SEKARANG kita bahas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43/2021 tentang penyelesaian ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin, dan/atau hak atas tanah. PP 43/2021 yang disahkan 2 Februari 2021 ini aturan turunan omnibus lawUndang-Undang (UU) Cipta Kerja. Ini aturan penting karena hendak menyelesaikan konflik ruang tapi mengandung beberapa risiko jika dituruti.
Konflik ruang akibat penentuan bentuk spasial tidak hanya terjadi karena masalah perencanaan, lebih banyak karena politik. Politik membuat pertentangan antara ide-ide dalam perencanaan spasial dengan keinginan pelbagai kelompok kepentingan.
Raed Najjar (2019) dalam “Planning, Power, and Politics: Critical Review of the Hidden Role of Spatial Planning in Conflict Areas” menyebut wilayah yang berubah cepat polarisasi ruang terlihat dengan kontras. Di perkotaan pengembangannya dibuat menarik untuk memikat orang kaya. Akibatnya, ruang terbagi menjadi ruang kaya dan ruang miskin.
Tak hanya kaya-miskin, ruang yang telah terbelah antara pelbagai kontras lain: bersih versus kotor, baru vs lama, mewah dan kumuh, maju dan terbelakang, aman versus berbahaya. Dengan kata lain, penataan ruang menghasilkan ketimpangan.
Di Indonesia, kriminalisasi petani dan penggusuran ruang hidup masyarakat adat hingga penghapusan kawasan lindung dalam perencanaan tata ruang contoh nyata polarisasi pembagian ruang akibat politik itu. Penguasa ruang publik adalah mereka yang bisa “mengendalikan” alokasi ruang hingga proses pengadilannya.
Mereka yang tak memiliki akses istimewa seperti itu, seperti masyarakat adat dan petani lokal, sudah pasti tersisih. Konstruksi kebijakan yang mengharuskan legalisasi sebelum pengakuan hak membuat mereka kehilangan ruang hidup dan akses terhadap sumber daya alam. Hampir setiap tahun saya mendapat permintaan menyusun amicus curiae untuk meluruskan kriminalisasi petani yang mempertahankan ruang hidup di pengadilan.
Dalam skala kebijakan, dominasi kekuasaan dalam alokasi ruang juga terjadi. Misalnya Peraturan Daerah Nomor 10/2018 tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi Riau 2018-2038. Peraturan ini menghapus kawasan lindung gambut seluas 2.356.108 hektare. Ada juga areal seluas 405.587 hektare untuk usaha nonkehutanan yang faktanya sudah jadi kebun kelapa sawit.
Atau aturan yang menambah prosedur pemberian izin perhutanan sosial melalui rekomendasi gubernur yang mesti dibahas dengan parlemen daerah. Artinya, izin hutan sosial tak hanya menjadi kewenangan eksekutif, tapi menyeberang menjadi legislatif. Ironisnya, aturan ini disetujui Kementerian Dalam Negeri. Untunglah, Mahkamah Agung membatalkan peraturan daerah itu pada 2019.
Fakta-fakta itu menunjukkan perencanaan dan pemanfaatan ruang dalam banyak kasus tidak adil, bias secara implisit maupun eksplisit, dan tidak mencerminkan apa yang dijanjikan, karena bisa digunakan sebagai alat kontrol kelompok marginal maupun kepentingan umum. Karena itu, di daerah konflik, konsep dan perencanaan pembangunan perlu ditata ulang dan sebaiknya melampaui kerangka sempit perencanaan secara fisik dan administratif.
Karena itu implementasi PP 43/2021 akan berhadapan dengan konflik dan tumpang tindih dengan karakteristik seperti saya uraikan di atas. Menurut data Kementerian Perekonomian, hingga 2021 tumpang tindih alokasi ruang saat ini seluas 77,37 juta hektare atau 46,6% dari luas wilayah Indonesia. Jika dilihat dari struktur tumpang-tindihnya, penyebab dan implikasinya tak sekadar akibat salah data dan peta + prosedur tata batas. Ada hal lebih besar dari sekadar urusan administrasi.
Karena itu, ada beberapa risiko jika PP 43/2021 ini jadi dilaksanakan. Berikut ini 6 isu pokok yang terkandung di dalamnya:
Pertama, soal pemegang izin. Kriteria menyelesaikan ketidaksesuaian tata ruang dengan kawasan hutan antara lain memakai instrumen waktu: yang lebih dulu ada akan dianggap benar. Alokasi ruang yang lebih baru harus menyesuaikan alokasi ruang lama (pasal 8).
Cara pandang ini sama untuk menyelesaikan tumpang tindih izin pemanfaatan terhadap izin pemanfaatan lain (pasal 12). Jika sudah ada izin masyarakat adat di sana, izin kebun kelapa sawit yang datang belakangan harus menyesuaikan wilayah konsesinya. Namun, dari kasus kriminalisasi dan Perda Ruang Provinsi Riau itu ada problem lain yang tak teraba PP 43/2021, yakni waktu lahir sebuah izin.
Dalam penetapan kawasan hutan, misalnya, ada hak masyarakat adat yang secara de facto sudah bermukim di wilayah tersebut sebelum negara menetapkan kawasan hutannya. Untuk itu, dalam setiap keputusan penetapan kawasan hutan, terdapat klausul walaupun telah ditetapkan, apabila terdapat klaim pihak lain, panitia tata batas kembali bekerja menyelesaikannya.
Kedua, solusi fisik dan administrasi. Itu terlihat dari pasal 11 yang mengatur instrumen penyelesaian melalui perubahan peruntukan kawasan hutan dan/atau perubahan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan ataupun mengeluarkan bidang tanah dari kawasan hutan. Ada juga pengurangan, penciutan atau pencabutan wilayah kerja izin, penyesuaian pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan/atau RTRW Kabupaten (pasal 12).
Solusi fisik dan administrasi ini belum mencerminkan pemulihan hak dan akses bagi korban akibat kebijakan tersebut. Pengurangan/penciutan yang tak dilengkapi kriteria yang jelas akan menjadi sarana negosiasi, suap, ataupun peras. Hal itu juga mungkin terjadi dalam penyelesaian yang memakai kriteria melampaui atau tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (pasal 12).
Ketiga, diskresi pemerintah. Pengecualian untuk penyelarasan antara RTRWP dan RTRWK dalam waktu maksimum 1 tahun (pasal 9). Selama periode itu izin baru tidak terbit, kecuali proyek atau program nasional yang bersifat strategis (pasal 10). Pengecualian itu memberi diskresi kepada pemerintah yang berpotensi mewujudkan kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Sebagaimana kita tahu dalam studi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) terhadap sebuah proyek, kepastian status ruang sangat penting dan selalu harus diketahui terlebih dahulu. Dalam Amdal, pembagian ruang akan menentukan seberapa besar potensi dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan tersebut.
Keempat, integrasi yang melenceng. Dalam pelepasan kawasan hutan selalu memperhatikan fungsinya. PP 23/2021tentang penyelenggaraan kehutanan, pasal 58 membatasi pelepasan kawasan hutan untuk fungsi selain kehutanan, misalnya bisnis, hanya di hutan produksi yang dapat dikonversi, kecuali di wilayah provinsi yang tak memilikinya.
Untuk kegiatan usaha kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan, UU Cipta Kerja mengatur bahwa persetujuan pelepasan bisa untuk hutan produksi (pasal 60). Sementara PP 43/2021 tak menimbang urusan fungsi hutan. Ketidaksinkronan ini menunjukkan integrasi kebijakan sebagai tujuan UU Cipta Kerja belum terwujud dan konstruksi PP ini mementingkan masing-masing sektor.
Kelima, perbedaan hukuman. PP 43/2021 tak mengatur jenis sanksi dan pengecualiannya bagi pelaku pelanggaran. Sementara dalam pasal 34 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 17 UU 18/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan tanpa perizinan dari pemerintah dan pelanggarnya dikenai sanksi administratif.
Sanksi tersebut dikecualikan bagi pelaku yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun. Sanksi administratif akan dihapus apabila pelakunya terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan atau telah mendapat sanksi sosial atau sanksi adat (pasal 17A).
Masalahnya, dalam pasal 92 UU 18/2013 yang tak direvisi UU Cipta Kerja ada kaidah bahwa orang perseorangan yang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan akan dipidanakan dengan hukuman 3-10 tahun dan/atau denda Rp 1,5-5 miliar. Jika pelakunya korporasi, hukumannya 8-20 tahun bui plus denda Rp 20-50 miliar. Pasal ini pun bisa dikenakan kepada pelaku yang tidak mengindahkan sanksi administrasi.
Bagaimana mengompromikan perbedaan ini?
Keenam, sanksi bagi petugas. Pasal 28 UU 18/ 2013 menyebutkan setiap pejabat dilarang dengan sengaja melakukan pembiaran dan/atau lalai dalam melaksanakan tugas. Pasal 105 menerakan sanksi bagi petugas itu berupa pidana penjara 1-10 tahun plus denda Rp 1-10 miliar.
Pasal ini penting karena menjadi salah satu akar persoalan ketidaksesuaian izin dengan rencana tata ruang. Apalagi banyak izin yang jarang atau bahkan tidak pernah diawasi dengan sungguh-sungguh. Belum ada peraturan yang menyebut izin harus dihentikan ketika pemberinya tidak mampu mengawasinya. Selama ini ada pandangan antara izin dan pengawasannya seolah entitas terpisah.
Penataan ruang pada ujungnya menentukan seberapa besar eksploitasi sumber daya alam. Maka, dalam pembagian dan tumpang-tindih penataan ruang akan menunjukkan aspek keadilan dan ketimpangan, dalam relasi kuasa maupun relasi ekonomi. Untuk itu esensi pembagian ruang bukan semata pada fisiknya, pada apa yang melatarinya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :