Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 Maret 2021

Perempuan Adat Penjaga Hutan

Masyarakat adat Rantau Kermas di Jambi berhasil mengembangkan perhutanan sosial untuk menopang ekonomi melalui manajemen hutan. Perempuan menjadi penggeraknya.

Perempuan adat Rantau Kermas Jambi berhimpun dalam kelompok tani mengembangkan kopi Serampas (Foto: Dok. Rakhmat Hidayat)

DI Hari Perempuan Sedunia 8 Maret 2021, saya teringat peran para perempuan tangguh dalam melindungi hutan sekaligus mandiri secara ekonomi. Melalui skema perhutanan sosial, perempuan adat Rantau Kermas berdaya tak hanya memajukan ekonomi keluarga tapi juga desa secara keseluruhan. 

Masyarakat adat Serampas Desa Rantau Kermas di Kabupaten Merangin, Jambi, mendapatkan Surat Keputusan Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo lewat SK Nomor 6745/MENLHK-PSKL/KU-1/12/2016 seluas 130 hektare yang diserahkan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 30 Desember 2016.  

Konstruksi Kayu

Sejak ratusan tahun mereka mengelola hutan dengan kearifan dan teknologi lokal. Bagi masyarakat adat Rantau Kermas, ruang hidup terbagi menjadi lima: tanah ulu aek (tanah hulu air), tanah arai yang memiliki kelerengan curam, tanah ulu aek dan ngarai yang dilindungi oleh pranata adat, tanah ajun arah untuk lahan pertanian dan pemukiman, dan depati sebagai pimpinan adat sistem peruntukan tanah.

Saya memberikan pelatihan online perhutanan sosial untuk beberapa komunitas adat pada 3 Maret 2021. Dari Agustami, Ketua Kelompok Pengelola Hutan Adat (KPHA) Rantau Kermas, saya tahu bahwa masyarakat adat Rantau Kermas memandang sumber daya alam hutan sebagai bagian dari penyangga sistem hidup dan berpenghidupan.

Mereka menyadari pentingnya pengakuan negara atas praktik adat dalam mengelola sumber daya hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Tanpa pengakuan, mereka tidak punya kekuatan menegakkan aturan adat saat terjadi pelanggaran oleh orang luar maupun pihak lain. Dengan pengakuan negara terhadap wilayah adat, mereka bisa melindungi kawasan hutan penting hingga menyelesaikan konflik.

Penopang pengelolaan hutan adat yang lestari Rantau Kermas adalah perempuan. Ledia Misnawati, bendahara KPHA Rantau Kermas, bercerita dengan menjaga hutan adat masyarakat memiliki cadangan air yang melimpah untuk keperluan hidup sehari-hari, sumber air sawah, hingga pembangkit listrik.

Pembangkit tenaga air Rantau Kermas sebesar 41.000 watt tidak hanya memenuhi kebutuhan 127 keluarga selama 24 jam, juga menjadi pengungkit perekonomian di kampung. Seperti kegiatan kerajinan, jahit menjahit, hingga menggerakkan mesin-mesin pengolah kopi di Rumah Kopi Serampas yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

Ledia, biasa dipanggil Mak Zila, mengatakan bahwa perempuan berperan penting dalam tata laksana adat. Dalam rapat adat para bundo punya kesempatan memberikan usul dan saran. Khusus dalam kenduri sko (upacara adat tahunan setelah Lebaran sebagai rasa syukur atas hasil panen yang melimpah juga untuk mendoakan agar tahun ke depan menjadi lebih baik) perempuan punya hak khusus memberikan saran. Sebab perempuan berperan sejak persiapan, menyediakan alat pendukung, konsumsi, hingga upacaranya.

Hutan adat juga menjadi penyedia bahan obat-obatan tradisional. Mak Sur, seorang tabib kampung, setiap hari menelusuri hutan mencari dan mengumpulkan bahan obat-obatan, untuk sakit perut, demam, buang-buang air, terkilir, sakit setelah melahirkan dan lainnya.

Sementara Mak Ade memanfaatkan hutan sebagai sumber kerajinan. Bambu, rotan, manau, pandan-pandanan juga akar-akaran. Ia membuat produk keperluan rumah tangga seperti bakul, tudung, tikar, ambung merupakan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat Rantau Kermas dan beberapa desa di sekitarnya. 

Nenek lima cucu itu juga menjadi pelatih kerajinan bagi para pengelola perhutanan sosial di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Batang Hari sampai ke Sumatera Barat. Untuk pembuatan kerajinan seperti tas, dompet, sendal, kotak tisu serta tikar dengan motif khusus akan dipenuhi apabila ada order. Dengan listrik selama 24 jam, Mak Ade menjahit kapan saja untuk memenuhi pesanan.

Untuk memperkuat peran perempuan dalam tata kuasa, tata kelola, dan tata usaha perhutanan sosial, masyarakat Rantau Kermas membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Hutan Lestari yang beranggotakan 26 perempuan.

Desrizal Alira dari KKI Warsi, LSM konservasi, yang telah lebih tujuh tahun mendampingi Rantau Kermas menceritakan bahwa perempuan menjadi salah satu kekuatan penting dalam pengelolaan hutan adat dan pengembangan ekonomi masyarakat. Saat mengolah kopi, mereka amat teliti memilah biji. Bahkan kontrol kualitas kopi di BUMDes Rumah Kopi Serampas semuanya dipegang perempuan.

KWT Hutan Lestari yang dipimpin Risma, atau Mak Putri, membuat “Tabungan Kopi Cherry”. Anggota KTH menyetorkan buah kopi merah saat tak musim panen untuk menjaga keberlanjutan produksi BUMDes. Menjelang bulan puasa, pengurus KWT menghitung tabungan kopi lalu membayar penyetornya. Di bulan Ramadan, selain kebutuhan meningkat, waktu kerja lebih sempit.

Sebelum pandemi covid-19, green bean kopi Serampas dikirim kepada PT Sari Tirta Indonesia Jakarta sebanyak 1,5 ton per bulan dengan harga Rp 45.000 per kilogram. Harga ini relatif baik dibanding harga di tingkat kabupaten yang hanya Rp 18.200. Ketika pandemi, permintaan kopi turun drastis, bahkan beberapa pelanggan di Jakarta sudah konfirmasi membatalkan pasokan.

Pengelola KTH lalu mengubah strategi dengan fokus menggarap pasar lokal. Saat ini per bulan laku sekitar 125 kilogram kopi bubuk, yang dibuat dalam kemasan 0,25 dan 0.5 kilogram dengan harga Rp 160.000 di Rumah Kopi dan Rp 200.000 di supermarket di kota kabupaten dan provinsi.

Perempuan adat Rantau Kermas Jambi memilah kopi (Foto: Dok. Rakhmat Hidayat)

BUMDes yang merupakan induk KWT telah menanamkan modal melalui dana desa untuk pengembangan Rumah Kopi Serampas sebesar Rp 128 juta dan membangun ruko sebagai outlet pemasaran sebesar Rp 150 juta. Beberapa lembaga menyumbang alat pengolahan.

Ranah bisnis BUMDes merambah usaha seperti listrik desa. Konsumennya pengelola wisata Rantau Kermas. Setiap bulan untung bersih usaha listrik Rp 2 juta. Saling dukung antara pemerintah desa dan pengelola hutan adat terlihat dari alokasi rutin pengembangan hutan adat.

Dengan pendampingan KKI Warsi, masyarakat adat Rantau Kermas sedang mengembangkan “pohon asuh”. Pohon asuh merupakan skema donasi yang bersifat sukarela dengan nilai Rp 200.000/pohon/tahun. Hasil donasi pohon asuh 75% untuk pembangunan desa serta 25% untuk pengelolaan hutan adat dan pohon asuh. 

Sampai akhir 2020 sudah 1.611 batang pohon yang diasuh oleh publik dengan nilai sekitar Rp 332 juta. Program pohon asuh kini merambah ke Hutan Nagari Sungai Buluh, Hutan Nagari Sirukan, Hutan Nagari Simancuang, Hutan Desa Sinar Wajo dan Hutan Adat Guguk.

Cerita hutan adat Rantau Kermas menginspirasi pengelola hutan adat lain. Kisah hutan adat Rantau Kermas tak hanya menginspirasi karena keberhasilan penduduk meningkatkan penghasilan dalam skala ekonomi. Juga ekologi. Perempuan menjadi pusat keberhasilan itu. Hari Perempuan Sedunia menemukan manifestasinya dalam peran perempuan adat Rantau Kermas.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain