KEMARIN, 27 Maret 2021, kita merayakan Earth Hour, mematikan listrik selama 1 jam antara pukul 20.30-21.30. Tanggal 22 April kelak kita akan memperingati Hari Bumi. Kesibukan acap membuat kita lupa makna hubungan kedua hari penting ini, sarana kita memahami hubungan kita dengan tempat tinggal. Sebagai tanda ekofilia.
Ekofilia berasal dari ecophilia. “Oikos” dari bahasa Yunani berarti keluarga yang dekat dengan makna rumah atau tempat tinggal. Dalam bahasa Inggris kemudian diserap sebagai “eco”, istilah generic untuk mengekspresikan konsep dan praktik terkait dengan tempat hunian berbagai organisme hidup. Lalu “philia” adalah mencintai atau menyayangi.
Maka, secara sederhana, ecophilia atau ekofilia adalah konsep tentang kepedulian, kedekatan dan koeksistensi positif antara manusia dan alam, yang berbasiskan cabang keilmuan psikologi (ecopsychology). Artikel Manusia dan Satwa Liar: Tak Hanya Berbagi Ruang, menghadirkan koeksistensi positif manusia dengan hidupan liar di alam menjadi salah satu kunci sukses berbagai upaya konservasi.
Istilah ecophilia dikenalkan oleh Ruyu Hung, profesor filosofi di Universitas Nasonal Chiayi Taiwan dalam studinya pada 2017. Ia menyamakannya dengan konsep biophilia yang pertama diperkenalkan oleh E.O Wilson, ahli biologi Amerika Serikat, pada 1984.
Biophilia adalah kecenderungan inheren manusia berafiliasi dengan alam dan kehidupan. Kecenderungan ini kemudian diterjemahkan menjadi kepedulian dan pelestarian kehidupan, serta kekaguman dan pemujaan terhadap unsur-unsur kehidupan. Oleh karenanya, studi ini menyebutkan konsep ekofilia atau ecophilia maupun biophilia menjadi etika universal untuk konservasi.
Kebalikan dari ecophilia adalah ecophobia, yaitu ketakutan pada alam atau unsur-unsur terkait alam. Ketakutan ini bisa bersumber dari pemahaman yang kurang komprehensif berbagai fenomena alam yang mengerikan, seperti bencana alam atau konflik manusia dengan satwa liar. Harimau yang bernilai penting bagi para konservasionis, bisa jadi adalah sosok yang dibenci warga desa sekitar hutan karena menjadi pemangsa ternak mereka.
Melalui aplikasi pada jalur pendidikan, upaya konservasi bisa mengambil manfaat dari konsep ecophilia. Ruyu Hung berargumen bahwa proses pendidikan berbasis ecophilia bisa membangkitkan refleksi tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dan mendorong rekonsiliasi yang dibutuhkan antara manusia dan alam.
Ada tiga hubungan pedagogis antara manusia dengan alam, yaitu: belajar tentang alam, belajar di alam, dan belajar dari alam. Pada hubungan yang pertama, cara konvensional belajar tentang alam biasanya sangat terbatas pada media cetak dan mengandalkan kemampuan kognitif. Akibatnya, tidak mudah membangkitkan emosi dan perasaan terhadap alam.
Karenanya, sarana belajar tentang alam harus diperluas untuk mencakup media-media yang perseptual, dapat dirasakan dan imajinatif. Mata, kulit, lidah, telinga, dan lubang hidung adalah gerbang di mana tubuh kita bisa menerima asupan/pengayaan tentang berbagai hal lain. Tidak semua fenomena alam terlihat atau terukur sebagai objek untuk dipelajari. Namun kebanyakan ini berupa lanskap yang tidak terlihat untuk dirasakan, dipikirkan, dan direnungkan.
Alih-alih mendorong kecintaan pada alam, pendidikan lingkungan yang didasarkan pada abstraksi semata bisa mendorong ecophobia, karena murid merasa tidak berdaya atau tidak bisa berbuat apa-apa ketika belajar tentang alam sebagai entitas terpisah. Belajar langsung di alam dan belajar dari alam bisa menjembatani kesenjangan ini.
Oleh karenanya, ketiga bentuk hubungan pedagogis manusia-alam tersebut adalah prasyarat mengembangkan ecophilia dalam pikiran dan hati anak-anak, dan lebih jauh lagi, untuk menumbuhkan apa yang disebut sebagai ecological literacy atau melek ekologis. Ini artinya, anak-anak maupun orang dewasa tidak hanya dapat membaca, menulis dan berhitung, namun juga dapat mengamati alam dengan wawasan, memadukan bentang alam dan bentang pikiran. Tidak hanya pengetahuan tentang lingkungan, tetapi membangun etika lingkungan sejak dini.
Jika dikelola dengan tepat, konsep sekolah alam bisa menjadi salah satu sarana mewujudkan literasi ekologis ini. Membangun dan menumbuhkan ekofilia atau ecophilia dalam pikiran dan hati anak-anak, menjadi langkah awal perbaikan hubungan manusia dan alam. Investasi melalui jalur edukasi secara komprehensif menjadi salah satu gerbang keberhasilan upaya konservasi alam yang berkelanjutan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :