Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 16 Maret 2021

Impor Beras Amanat UU Cipta Kerja

Pemerintah hendak mengimpor 1 juta ton beras untuk menjalankan amanat UU Cipta Kerja yang tak lagi menjadikan impor nomor terakhir dalam ketahanan pangan. Menyakiti petani.

Seorang perempuan petani sedang memotong padi kuno dengan ani-ani (Foto: Asep Sugih Suntana)

ATURAN-aturan dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mulai dijalankan pemerintah. Selain kemudahan dan insentif bagi industri batu bara dengan mengeluarkan abu polutif (fly ash bottom ash) dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3), kini pemerintah hendak mengimpor 1 juta ton beras, justru di saat menjelang panen raya, harga stabil, dan cadangan cukup. 

Secara teoritis, impor kebutuhan pangan, atau impor apa pun, akan dilakukan pemerintah dalam keadaan darurat, yakni kemampuan dalam negeri merosot dan terjadi kelangkaan atau harga tak stabil. Menurut Badan Pusat Statistik, potensi panen pada pada Januari-April naik 3,08 juta ton menjadi 14,54 juta ton dibanding periode yang sama tahun lalu. Stok di gudang Bulog juga tersedia 1 juta ton. Dengan konsumsi rata-rata 94,9 kilogram per kapita, cadangan itu cukup untuk 1,5 bulan ke depan.

Konstruksi Kayu

Niat mengimpor beras diumumkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada 4 Maret 2021 saat rapat dengan Kementerian Perdagangan. Beras sebanyak itu akan dipakai separuhnya untuk cadangan nasional dan separuhnya untuk menyuntik gudang Bulog. Menteri Perdagangan M. Lutfi bahkan sudah menyiapkan tata waktu mendatangkan beras dari luar negeri itu.

Menurut Arif Satria, Rektor IPB University, selain mencukupi kebutuhan, impor juga biasanya dipakai untuk menekan pedagang agar mengeluarkan stok mereka ketika harga beras naik. Dengan gertakan impor, pedagang tak akan lagi menahan beras sehingga pasokan naik dan akhirnya harga turun. Sekarang, kata Arif, harga beras di tingkat petani sedang turun karena pasokannya melimpah. “Jadi impor beras ini sangat menyakitkan petani,” kata dia dalam pertemuan dengan wartawan pada 16 Maret 2021.

Senada dengan Arif, ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri, dalam blognya, juga mempertanyakan rencana impor beras oleh pemerintah. Ia menunjukkan harga gabah keting di tingkat petani pada Januari 2021 turun 6,7% dibanding periode sama tahun sebelumnya. Gabah kering giling bahkan turun 0,73% dibanding Desember 2020 dan turun tajam 8,28% dibanding Januari 2020.

Dibanding komoditas lain, seperti gula yang meroket, harga beras setahun terakhir relatif stabil. Karena tak ada alasan kuat pemerintah mengimpor begitu banyak beras, Faisal menduga alasan sebenarnya bukan cadangan melainkan mengakomodasi pemburu rente impor pangan. Menurut dia, pemerintah selalu memilih impor beras di waktu yang ganjil: waktu panen dan harga sedang rendah.

Dengan mengutip kejadian Oktober 2019, Faisal menghitung margin importir ketika mendatangkan beras menjelang panen raya. Waktu itu harga beras eceran di Indonesia Rp13.978 per kilogram, tiga kali lipat beras Vietnam. Dengan menetapkan harga Rp 7.000 per kilogram saja, importir menanggung untung Rp 2,5 triliun mendatangkan 1 juta ton.

Akhir Februari 2021, harga beras di penggilingan untuk jenis premium Rp 9.776 per kilogram, harga beras medium Rp 9.386, dan rata-rata Rp 9.116. Karena panen raya akan terjadi April, harga beras kemungkinan akan menurun lagi. Bandingkan dengan harga beras Vietnam yang rembes pada bulan lalu dijual di pasar hanya Rp 9.000. Selisih ini membuat harga beras di tingkat petani akan makin rontok.

Jika beras pun tak ada, Indonesia kaya akan tanaman substitusi yang kaya karbohidrat. Indonesia memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 75 jenis pangan sumber protein, 110 jenis rempah dan bumbu, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan, dan 40 jenis bahan minuman. Beras hanya satu bahan pangan yang bisa digantikan oleh tanaman lain.

Di luar soal otak-atik keuntungan dari harga dan stok, juga inovasi cerdas dalam teknologi makanan, impor beras kini tak dilarang atau menjadi nomor tiga setelah cadangan pangan nasional. Pasal 1 Undang-Undang Pangan yang selama ini menjadi dasar politik pangan Indonesia telah diubah oleh UU Cipta Kerja. Kedudukan impor menjadi sejajar dengan produksi dalam negeri.

Dalam UU Pangan pasal 1 nomor 7 berbunyi sebagai berikut:

Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak memenuhi kebutuhan.

UU Cipta Kerja mengubahnya menjadi:

Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.

Atau pasal 36 UU Pangan yang diubah oleh UU Cipta Kerja:

Pasal 36 UU 18/2012 tentang pangan:

(1) Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
(2) Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi.
(3) Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.

Pasal 36 UU 11/2021 tentang cipta kerja:

(1) Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan nasional.
(3) Impor Pangan dan Impor Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.

Maka, jika kini pemerintah hendak mengimpor beras dengan dalih cadangan pangan, kebijakan itu merupakan implementasi pasal 1 UU Pangan ini: impor menjadi sederajat dalam menyediakan pangan, bukan lagi pilihan terakhir dalam keadaan darurat. Jika sebelum 2020 impor pangan yang didahulukan tanpa melihat cadangan pangan sebagai pelanggaran konstitusi, kini impor pangan menjadi sah tanpa data produksi maupun cadangan pangan nasional.

Kritik Arif Satria atau Faisal Basri menjadi angin lalu karena pemerintah kini sedang menjalankan amanat konstitusi, yakni menjaga ketersediaan pangan menurut pasal 1 UU Pangan dalam UU Cipta Kerja.

Referensi yang dikutip Faisal Basri tentang keadaan 2018 kini menjadi tak berarti. Tahun ini stok beras melambung 4 juta ton akibat impor. Sementara penyalurannya merosot dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton. Akibatnya, Bulog kewalahan mengelola stok beras sebanyak itu hingga beras peninggalan dua tahun lalu itu masih ada hingga kini dan tak layak konsumsi.

Pemborosan itu akan makin naik jika ditambah biaya penyimpanan. Selain itu, Bulog menjadi tak mampu menyerap beras yang dihasilkan petani Indonesia. Fakta ini terabaikan karena pemerintah tengah menjalankan amanat UU Cipta Kerja.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain