LEBIH dari dua dasawarsa rimbawan Indonesia akrab dengan istilah KHDTK atau Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus. Istilah ini muncul dalam pasal 8 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 4141/1999 tentang kehutanan.
Ayat itu selengkapnya berbunyi penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, diperlukan untuk kepentingan umum seperti: a) penelitian dan pengembangan; b) pendidikan dan latihan; dan c) religi dan budaya. Ayat (3) kawasan hutan dengan tujuan khusus tidak mengubah fungsi pokok, kawasan hutan.
KHDTK ini diatur lebih rinci dan detail melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/2018. Pokok-pokok substansi yang penting dalam peraturan menteri ini di antara adalah:
Pertama, KHDTK ditetapkan untuk kepentingan a) penelitian dan pengembangan kehutanan; b) pendidikan dan latihan kehutanan; atau c) religi dan budaya setempat. Pelaksanaan kegiatan KHDTK litbang kehutanan meliputi kegiatan a) penelitian dasar; b) penelitian terapan; c) penelitian kebijakan; dan/atau d) pengembangan eksperimental.
KHDTK pendidikan dan latihan kehutanan meliputi kegiatan a) pendidikan dan latihan teknis kehutanan; dan/atau b) pendidikan dan latihan fungsional kehutanan. Pelaksanaan kegiatan Religi dan Budaya setempat meliputi kegiatan yang menjaga, mempertahankan dan memelihara fungsi Religi dan Budaya sesuai dengan sejarah perkembangan masyarakat dan kelembagaan adat.
Kedua, penetapan KHDTK dilakukan pada a) semua fungsi kawasan hutan kecuali pada cagar alam dan zona inti taman nasional; b) kawasan hutan yang telah dibebani hak pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang kehutanan; atau c) kawasan hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan, setelah dikeluarkan dari areal kerjanya.
Ketiga, penetapan KHDTK memakai ketentuan luas a) pada areal KPH, paling banyak 5% dari luas setiap KPH; b) pada provinsi yang luas kawasan hutan di atas 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau dan/atau provinsi, paling luas 500 hektare; c) pada provinsi yang luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau dan/atau provinsi, paling luas 100 hektare; dan d) untuk satu unit KHDTK Religi dan Budaya, paling luas 10 hektare.
Keempat, pemanfaatan hutan pada areal KHDTK hanya dilakukan oleh pengelola KHDTK untuk mewujudkan pengelolaan KHDTK yang mandiri dan dilakukan pada areal pemanfaatan KHDTK. Areal pemanfaatan KHDTK ayat (2) paling banyak 10% dari luas KHDTK. Pemanfaatan hutan pada hutan produksi berupa 1) pemanfaatan kawasan; 2) pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan 3) pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam. Pemanfaatan pada hutan lindung berupa 1) pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam; dan 2) pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Penggunaan Kawasan Hutan
Yang mengejutkan adalah konsep KHDTK pada pasal 8 UU Kehutanan tidak diubah, ditambah, atau direvisi dalam UU Cipta Kerja. Bahkan tak masuk dalam Rancangan PP 23/2021.
Konsep KHDTK tiba-tiba muncul dalam PP itu dengan rumusan a) kawasan hutan dengan tujuan khusus; b) kawasan hutan dengan pengelolaan khusus; atau c) kawasan hutan untuk ketahanan pangan. Seharusnya penambahan pasal 8 dalam UU Kehutanan ini juga dicantumkan dalam UU Cipta Kerja dengan ketentuan lebih lanjut tentang kawasan hutan dengan tujuan tertentu diatur dalam PP 23/2021.
KHDTK menjadi bagian dari KHDTT (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Tertentu), di samping KHDPK (Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus) dan KHKP (Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan). Apa saja itu?
KHDPK
Ditetapkan untuk kepentingan a) Perhutanan Sosial; b) Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan; c) Penggunaan Kawasan Hutan; d) Rehabilitasi Hutan; e) Perlindungan Hutan; atau f) Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus dilakukan pada areal yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan pada sebagian Hutan Negara yang berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
Penetapan KHDPK memakai ketentuan a) tidak mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan; b) tidak mengubah bentang lahan pada Hutan Lindung atau Hutan Produksi; dan c) penutupan Hutannya bukan berupa Hutan primer. Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus ditetapkan oleh menteri.
KHKP
Untuk kegiatan penyediaan kawasan hutan guna pembangunan ketahanan pangan (food estate). Ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal dalam PP 23/2021 terkait dengan penggunaan kawasan hutan untuk KHUKP ada yang tidak sinkron dan terasa berseberangan antara satu dengan yang lain. Pasal-pasal yang perlu dicermati tersebut antara lain:
Pertama, penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Penggunaan kawasan hutan hanya bisa dilakukan di dalam a) kawasan hutan produksi; dan/atau b. kawasan hutan lindung (pasal 69 dan 90). Sementara bab III perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan pasal 58 ayat (4) berbunyi: pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan antara lain pengadaan tanah untuk ketahanan pangan (food estate) dan energi dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan/atau kawasan hutan produksi tetap.
Pasal 58, 69, dan 90 bertentangan satu sama lain. Di satu sisi, dalam hutan produksi (dapat dikonversi maupun tetap), untuk food estate bisa untuk pelepasan kawasan hutan yang muaranya bisa mengubah status dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan (misal Hak Guna Usaha (HGU) seperti perkebunan), sementara dalam KHDTT sebagai bagian dari penggunaan hutan tidak diperkenankan/diizinkan mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
Dalam Peraturan Menteri LHK P.24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate lebih membingungkan karena hutan produksi yang boleh dilepaskan kawasan hutannya hanya hutan produksi yang dapat dikonversi. Mestinya kekisruhan tentang food estate ini sudah tidak perlu terjadi dengan terbitnya PP 23/2021 ini.
Kedua, food estate dalam hutan lindung yang dianggap kontroversial. Dalam Bab V PP 23/2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, pada paragraf 2 pasal 129 tertulis kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung meliputi wana tani (agroforestry), wana mina (silvofishery) dan wana ternak (silvopasture).
Kegiatan usaha pemanfaatan kawasan hutan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan: a) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya, b) pengolahan tanah terbatas, c) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi, d) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan e) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.
Menurut Kepala Biro Humas KLHK, dalam pembangunan food estate pada kawasan hutan lindung (HL), syaratnya adalah hutan tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan hutan lindung yang terbuka, terdegradasi, atau sudah tidak ada tegakan hutan. Pemerintah berharap food estate bisa memulihkan degradasi itu. Caranya dengan pola kombinasi tanaman hutan (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak (sylvopasture) atau kombinasi tanaman hutan dengan perikanan (sylvofishery).
Tanaman hutan dengan ketiga pola kombinasi di atas akan berperan memperbaiki dan meningkatkan fungsi hutan lindung. Pembangunan food estate terintegrasi karena mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Ini disertai intervensi teknologi (benih, pemupukan, tata air, mekanisasi, pemasaran dan lain-lain) dengan pola kerja hutan sosial.
Pernyataan Kepala Biro Humas KLHK ini tidak selaras dan tidak konsisten dengan pasal 129, Bab V tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan yang mengatur kegiatan pemanfaatan kawasan hutan lindung. Sebab intervensi teknologi tak diizinkan. Pengolahan tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas.
Ketiga, dalam kenyataannya luas hutan produksi (hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi tetap) masih memadai dibanding dengan hutan lindung. Jika menilik luas kawasan hutan Indonesia 125,2 juta hektare, kawasan hutan produksi bisa dibilang lebih dari cukup.
Luas hutan produksi Indonesia mencapai 68,6 juta hektare atau 54,79%. Seluas 29,1 juta hektare berupa hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare hutan produksi terbatas ,dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pembangunan. Sementara luas hutan lindung yang hanya 29,5 juta hektare atau 23,56% saja.
Mengapa hutan lindung mesti dikorbankan untuk food estate?
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :