TEKANAN antropogenik dan berbagai bencana alam akibat krisis iklim membuat skala kerusakan ekosistem menjadi masif. Contohnya, kebakaran hutan. Kebakaran hutan di Australia pada 2019-2020 menghabiskan lebih dari 23% wilayah berhutan temperate di sisi tenggara negara ini.
Orang setempat menyebutnya black summer. Hutan menjadi hitam. Namun sembilan pekan setelah kebakaran, di beberapa tempat menyeruak warna hijau di antara bekas-bekas kebakaran yang hitam. Mereka para pionir kehidupan ekosistem. Kita menyebutnya tumbuhan perintis.
Apa itu tumbuhan perintis dan apa peran kritis mereka bagi keberlanjutan hidup ekosistem?
Secara sederhana, pioneer species, atau tumbuhan perintis adalah spesies yang pertama kembali ke lingkungan yang rusak karena gangguan berat, seperti kebakaran dan penggundulan hutan. Tidak hanya tumbuhan, ada juga mikroba dan invertebrata perintis.
Seraya bertahan hidup, jenis-jenis perintis memulai pemulihan ekosistem dengan mengubah lingkungan yang rusak dan membuatnya menjadi tempat yang lebih ramah untuk organisme lain datang dan mulai hidup bersama. Modifikasi terjadi secara perlahan-lahan dengan mengubah kondisi abiotik (seperti tanah dan suhu) serta kondisi biotik (misalnya dengan menggabungkan ke dalam populasi dan menarik spesies mangsa) dalam jangka panjang.
Sebagai pemula, tugasnya berat. Mereka harus punya karakteristik tertentu, di antaranya: dapat bertahan pada lingkungan yang keras dan kritis, dapat menghasilkan biji atau berkecambah pada berbagai jenis lingkungan, menyukai banyak cahaya, dapat berfotosintesis karena kurangnya nutrisi dari tanah, mencapai kematangan reproduksi dengan sangat cepat, menghasilkan benih dalam jumlah besar dengan tingkat penyebaran yang tinggi, dan mereka harus dapat bertahan hidup pada periode dormansi yang panjang.
Masalahnya, sebagian karakteristik ini juga dimiliki oleh tumbuhan invasif, yang bisa menjadi ancaman bagi ekosistem, khususnya jika ada campur tangan manusia.
Peran tumbuhan perintis menjadi bagian penting dari proses ekologi paling mendasar—suksesi alam—yaitu proses pemulihan yang secara alami terjadi setelah munculnya gangguan pada ekosistem. Ketika tumbuhan perintis memulai suksesi ekologis di daerah yang belum pernah ada kehidupan sebelumnya, ini disebut suksesi primer.
Jamur dan lumut merupakan spesies pionir yang paling umum dalam suksesi primer, karena mereka memiliki kemampuan mengurai mineral untuk membentuk tanah dan selanjutnya menyusun bahan organik. Ketika tanah terbentuk, spesies lain seperti rumput mulai bergerak masuk. Kompleksitas komunitas baru kemudian meningkat dengan semakin banyaknya spesies baru yang datang, termasuk semak kecil dan akhirnya pohon.
Suksesi sekunder terjadi di tempat yang sudah ada kehidupan sebelum terjadi kerusakan. Ini artinya semua vegetasi telah mati atau rusak, tetapi masih ada tanah. Dalam kondisi ini kerja jenis-jenis perintis dimulai dari akar dan biji di tanah yang tersisa. Alternatifnya, benih terbawa angin atau oleh hewan yang berkunjung dari komunitas tetangga.
Rerumputan, pohon alders, pohon birch, dan pohon pinus adalah contoh tanaman yang memulai suksesi sekunder. Di Indonesia, jenis-jenis tumbuhan perintis seperti merkubung (Macaranga gigantea) dan merambung (Vernonia arborea) mendominasi wilayah bekas kebakaran di Kalimantan Timur.
Seiring waktu, baik pada suksesi primer maupun sekunder, ketika kondisi lingkungan semakin kondusif untuk kehidupan, komunitas di tempat tersebut menjadi semakin rapat dan kompleks. Tumbuhan-tumbuhan perintis pun menjadi tidak dominan lagi dan terkalahkan oleh jenis-jenis lain yang lebih kompetitif. Namun peran kritis mereka dalam menyediakan ruang tumbuh yang kondusif bagi keberlangsungan hidup ekosistem tidak tergantikan. Bayangkan jika jenis-jenis perintis ini tidak bisa melaksanakan ‘tugas’ awal mereka. Proses restorasi hutan akan stagnan.
Dalam buku ajar Ekologi Hutan Indonesia oleh Soerianegara dan Indrawan, disebutkan bahwa jika hutan hujan tropis mengalami kerusakan, suksesi sekunder dimulai dengan vegetasi rumput dan semak. Jika tanahnya tidak banyak rusak, dalam 15 sampai 20 tahun akan terbentuk hutan sekunder muda dan sesudah 50 tahun akan membentuk hutan sekunder tua yang berangsur-angsur akan mencapai klimaks. Ini tentunya dengan catatan tidak ada gangguan yang signifikan selama proses pemulihan tersebut.
Dalam State of the World’s Forest 2020 FAO menyebutkan setiap tahun sebanyak 10 juta hektare hutan rusak secara global. Merusaknya hanya perlu satu-dua jam saja, memulihkannya perlu 10-20 tahun.
Tidak hanya penting bagi suksesi alami, peran tumbuhan perintis juga penting untuk strategi restorasi lahan kritis yang bersinergi dengan alam. Dengan kemampuannya tumbuh di lahan-lahan kritis yang minim nutrisi dan air, menanam jenis-jenis perintis bisa menjadi cara yang efisien restorasi ekosistem dan lahan kritis.
Alih-alih membasminya, penting bagi pengelola wilayah pertambangan untuk mengenali jenis-jenis pionir dan memastikan mereka tetap ada. Karena merekalah yang akan secara alami membantu proses pemulihan ekosistem bekas tambang, sampai kembali menjadi ekosistem yang kompleks.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :