Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 05 Maret 2021

Catatan Atas PP 23/2021 UU Cipta Kerja

PP 23/2021 mengatur tentang penyelenggaraan kehutanan. Ada yang tak diatur dalam UU Cipta Kerja.

Permukiman di sekitar hutan lindung Bujang Raba, Jambi (Foto: Dok. KKI Warsi)

AKHIRNYA terbit juga peraturan pemerintah (PP) turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tentang penyelenggaraan kehutanan. Pada 2 Februari 2021, pemerintah menerbitkan PP Nomor 23/2021 yang berisi 302 pasal. 

PP 23/2021 lumayan komprehensif dan representatif memperbaiki dan menyempurnakan aturan-aturan sebelumnya yang tercerai-berai dan tumpang tindih antar pasal-pasalnya. Beberapa masalah krusial yang kontroversial dalam UU Cipta Kerja terjawab tuntas melalui PP ini tanpa harus menunggu Peraturan Menteri. Ketentuan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri bersifat normatif.

Misalnya, pasal 116 tentang penggunaan kawasan hutan, pasal 198 tentang  penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan terhadap perencanaan, pengenaan, pembayaran, penggunaan, dan pertanggungjawaban DR, pasal 247 tentang pengelolaan perhutanan sosial, pasal 265 tentang perlindungan hutan, pasal 272 tentang pengawasan kehutanan dan pasal 290 tentang sanksi administratif.

Di luar pasal-pasal normatif, ada beberapa catatan terhadap PP penyelenggaraan kehutanan ini. Berikut ini di antaranya:

Perencanaan kehutanan

Penetapan hutan produksi yang hanya dibagi menjadi dua katagori, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi, mempertegas dan memperjelas kategori kriteria hutan produksi. Selama ini definisi hutan produksi mengacu kepada PP Nomor 44/2004 yang membaginya dalam tiga kategori: hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa, dan hutan produksi yang dapat dikonversi. 

Tiga definisi itu tidak jelas dan abu-abu, khususnya perbedaan antara hutan produksi biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Dalam aturan itu, hutan produksi biasa berdasarkan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai di bawah 125. Sedangkan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan faktor yang sama nilainya 124  atau kurang.

Kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan yang menjadi kontroversi karena angka minimal 30% dalam UU Kehutanan dihapus oleh UU Cipta Kerja, dalam PP ini cukup ditetapkan oleh Menteri tanpa perlu diatur oleh Peraturan Menteri sebagaimana rumusan dalam Rancangan PP 23/2021. 

Ini kemajuan, meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus bekerja keras menghitung dan menetapkan luas kecukupan kawasan hutan dan penutupan hutan suatu kawasan daerah aliran sungai (DAS) atau wilayah secara proporsional dengan pendekatan kasus demi kasus sesuai kriteria biogeofisik, daya dukung dan daya tampung lingkungan, karakteristik DAS, dan keanekaragaman flora dan fauna.

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

Perubahan peruntukan kawasan hutan dalam kawasan hutan di PP ini hanya bisa dilakukan melalui pelepasan kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan melalui tukar menukar kawasan hutan yang termuat dalam PP Nomor 104/2015 dihapus. Cara ini lebih masuk akal dan logis karena di tengah deru pembangunan yang membutuhkan lahan, rasanya tidak masuk akal tukar menukar kawasan hutan dengan lahan non hutan pada saat ini.

Yang mengejutkan adalah konsep kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) pada pasal 8 UU Kehutanan tidak diubah, ditambah, atau direvisi dalam UU Cipta Kerja. Bahkan tak masuk dalam Rancangan PP 23/2021. Tapi tiba-tiba muncul konsep KHDTK yang diubah menjadi kawasan hutan dengan tujuan tertentu, yang terdiri dari a) kawasan hutan dengan tujuan khusus; b) kawasan hutan dengan pengelolaan khusus; atau c) kawasan hutan untuk ketahanan pangan.

Seharusnya penambahan pasal 8 dalam UU Kehutanan ini juga dicantumkan dalam UU Cipta Kerja dengan ketentuan lebih lanjut tentang kawasan hutan dengan tujuan tertentu diatur dalam PP 23/2021. 

Pemanfaatan Hutan

PP 23/2021 memperluas Pemanfaatan kawasan hutan lindung. Tak hanya budi daya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, makanan ternak,  buah-buahan dan biji-bijian, tanaman atsiri, nira, juga wanamina (silvofishery), wana ternak (siluopastural), wanatani (agroforestry), wana tani ternak (agrosiluopastura), penangkaran satwa liar, dan/atau rehabilitasi satwa.

Agaknya perluasan ini untuk mengakomodasi kegiatan lumbung pangan (food estate). Padahal, food estate sebagai pertanian modern, dengan intervensi teknologi dan mekanisasi pertanian dengan alat-alat pertanian yang canggih, tidak sejalan dengan ketentuan wanatani, wanaternak atau wanamina di hutan lindung. 

Sebab, kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan: a) tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; b) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; c) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan d) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.

Restorasi ekosistem sebagai bentuk pemanfaatan hutan produksi telah dihapus. Padahal dalam PP Nomor 7/2006 pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan melalui restorasi ekosistem. Lantas bagaimana nasib izin usaha restorasi ekosistem (IUPHHK-RE) yang selama ini telah berjalan? Masihkah peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.159/2004 tentang restorasi ekosistem tetap berlaku? Ada 16 perusahaan yang menjalankan bisnis ini seluas lebih dari 600.000 hektare.

Sementara itu, proporsi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari Dana Reboisasi (DR) juga berubah. Dalam PP 23/2021 proporsi pembagiannya sebesar 60% untuk pemerintah pusat dan 40% untuk pemerintah provinsi penghasil. Sebelumnya, dalam PP Nomor 55/2005, rasionya 60% pusat dan 40% untuk kabupaten.

Perhutanan Sosial 

Dalam PP 23/2021 ini makin jelas bahwa kegiatan perhutanan sosial untuk kawasan hutan konservasi hanya bisa dilakukan berupa kegiatan kemitraan kehutanan (KK), seperti tertera dalam pasal 204 ayat (2). Sebelumnya dalam PP Nomor 7/2006 pasal 92 ayat (1), hutan kemasyarakatan (HKm) bisa dilaksanakan selain pada hutan produksi dan hutan lindung, juga hutan konservasi, kecuali zona inti taman nasional dan cagar alam.

Selain itu, PP 23/2021 juga mengatur kebun rakyat yang berada di kawasan hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Sebelum ada UU Cipta Kerja, pengelolanya bisa mengajukan persetujuan hutan sosial dalam jangka waktu tertentu melalui jangka benah. Sambil menunggu ketentuan lebih Peraturan Menteri LHK Nomor P.83/2016 tetap berlaku.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain