentralisasi dalam UU Cipta Kerja rupanya tak berarti kapasitas pemerintah pusat naik, sehingga—secara de facto—ada potensi “lubang struktural”: dalam hal tertentu Pemda tak punya kewenangan, di sisi lain pemerintah menyerahkannya karena tak mampu menjalankannya.

Ketiga, BUMN Kehutanan punya persoalan akut mengenai tata kelola. Beberapa ahli kelembagaan menyebut bahwa persoalan di tingkat organisasi ini memerlukan penyelesaian masalah informasi yang asimetris, biaya transaksi tinggi maupun konflik kepentingan. “Pengelolaan khusus” bukan solusi menyelesaikan tiga problem mendasar BUMN Kehutanan itu.

Meski begitu, selalu tersedia kesempatan melalui peraturan menteri. Ironis memang. Karena UU Cipta Kerja sesungguhnya hendak memangkas lapis-lapis kebijakan yang umum dalam negara yang menganut civil law (semua tingkat kekuasaan berhak mengeluarkan peraturan). Ketika aturan turunan UU Cipta Kerja sudah terbit pun, ada banyak persoalan menggantung dan mesti dieksekusi peraturan di bawahnya.

Selain hal-hal substansial yang perlu dibahas lebih jauh, peraturan Menteri perlu memperhatikan berbagai prasyarat agar peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja tersebut bisa berjalan dengan baik. Jika tidak, dan semua harus dijalankan seketika, berbagai kegiatan hanya akan fokus pada pencapaian administrasi, yakni di sekitar cara membelanjakan anggaran: kegiatan yang tidak layak dilakukan tetapi harus dieksekusi agar tak melanggar hukum.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain