Kabar Baru| 07 April 2021
Syarat Menuju Nol Emisi 2070
MESKI tak merevisi kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC) menurunkan emisi karbon, pemerintah Indonesia menetapkan tahun 2070 nol emisi. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman mengumumkan tekad itu pada 19 Maret 2021.
Target penurunan emisi Indonesia masih sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan asing. Dengan memakai acuan emisi 2010, persentase sebesar itu sebanyak 834 juta ton setara CO2 dan 1,1 miliar ton. Produksi emisi nasional pada 2019 sebanyak 1,87 miliar ton.
Dengan pertumbuhan emisi, jika mengacu 2000-2012, sebesar 3,2% per tahun, produksi emisi karbon Indonesia pada 2070 akan mencapai lebih dari 3 miliar ton. Maka menurunkan emisi dengan cara biasa membuat target nol emisi 2070 hanya akan ada di atas kertas.
Nol emisi 2070 itu pun sudah melenceng 20 tahun dari yang diharapkan dalam Perjanjian Paris 2015. Waktu itu sebanyak 195 negara anggota PBB menandatangani janji menurunkan emisi sebanyak 45% pada 2030 yang mengacu produksi emisi 2010 untuk menekan suhu bumi tak lebih dari 1,50 Celsius pada 2050.
Cina, sebagai produsen emisi terbesar hari ini dengan lebih dari 10 miliar ton, berjanji menjadikannya nol pada 2060. Inggris, yang tahun lalu berhasil menekan emisi terendah sejak Perang Dunia II, akan menjadikannya nol pada 2050. Negara-negara Uni Eropa lebih ambisius lagi, yakni pada 2030.
Emisi adalah resultante aktivitas manusia dengan kebijakan ekonomi yang membutuhkan energi. Sementara energi masih berasal dari bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca. Gas rumah kaca membuat atmosfer kehilangan kemampuan menyerap emisi karbon dari bumi. Akibatnya, panas memantul kembali ke planet ini dan perlahan-lahan menaikkan suhu udara.
Emisi global tahunan saat ini sebanyak 51 miliar ton setara CO2,, 72% berasal dari pembakaran energi dan industri. Emisi sebanyak itu membuat konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer mencapai rekor baru sebesar 414,7 part per million tahun 2020. Untuk mencegah suhu naik 1,50 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850, emisi global harus ditekan 25-30 miliar ton menuju nol pada 2050.
Untuk menuju nol emisi, pemerintah Indonesia membuat tiga skenario mitigasi: menyesuaikan dengan kebijakan ekonomi, melalui transisi energi, dan skenario pembangunan rendah karbon. Namun, dari presentasi KLHK, dengan skenario rendah karbon sekali pun, emisi yang bisa diturunkan tak terlalu signifikan. Dengan puncak emisi pada 2030, emisi diharapkan menurun dan tersisa 550 juta ton pada 2050.
Emisi sebanyak itu berasal dari pembakaran batu bara, yang menjadi sumber energi andalan pemerintah. Meski sudah turun, pada 2050 energi batu bara masih diharapkan mengisi 39% bauran energi, lebih tinggi dibanding energi terbarukan yang hanya 32%. Batu bara masih akan diproduksi sebanyak 285 juta ton pada 2050.
Laporan Greenpeace yang diluncurkan 6 April 2021 menambah pesimisme itu, terutama pelepasan karbon dari perubahan pemakaian lahan hutan. Dengan menganalisis izin pelepasan kawasan hutan selama 2011-2019 di Papua untuk perkebunan, ada 168.471 hektare hutan alam Papua yang telah berubah menjadi perkebunan, dari 951.771 hektare rimba yang tak lagi masuk kawasan hutan.
Ironisnya, menurut Greenpeace, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan atau pertanian itu dilakukan setelah kebijakan moratorium pelepasan hutan alam primer pada 2011 dan moratorium izin baru kelapa sawit pada 2018. Pelepasan kawasan hutan berdasarkan penghapusan areal konsesi dari peta indikatif moratorium atas permintaan perusahaan. “Dengan tren seperti ini, nol emisi 2070 tidak akan tercapai,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Juru Kampanye Hutan Greenpeace saat peluncuran laporan itu.
Menurut Arie, pada 2018 jumlah karbon yang tersimpan dari areal pelepasan kawasan hutan sebanyak 71,2 juta ton setara CO2. SImpanan karbon sebanyak itu sama dengan setengah emisi tahunan seluruh penerbangan internasional pada tahun tersebut. Perubahan hutan menjadi non hutan membuat penyerapan emisinya ikut terdegradasi.
Meski begitu, ada harapan baru dari Papua Barat, yang mendeklarasikan diri "Provensi Konservasi". Melalui evaluasi konsesi pemanfataan hutan untuk 24 izin seluas 500.000 hektare, pemerintah Papua menemukan bahwa 13 konsesi belum beroperasi. Sehingga 383.431 hektare masih berupa hutan. Pemerintah Papua Barat merekomendasikan mencabut izin yang belum berjalan dan mendelagasikan pengelolaannya kepada masyarakat adat dengan teknik manajemen berkelanjutan.
Temuan Greenpeace ini berbeda dengan penilaian Global Forest Watch oleh World Resources Institute. WRI memuji kebijakan moratorium izin baru kelapa sawit sehingga kehilangan tutupan hutan alam Indonesia berkurang. Indonesia bahkan keluar dari tiga negara terbanyak menyumbang kehilangan hutan pada 2020. Tahun lalu hutan Indonesia yang hilang seluas 270.000 hektare dan berada di posisi ke-4, setelah Brasil, Kongo, dan Bolivia.
Angka WRI ini dua kali lebih tinggi dibanding angka resmi yang dirilis pemerintah sebanyak 197.000 hektare. Perbedaan metode menghitung hilangnya tutupan hutan dan waktu pemantauan membuat temuan dua lembaga berbeda cukup signifikan.
Menekan deforestasi adalah syarat bagi Indonesia jika ingin nol emisi pada 2070. Jumlah emisi yang diproduksi akibat deforestasi pada 2010 sebanyak 647 juta ton, tertinggi dibanding energi, sampah, industri, dan pertanian. Tanpa mitigasi, pada 2030 jumlahnya naik 714 juta ton.
Kehilangan hutan membuat bumi kehilangan penyerap dan penahan emisi. Semakin gundul hutan akan semakin mudah emisi akibat pembakaran energi terlepas ke atmosfer yang menaikkan konsentrasi gas rumah kaca.
Selain menekan deforestasi, kebijakan lain adalah transisi energi. Masalahnya rencana pemerintah masih mengandalkan batu bara. Undang-Undang Cipta Kerja malah memberikan banyak insentif untuk industri ini, berbanding terbalik dengan industri energi terbarukan yang menjadi jalan transisi energi mengurangi emisi karbon.
Koreksi 12 April 2021: dari karbon yang dilepaskan 71,2 juta ton menjadi jumlah karbon yang tersimpan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :