Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 04 Maret 2021

Perubahan Krusial Amdal dalam UU Cipta Kerja

Amdal dalam UU Cipta Kerja diatur melalui PP 22/2021. Beberapa hal yang berubah secara mendasar.

Amdal, upaya melindungi lingkungan dari emisi akibat industri (Ilustrasi diolah dari foto AbsolutVision/Pixabay)

SALAH satu yang menjadi perdebatan sengit Undang-Undang (UU) Cipta Kerja adalah penghapusan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal). Sempat mengeropos dalam draft awal pada Februari 2020, pelbagai ketentuan Amdal masuk kembali hingga draf final UU Cipta Kerja pada Oktober 2020. 

Amdal menjadi satu instrumen dalam penerbitan izin lingkungan yang menjadi prasyarat izin berusaha. UU Cipta Kerja mengubah keberadaan izin lingkungan dari terpisah menjadi menyatu dalam izin bisnis. Sehingga sanksi atas pelanggaran lingkungan terberat adalah pembekuan izin berusaha.

Konstruksi Kayu

Aturan turunan mengenai Amdal dalam UU Cipta Kerja telah terbit pada 2 Februari 2021, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan lampirannya. PP ini merupakan penjelasan lebih teknis dari UU 32/2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, terutama pasal 22 dan 23.

UU Cipta Kerja memodifikasi 127 pasal dalam UU 32/2009 . Sebanyak 27 pasal diubah, 4 ditambahkan, dan 10 pasal dihapus. Ada tujuh pasal yang mesti dijabarkan dalam bentuk peraturan pemerintah lalu peraturan menteri. 

PP 22/2021 terdiri dari 13 bab dengan 534 pasal dan 15 lampiran. Pengaturan Amdal dibahas dalam Bab II yang terdiri dari 11 bagian dengan 103 pasal, dari penyusunan, pembentukan tim uji kelayakan, hingga pendanaan penyusunan Amdal untuk usaha kecil dan menengah. 

Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ary Sudijanto, dalam sosialisasi PP 22/2021 pada 4 Maret 2021, mengatakan penyusunan PP 22/2021 ini juga memakai metode omnibus law, yakni menggabungkan tujuh PP yang sudah ada yang mengatur proteksi lingkungan.

Menurut Ary, pada dasarnya tak ada yang berubah dalam pengaturan dokumen lingkungan seperti diatur UU 32/2009, kecuali integrasi izin lingkungan ke dalam izin usaha. Jenis usaha berdampak penting tetap wajib Amdal. “Hanya prosesnya disederhanakan,” kata dia. “Izin lingkungan juga tidak hilang karena menjadi prasyarat izin bisnis serta pelanggarannya bisa diawasi.” 

Perubahan krusial lain adalah penempatan ahli lingkungan dalam penyusunan dan penilaian Amdal. Dalam UU 32/2009 keberadaan ahli dan organisasi lingkungan merupakan klausul di pasal 26 ayat 2 dan 3 tentang kewajiban pengaju Amdal melibatkan masyarakat.

Dalam UU Cipta Kerja, pelibatan masyarakat hanya terbatas pada mereka yang terdampak langsung oleh kegiatan industri tersebut. Perubahan ini banyak dikritik mengingat masyarakat di lokasi bisnis biasanya tak memiliki kekuatan politik, lemah dalam akses kepada pengetahuan hukum, dan inferior dibanding pengusaha. 

Apalagi, klausul ahli dan organisasi lingkungan dihapus sebagai anggota tim penyusun Amdal. Menurut Ary Sudijanto, kelompok ahli dan organisasi lingkungan tetap diakomodasi, tapi bukan sebagai penyusun dokumen Amdal yang menjadi kewajiban pengusaha. Ahli dan LSM lingkungan akan dimasukkan sebagai anggota Tim Uji Kelayakan (TUK) yang akan dibentuk pemerintah sebagai pengganti Komisi Penilai Amdal (KPA).

Kriteria ahli yang akan menjadi TUK adalah mereka yang memiliki sertifikat penguji Amdal. Sertifikat bagi mereka yang memohon baru juga akan diterbitkan oleh lembaga ini. TUK akan dibentuk oleh pejabat setingkat Menteri, dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

TUK di bawah Menteri ini berhak membentuk Tim Uji Kelayakan di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Menurut Ary, TUK akan menjadi semacam “bank ahli” atau perkumpulan para ahli Amdal. Mereka bisa dikirim ke daerah yang belum memiliki Tim Uji Amdal daerah. 

Soalnya, dari 591 kabupaten/kota yang ada sekarang baru 205 atau 35% kabupaten/kota yang memilik tim penilai Amdal. Selama ini, izin usaha di daerah yang tak memiliki tim Amdal dinilai oleh tim Amdal provinsi, lalu naik ke pusat. “Karena jumlah ahli penilai Amdal terbatas,” kata Ary.

Akibatnya, KPA memiliki beban berlebih yang membuat persetujuan Amdal lama terbit sehingga investasi menjadi mandek. Dengan adanya TUK Amdal, kata Ary, pemerintah bisa mengirim para ahli di lembaga ini ke daerah yang tak memiliki tim penguji Amdal.

Masalahnya, TUK Amdal juga bisa mendelegasikan pekerjaannya kepada ahli lain yang tak memiliki sertifikat Amdal. Dengan jumlah ahli Amdal yang terbatas, opsi ini dibuka dengan menjaring mereka yang belum bersertifikat sebagai anggota tidak tetap TUK. Dalam PP 22/2021 TUK Amdal harus terbentuk maksimal 2 November 2021.

Problem Amdal selama ini adalah perizinan berusaha tak melihat daya dukung lingkungan, sehingga pencemaran dan polusi tak dihitung sejak mula. Juga dokumen Amdal tak menjadi referensi untuk usaha sejenis. Akibatnya, makin banyak Amdal untuk pelbagai jenis usaha, lingkungan malah semakin rusak.

Menurut catatan IPB University, daerah yang memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) baru 5%. Padahal RDTR sangat penting dan krusial dalam menentukan wilayah bisnis, permukiman, atau daerah serapan untuk mengukur daya dukungnya. Dalam UU Cipta Kerja, tata ruang bisa dikesampingkan jika ada proyek strategis nasional dan penyusunannya bisa ditarik ke pemerintah pusat. 

Menurut Ary, proposal pengajuan Amdal kelak memakai sistem informasi secara digital. Sehingga pengaju Amdal tinggal memasukkan jenis bisnisnya lalu akan mendapatkan syarat apa saja yang harus mereka penuhi untuk izin lingkungan sebelum mendapatkan izin berusaha. “Amdalnet akan menjadi backbone dalam penyusunan dan penilaian Amdal,” kata dia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain