Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Maret 2021

Pemuka Agama Serukan Mitigasi Krisis Iklim

Pemuka dan kelompok agama dunia bersatu menyerukan mitigasi krisis iklim. Solusi efektif menurut mereka harus dimulai oleh pemerintah melalui kebijakan, lembaga keuangan melalui pembiayaan, dan individu lewat perilaku ramah lingkungan.

GreenFaith, kolaborasi pemuka dan kelompok agama menyerukan mitigasi krisis iklim dengan sasaran: pemerintah, lembaga keuangan, dan indvidu.

SEMAKIN banyak yang memahami krisis iklim sebagai masalah genting dan penting zaman sekarang. Para pemimpin agama, kelompok paling krusial dalam hubungan sosial, telah mengambil peran dalam kampanye menyerukan pemimpin politik lebih peduli pada pemanasan global. 

Pada 11 Maret 2021, Hari Isra dan Mi'raj Nabi Muhammad, mereka menyebar rilis seruan agar para pengambil kebijakan memanfaatkan posisi mereka dan bersatu mencegah bumi memanas. Rilis itu mengklaim mendapat dukungan 200 pemimpin agama di 38 negara yang digerakkan oleh komunitas agama beranggotakan 100 juta orang. Tak hanya pemimpin negara, mereka juga meminta lembaga keuangan turut berkomitmen mendukung pembangunan rendah karbon.

Konstruksi Kayu

Dikoordinasikan oleh GreenFaith, jaringan global yang didirikan tahun lalu, para pemimpin agama dari seluruh dunia serentak membuat acara kampanye mitigasi perubahan iklim. Di Indonesia, acara ini disponsori Dompet Dhuafa dengan unjuk-bincang “Bumi Suci Umat Suci: Kampanye Lingkungan Iman Hijau”. “Kami meyakini komunitas agama bisa menjadi solusi mencegah krisis iklim,” kata Hening Parlan, Kepala Divisi Lingkungan dan Penanggulangan Bencana ‘Aisyiyah, lembaga sayap Muhammadiyah, salah satu pembicara.

Poin-poin seruan mereka masuk akal dan menukik ke dalam akar persoalan iklim saat ini. Para pemuka dan kelompok agama meminta para pemimpin dunia bersiap menyambut Konferensi Tingkat Tinggi Iklim ke-26 di Skotlandia pada November tahun ini. Mereka meminta para pemimpin negara menetapkan target lebih ambisius dalam menurunkan emisi karbon, untuk mencegah kerusakan lingkungan yang mengakibatkan krisis iklim.

“Tidak ada tradisi agama yang menghukum para perusakan alam," kata pemimpin awam Katolik Thea Ormerod, pendiri Multi-agama Australian Religious Response to Climate Change. "Hukuman tepat oleh pemerintah, lembaga keuangan, dan perusahaan besar. Dengan keyakinan, kami turun ke jalan, keluar gereja, masjid, dan kuil agar suara kami didengar. "

Mereka menuntut agar lembaga keuangan, seperti bank, berhenti membiayai proyek-proyek infrastruktur dan energi fosil, seperti batu bara, serta penghancuran hutan tropis melalui konversi untuk perkebunan dan pertanian. Sebaliknya, mereka meminta bank aktif mendanai usaha-usaha menciptakan energi terbarukan, juga menyediakan pendanaan untuk membantu mereka yang terdampak oleh bencana akibat krisis iklim. “Perubahan iklim menyebabkan banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan,” kata Nana Firman, aktivis muslim Indonesia.

Temuan-temuan ilmiah menunjukkan dampak krisis iklim menimpa mereka lebih berat: etnis minoritas, orang miskin, perempuan, anak-anak, orang tua. Salah satu dampak krisis iklim adalah pandemi covid-19 akibat hancurnya keseimbangan alam. Dampak pandemi membuat orang miskin kian miskin karena kehilangan pekerjaan, mereka yang rentan bertambah sakit karena kehilangan jaminan kesehatan.

Di Indonesia, poin-poin tersebut mereka sampaikan ke dalam petisi untuk Presiden Joko Widodo. Kader Hijau Muhammadiyah dan MUI mengorganisasikan petisi dalam 11 tuntutan, antara lain meminta pemerintah mengkaji ulang Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang memereteli proteksi lingkungan demi bisnis dan pertumbuhan ekonomi. 

Rilis GreenFaith mengklaim seruan mitigasi krisis iklim ini sebagai seruan pertama para pemuka dan kelompok agama, sekaligus yang terbesar yang pernah ada. Karena itu rilis ini penting karena studi-studi telah lama menunjukkan kerusakan lingkungan terkait erat dengan keyakinan. Banyak studi yang mengaitkan fatwa dan ajaran agama menjadi pedoman tiap orang dalam berpikir dan bertindak. Seruan dari perspektif agama akan lebih efektif dalam mencegah perilaku yang merusak alam. 

GreenFaith mengelompokkan empat besar mereka yang punya peran signifikan untuk mencegah krisis iklim mencapai puncak: pemerintah, lembaga keuangan, lembaga keagamaan, dan individu.

Jika untuk tiga pihak mereka menyerukan, untuk lembaga keagamaan mereka merumuskan janji berupa kesediaan memakai energi terbarukan di fasilitas keagamaan, berinvestasi di usaha ramah lingkungan melalui pemberdayaan perempuan dan masyarakat adat.

Berikut ini seruan pemuka agama kepada tiga pihak lain: 

Lembaga Keuangan

  • Bank dan lembaga keuangan tidak mendukung eksploitasi sumber daya alam untuk mencari keuntungan maksimal. Mereka harus mendukung sistem energi, transportasi, dan makanan sehat untuk semua lapisan masyarakat, serta melindungi hak dan kesejahteraan pekerja serta komunitas lokal.
  • Menghentikan pendanaan infrastruktur bahan bakar fosil serta eksplorasi cadangan minyak dan gas.
  • Mempercepat investasi energi dengan komitmen terhadap inisiatif desentralisasi, berbasis masyarakat, perempuan, masyarakat adat, dengan sistem energi lebih adil dan distribusi lebih luas.
  • Menghentikan pembiayaan untuk industri agribisnis dan ekstraktif yang merusak hutan tropis, keanekaragaman hayati, dan masyarakat adat.
  • Menghentikan pendanaan untuk industri pertanian yang mempromosikan pola makan yang tidak berkelanjutan, tidak sehat, dan menyiksa hewan.
  • Mendukung pertanian regeneratif dan berkelanjutan, dengan komitmen khusus pada pertanian skala kecil.

Deforestasi hutan Papua untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan kelapa sawit mendapat konsesi dari pemerintah sehingga memiliki hak membabat hutan, pembiayaannya didukung oleh bank, dan produknya dikonsumsi oleh tiap individu di dunia. (Foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace)

Pemerintah

  • Berkomitmen mencapai nol emisi pada 2030. Negara kaya mempercepat transfer keuangan dan teknologi kepada negara berkembang untuk mencapai nol emisi sebelum 2050.
  • Menyediakan akses universal terhadap energi bersih, transportasi ramah lingkungan, pengelolaan gedung, sistem pangan berkelanjutan, menyetop pemakaian bahan kimia.
  • Melindungi hak-hak masyarakat adat dan pembela lingkungan.
  • Mengakhiri subsidi bahan bakar fosil dan pertanian industri.
  • Menyediakan kesempatan bagi pengungsi akibat bencana iklim.

Individu

  • Memulai penggunaan energi terbarukan di rumah dan mengadopsi pola makan nabati.
  • Melakukan perjalanan dengan cara berkelanjutan, yaitu dengan berjalan kaki, bersepeda, dan dengan kendaraan umum, sebisa mungkin menghindari perjalanan darat dengan mobil dan perjalanan udara.
  • Melepaskan investasi pribadi dari sektor bahan bakar fosil dan agribisnis.
  • Berinvestasi untuk perusahaan yang menciptakan masa depan yang berkelanjutan.
  • Bergabung dalam upaya kolektif untuk bekerja demi keadilan iklim dan lingkungan.

Agar efektif, seruan itu mesti diterjemahkan ke dalam gerakan praktis mendorong politikus membuat kebijakan melindungi lingkungan yang mengikat. Pemuka agama juga mesti mengedukasi umat sebagai pemilih hanya mendukung politisi yang memiliki visi lingkungan yang kuat dan jelas.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain