UNDANG-Undang (UU) Cipta Kerja bertujuan memberikan kemudahan berusaha dan menjadi solusi tumpang tindih pengelolaan hutan dan lahan yang ruwet dan tak kunjung selesai. Harapan itu seraya melestarikan lingkungan hidup dan keadilan sosial-ekonomi. Maka pasal-pasal omnibus law UU Cipta Kerja diturunkan melalui 45 peraturan pemerintah dan 4 peraturan presiden.
Fokus aturan turunan UU Cipta Kerja adalah mengatasi ketidaksesuaian perencanaan pembangunan dan implementasi manajemen pengelolaan sumber daya alam dan perizinannya. Kita tahu, penguasaan lahan di dalam kawasan hutan yang tak jelas legalitasnya akibat saling-klaim yang sudah puluhan tahun tak terselesaikan.
Dari data yang diolah Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta (2020) terlihat ada lebih dari 40% dari luas daratan Indonesia yang izin pemanfaatannya tumpang-tindih. Tumpang-tindih itu telah melahirkan konflik dan ketimpangan. Selain itu, proses perizinan mengelola lahan dan hutan masih dihinggapi berbagai bentuk biaya dan transaksi. Akibatnya, meski izin beroperasi tapi aktivitasnya tak sesuai dengan aturan.
Peraturan Pemerintah yang menurunkan pasal-pasal UU Cipta Kerja dibuat untuk menyelesaikannya. Bahkan kini sedang sosialisasi peraturan menteri yang berada di bawahnya lagi. Harapan pemerintah, tentu, ada sinkronisasi antar sektor seperti semangat pembuatan aturan berupa omnibus law (menggabungkan, mengurangi, menambah aturan yang ada).
Itu artinya, isi PP atau peraturan menteri juga mesti sinkron. Sayangnya harapan itu belum terwujud, atau setidaknya, menurut pembacaan saya, masih ada interpretasi yang berbeda dalam pelbagai PP tersebut.
Biasanya, dalam satu undang-undang ada beberapa PP, yang isinya berbeda satu dengan yang lain karena mengatur hal-hal yang berbeda di dalam undang-undang itu. Misalnya, dalam UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan ada PP perencanaan, pengelolaan, rehabilitasi hutan dan lain-lain. Isinya mengatur hal berbeda.
Kini, UU Cipta Kerja memiliki puluhan PP. Secara substansial ada banyak kesamaan obyek karena mengatur investasi.
Pengelolaan hutan dan lahan mestinya masuk dalam PP yang mengatur tata ruang yang akan menyelesaikan problem ketidaksesuaian pemakaian ruang di luar maupun kawasan hutan, perizinan maupun hak atas lahan, pemanfaatan pulau-pulau kecil, lingkungan hidup, dan berbagai pengaturan lainnya.
Masalahnya, dari PP yang sudah terbit pada 2 Februari 2021, tampak belum ada kesamaan interpretasi dari pembuatnya. Setidaknya untuk menjawab pertanyaan ini: apakah semua PP di dalam UU Cipta Kerja bersifat independen atau komplementer.
Jika dilihat dari tujuan omnibus law UU Cipta Kerja semestinya 49 PP itu bersifat komplementer, setiap PP ditunjang oleh PP yang lain. Tapi, mari kita bahas beberapa pasal untuk menjukkan contohnya.
PP 43/2021 hendak penyelesaian ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin, dan/atau hak atas tanah. Sementara PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan semestinya saling mendukung. Ternyata tak seperti harapan UU itu.
Kita lihat pasal 11 ayat 3 di PP 43/2021. Di sana ada keterangan bahwa masyarakat yang telah menguasai tanah dan memanfaatkannya secara fisik paling singkat 20 tahun secara terus menerus, legalitasnya diselesaikan oleh menteri di bidang kehutanan sesuai aturan. Namun, dalam PP 23/2021 penyelesaian legalitas pemakaian lahan oleh masyarakat waktunya hanya 5 tahun. Bahkan ditetapkan pula luasnya maksimal 5 hektare seperti tertera di pasal 24. Mana yang harus jadi acuan: 5 atau 20 tahun?
Demikian pula solusi menyelesaikan konflik ruang dalam PP 43/2021 yang tidak memakai dasar tiga fungsi hutan, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Dalam PP 23/2021 fungsi hutan tersebut menjadi basis dan kriteria penting. Mana yang menjadi penentu?
Dalam sosialisasi PP 43/2021 pekan lalu, pembuatnya menjelaskan bahwa fungsi hutan sengaja tidak dipertimbangkan dalam PP 43/2021 karena akan melampaui kewenangan menteri yang membidangi kehutanan.
Persoalannya, ketika PP itu digunakan secara independen atau terpisah dari PP lain, pelaksanaannya akan berbenturan. Sedangkan apabila pemakaiannya komplementer, dalam PP 43/2021 tidak ada klausul yang menyatakan “sepanjang terkait fungsi hutan acuan aturannya adalah PP 23/2021”.
Masalah lain adalah penetapan tata waktu. Dalam PP 43/2021 ada ketetapan bahwa penyelesaian ketidaksesuaian izin, konsesi, hak atas tanah dan/atau hak pengelolaan di dalam kawasan hutan akibat ketelanjuran (pasal 11) waktu penyelesaiannya paling lambat 3 tahun. Dalam PP 23/2021, di samping tidak ada istilah “ketelanjuran”, juga tidak ada batas waktu penyelesaian konflik tersebut.
Berapa lama jadinya konflik harus selesai mengingat investor akan hengkang jika urusan izin lahan bertele-tele. Bagi investor, waktu adalah uang, bukan?
Soal batas waktu ini juga berpotensi menimbulkan masalah lain dalam percepatan investasi seperti pasal 5 PP 43/2021. Penyelesaian batas daerah ditetapkan maksimal 5 bulan. Jika antar daerah tidak sepakat dalam batas wilayahnya, menteri yang membidangi urusan dalam negeri akan menetapkannya dalam waktu 1 bulan. Apalagi jika problemnya adalah rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten yang bersinggungan dengan kawasan hutan. Penyelesaiannya, menurut pasal 8, maksimal 18 bulan.
Tata waktu penyelesaian konflik ini krusial karena jika tak selesai sesuai tata waktu ini, selain tak menarik bagi investor,akan melahirkan problem baru karena setelah prosesnya berjalan perbuatan yang tak sesuai tata ruang menjadi tidak keliru.
Kita masih menebak-nebak bagaimana akhir penjabaran UU Cipta Kerja ini. Apakah cita-cita menarik investasi, mewujudkan kesejahteraan, dan melahirkan lapangan kerja baru akan tercapai? Pertanyaan ini muncul karena begitu banyak hal yang tak sinkron dalam aturan-aturan itu yang punya konsekuensi besar ketika pelaksanaannya.
Atau mungkin keraguannya dibalik: pertanyaan itu muncul karena yang tak membuatnya, seperti saya, salah membaca berbagai PP tersebut. Persoalannya, jika cara membacanya keliru pun tetap ada masalah karena pelbagai PP itu masih akan dijabarkan dalam peraturan menteri.
Karena itu akan baik jika pemerintah menjelaskan kecemasan PP UU Cipta Kerja tak sinkron ini kepada masyarakat luas agar ada pemahaman bersama sehingga tidak keliru saat menjalankannya kelak, sesuai cita-cita omnibus law UU Cipta Kerja.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :