ORGANISASI yang tak berubah sudah pasti akan mati. Kalimat ahli strategi pemasaran Profesor Philip Kotler dari Northwestern University Amerika Serikat ini menjadi mantra baru di tengah arus deras disrupsi. Sebagai Dekan Fakultas Kehutanan IPB University mulai 2015, Rinekso Soekmadi mengingat petuah itu dengan sungguh-sungguh.
Sejak berdiri pada 1963, setelah naik kelas dari jurusan di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, Fakultas Kehutanan IPB tak pernah berubah nama. Sementara Fakultas Perikanan berubah pada 1998 menjadi Fakultas Perikanan dan Kelautan.
Tahun 2015 Rinekso menghadapi fakta menurunnya minat siswa SMA masuk ke Fakultas Kehutanan. Seiring melorotnya popularitas industri kehutanan, animo terhadap fakultas ini juga ikut anjlok. Dua jurusan di Fakultas Kehutanan IPB selalu menjadi dua terbawah departemen paling tak diminati di IPB.
Sebab zaman berubah. Pelbagai survei mengabarkan bahwa profesi rimbawan dianggap pekerjaan yang tua oleh generasi milenial. Kerusakan hutan di seluruh dunia dan naiknya isu krisis iklim akibat deforestasi membuat profesi ini menjadi antagonis di kalangan anak muda. Sebaliknya menjadi ahli lingkungan kian populer dan menjadi pekerjaan yang diidam-idamkan karena bergaji tinggi.
Maka, setahun setelah 2015, Rinekso mengambil langkah kurang populer dengan menggaungkan perubahan nama Fakultas Kehutanan dengan memasukkan aspek lingkungan. Rupanya, seperti kata Philip Kotler dan pelajaran-pelajaran tentang manajemen, perubahan selalu membuat resistensi. “Yang mendukung sedikit, kelompok status quodan tak peduli lebih banyak,” kata Rinekso dalam webinar “Di Balik Perubahan Nama Fakultas Kehutanan IPB” pada 6 Maret 2021.
Webinar ini merupakan diskusi pertama dari serial diskusi yang direncanakan oleh Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB hingga Agustus 2021. Pada September alumni hendak menggelar reuni akbar tiga tahunan yang disebut Hari Pulang Kampus (HAPKA) ke-18.
Profesor Dodik Ridho Nurrohmat, alumni Fakultas Kehutanan yang kini menjadi Wakil Rektor bidang Internasionalisasi, Kerja Sama, dan Hubungan Alumni, juga bercerita hal sama. Dari survei ke beberapa SMA, ia mendapatkan fakta siswa dan guru SMA tak paham dengan nama-nama asing jurusan di Fakultas Kehutanan. “Siapa yang tahu apa itu silvikultur?” katanya.
Perubahan nama beberapa jurusan menjadi lebih umum, misalnya dari Teknologi Hasil Hutan menjadi Departemen Hasil Hutan, mempengaruhi persepsi itu. Kata teknologi masih seksi dalam menumbuhkan persepsi sebagai jurusan yang keren. Apalagi, sistem penerimaan mahasiswa baru melalui undangan masuk (USMI) IPB kemudian diadopsi oleh seluruh universitas.
Akibatnya, jika sebelum 2000 IPB selalu mendapatkan siswa terbaik dari SMA di seluruh Indonesia, setelah tahun itu mereka memilih fakultas dan jurusan dengan nama yang kekinian. IPB dan Fakultas Kehutanan sepi peminat. Dari banyak survei, kata Dodik, mahasiswa yang masuk Fakultas Kehutanan mengaku salah memilih jurusan. “Seperti kebanyakan kita, mereka juga tersesat di jalan yang benar,” katanya.
Dodik salah satu yang mendorong ide Rinekso mengubah nama Fakultas Kehutanan untuk mengubah struktur kurikulum hingga nama-nama jurusan dan orientasi pengajaran mengingat dunia kehutanan dan lingkungan telah banyak berubah. Namun, pelbagai penolakan membuat Rinekso bimbang. Tapi, ia memilih jalan terus.
Setidaknya ada lima alasan mengapa Fakultas Kehutanan perlu berubah nama menjadi Fakultas Kehutanan dan Lingkungan. Selain mantra perubahan di dunia yang berubah dari Philip Kotler dan peminat dari siswa SMA yang makin berkurang, pembangunan kehutanan juga mengalami masa sulit setelah Reformasi 1998.
Orientasi ramah lingkungan dan isu krisis iklim membuat industri kehutanan jadi lesu. Pembangunan kehutanan bergeser menjadi isu manajemen nonkayu. Waktunya juga tepat yakni rencana perubahan kurikulum oleh Kementerian Pendidikan Tinggi pada 2018 dengan mengadopsi kurikulum 2013. Alasan lain, rektor mendukung perubahan dengan meminta Fakultas Kehutanan mengadopsi program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) yang tak memiliki induk fakultas.
Setelah berkonsultasi dengan banyak pihak, menyusun naskah akademik, hingga survei terhadap industri, baru pada akhir 2019 perubahan nama diajukan dan voting di Senat Akademik IPB. Hasilnya mengejutkan: pendukung perubahan ternyata unggul. Januari 2020, konsep surat keputusan diserahkan ke rektorat. “Namun, karena dokumennya terselip, SK baru terbit Juli 2020,” kata Rinekso. “Sejak itu nama berubah secara resmi menjadi Fakultas Kehutanan dan Lingkungan.”
Ada yang mengira perubahan nama menyangkut dan terkait dengan perubahan nama Kementerian Kehutanan. Menurut Dodik, integrasi kehutanan dan lingkungan sudah digodok jauh sebelum 2014. Bersama Profesor Dudung Darusman dan Meti Ekayani, mereka menerbitkan buku “Kebijakan Pembangunan Kehutanan dan Lingkungan: Teori dan Implementasi”. “Mengelola kehutanan dan lingkungan basis ilmunya sama,” kata Dodik.
Perubahan nama itu mendorong perubahan banyak hal. Nama-nama jurusan akan berubah dengan nama-nama yang lebih kekinian dan menarik. Misalnya, Departemen Manajemen Hutan menjadi Departemen Manajemen dan Bisnis Kehutanan, Departemen Hasil Hutan menjadi Biomaterial dan Industri Kehutanan, Silvikultur menjadi Rekayasa dan Bioteknologi Kehutanan, Konservasi Sumber Daya Hutan menjadi Konservasi Hutan, Lingkungan, dan Ekowisata. “Aspek lingkungan yang mencakup kebijakan, hubungan, dan dampak menjadi eksplisit dalam semua mata kuliah,” kata Rinekso.
Dengan kata lain, mempelajari ilmu kehutanan akan berangkat dari perspektif lingkungan. Sehingga mata kuliah juga akan memasukkan pengelolaan produk-produk hutan tak berwujud dan bukan kayu. Misalnya, restorasi ekosistem, perlindungan hutan dengan mengelola nilai intangible seperti karbon yang popularitasnya makin naik di tengah isu krisis iklim dan kewajiban menurunkan emisi di seluruh negara dewasa ini.
Perubahan nama dari Fakultas Kehutanan menjadi Fakultas Kehutanan dan Lingkungan ini mendapat sambutan positif. Para alumni yang menghadiri webinar banyak yang mendukung. Juga sesuai dengan perkembangan zaman. Profesor Partha Dasgupta dari Cambridge University, Inggris, misalnya, baru saja menerbitkan The Economics of Biodiversity. Menurut dia, pembangunan ekonomi kini harus berangkat dari perspektif lingkungan. “Jika kita peduli dengan masa depan bersama, kita semua harus jadi naturalis,” katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :