AREAL hutan Indonesia seluas 94,1 juta hektare dan sekitar 86,9 juta hektare ditetapkan sebagai kawasan hutan, artinya di bawah kendali negara. Dengan pelbagai regulasi, kawasan hutan salah satunya dipakai untuk pengerukan tambang dan mineral.
Sumber daya pertambangan secara alami berada dalam hutan karena di dasar lantainya terdapat mineral. Dengan nilai ekonomi yang tinggi, pemerintah mengizinkan pertambangan bahkan di hutan lindung.
Karena itu pertambangan, yang mengubah hutan dan mengeruk bumi, adalah kegiatan yang memicu bencana ekologis. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2020 bencana hendak dicegah dengan rehabilitasi dan reklamasi.
Menurut Irdika Mansyur, ahli tambang Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, rehabilitasi dan reklamasi seharusnya tak hanya memulihkan ekosistem yang rusak setelah kegiatan pertambangan selesai. Juga menyejahterakan masyarakat.
Karena itu, kata Irdika, perusahaan tambang harus berkomitmen dan sungguh-sungguh mengembalikan fungsi lahan agar bisa dimanfaatkan kembali. “Perlu dukungan regulasi untuk mengatur pemanfataan areal dan hasil reklamasi,” kata Irdika dalam webinar “Paradigma Rehabilitasi dan Reklamasi Kawasan Hutan” pada 6 Maret 2021 yang diadakan Komunitas Rimbaraya Indonesia.
Pada faktanya, kata Irdika, dari penelitian-penelitiannya ada tiga kategori perusahaan dalam memandang rehabilitasi dan reklamasi bekas areal pertambangannya: tidak punya komitmen, punya komitmen, dan melampaui kewajiban dalam aturan. Karena itu agar reklamasi melampaui kewajiban, ia mesti diubah dari pusat biaya menjadi menguntungkan. Dan perubahan itu, kata Irdika, perlu dukungan regulasi.
Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan kehutanan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University, memberikan sudut pandang lain melihat rehabilitasi dan reklamasi. Menurut dia, masalah keduanya cara berpikir pembuat kebijakan yang mengabaikan bukti empiris sehingga tak mengadopsinya dalam regulasi.
Agar rehabilitasi dan reklamasi berhasil, kata Hariadi, perlu kebijakan yang tak hanya mendorong keberhasilan secara administrasi. Lebih dari itu membangun kepercayaan dengan masyarakat agar mereka dengan sukarela mendukungnya karena mendapat manfaat ekonomi dan sosial dari sana. Jika dua aspek ini terpenuhi, aspek ekologi akan mengikuti.
Direktur Konservasi Tanah dan Air Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) KLHK Zainal setuju dengan Hariadi. Pengalaman merehabilitasi 14,03 juta hektare lahan bekas hutan, kata dia, memerlukan saling percaya dan manfaat imbal balik kepada masyarakat.
Menurut Zainal, salah satu manfaat rehabilitasi dan reklamasi yang efektif melalui perhutanan sosial. Dengan memberikan akses pengelolaan kepada masyarakat, rehabilitasi dan pemanfaatan ruang hutan setelah itu akan berlangsung secara swadaya. Masyarakat mendapatkan akses untuk meningkatkan ekonomi sekaligus menjaga keberlangsungannya.
Agar tahap-tahap rehabilitasi dan reklamasi berhasil, menurut Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nur Hygiawati perlu pemetaan lahan kritis sebagai acuan perencanaan pemulihan lahan. “Pemetaan juga sebagai basis data yang valid untuk merencanakan pemanfaatannya,” kata dia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :