DALAM Isra Mi'raj yang kita rayakan kemarin, Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malam dari Mekah ke Yerusalem, sebelum kemudian terbang ke langit bersama Jibril dengan menumpang Buraq.
Dalam perjalanan itu ada dua dari tiga masjid yang masuk dalam rutenya, Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Aqsa. Keduanya adalah dua dari tiga masjid teragung dalam ajaran Islam. Masjid Nabawi yang berada di Madinah belum ada saat itu, karena Nabi dan sahabat-sahabatnya belum berhijrah ke sana.
Dalam Islam, masjid memegang peranan penting, sebagai pusat ibadah dan keagamaan. Meski menjadi tempat penting dan suci, Nabi dan para sahabatnya membangun masjid dengan sangat sederhana. Masjid Nabawi,digambarkan dalam sejumlah riwayat, terbangun dari bata dan lumpur. Atap dari pelepah kurma hanya menutup bagian dekat dinding. Sejumlah sahabat Nabi harus merapat ke dinding untuk menghindari sengatan matahari yang garang di Timur Tengah.
Umat Islam baru membangun masjid secara mewah saat mulai menaklukkan negara-negara lain, seperti Persia, Mesir, dan Irak (Mesopotamia). Di sana mereka melihat kuil-kuil yang dibangun sangat megah. Penaklukan Bizantium membuat kaum muslimin memasukkan kubah dalam elemen masjid, karena inilah teknik paling masuk akal untuk membuat atap di atas aula luas.
Sejak saat itu kubah dan kemewahan menjadi elemen paling penting dalam pembangunan masjid hingga saat ini. Apalagi setelah terjadinya bom minyak hingga membuat negara-negara Arab menjadi sangat kaya. Sejak saat itu pula citra masjid sebagai tempat bersahaja menjadi hilang. Banyak elemen dimasukkan ke dalam masjid bukan karena fungsinya, tapi lebih kepada ornamental.
Berlomba-lomba dalam mempercantik masjid secara ornamental ini ada biayanya. Bukan hanya biaya finansial, tapi juga biaya lingkungan.
Pemakaian bahan yang lebih banyak dan terkadang harus diimpor atau didatangkan dari tempat jauh, atau bahan baku yang diproduksi dengan emisi tinggi, membuat pembangunan masjid mewah menambah panjang jejak karbon.
Semakin banyak energi yang dipakai, semakin banyak pula polusi dan dampak lingkungan yang disumbangkan dalam pembangunan masjid. Belum lagi jika setelah selesai, desain masjid harus memakai pendingin ruangan dan tidak terkontrolnya pemakaian air.
Menyadari hal itu, para juri Aga Khan Award pada 2016 memberikan penghargaan kepada Bait Ar-Rouf, sebuah masjid sederhana di Bangladesh. Dindingnya batu bata yang tidak diplester. Tak ada marmer.
Agar ruangan dingin, mereka mengatur ventilasi dan memakai sedikit kipas angin. Cahaya alami juga dimanfaatkan dengan baik. Murah, nyaman, dan yang terpenting jejak karbonnya tidak banyak.
Masalahnya, banyak di antara kita yang masih mengedepankan ornamen dibanding fungsi. Seorang arsitek pernah bercerita, desainnya untuk sebuah masjid ditolak karena dia tidak memakai kubah, melainkan atap datar yang ditanami rumput dan taman. Padahal rumput dan taman ia pakai agar masjid tidak panas. “Supaya masjid lebih dingin dan nyaman,” kata dia.
Atap datar membuat masjid juga tidak berkubah. Walhasil, ketika jadi, masjid perlu AC. Masalah memang selesai. Panitia puas. Tapi masjid semacam itu tidak (atau belum) menjadi contoh dari rasa syukur pada bumi yang lestari.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
Topik :