Kabar Baru| 09 April 2021
Krisis Iklim Mengancam Satwa Endemik
KRISIS iklim kian mencemaskan. Para peneliti biologi menerbitkan hasil penelitian tentang bahaya krisis iklim terhadap hewan endemik dunia. Dalam riset yang dimuat jurnal Biological Conservation edisi 9 April 2021, mereka memprediksi 4% hewan endemik di darat dan laut akan punah jika suhu bumi naik 20 Celsius dibanding masa praindustri 1800-8150.
Para ahli itu menganalisis 300 titik pusat keanekaragaman hayati bumi, tempat dengan jumlah spesies hewan dan tumbuhan yang sangat tinggi, baik di darat dan laut. Tim ilmuwan dunia itu mendapatkan banyak lokasi berisi spesies endemik unik yang berada di satu lokasi geografis seperti satu pulau atau satu negara.
Mereka menemukan bahwa jika planet memanas lebih dari 3°C maka sepertiga spesies endemik yang hidup di darat, dan sekitar setengah dari spesies endemik yang hidup di laut, terancam kepunahan. Sementara di wilayah pegunungan, sebanyak 84% hewan dan tumbuhan endemik juga menghadapi kepunahan pada suhu tersebut.
Di pulau-pulau, jumlahnya akan meningkat hingga 100%. Secara keseluruhan, 92% spesies endemik darat dan 95% spesies endemik laut menghadapi ancaman serius karena berangsur-angsur jumlahnya menurun.
Spesies endemik tersebut termasuk beberapa hewan dan tumbuhan paling ikonik di dunia. Spesies endemik yang terancam oleh perubahan iklim termasuk semua spesies lemur yang unik di Madagaskar dan macan tutul salju, salah satu hewan paling karismatik di Himalaya.
Para peneliti juga memasukkan tanaman medis penting yang akan punah dari muka bumi seperti lumut Lobaria pindarensis, bahan obat untuk meringankan radang sendi.
Studi tersebut menemukan bahwa spesies endemik 2,7 kali lebih mungkin punah akibat peningkatan suhu yang tidak terkendali dibandingkan spesies yang berada di banyak tempat. “Perubahan iklim mengancam daerah yang dipenuhi dengan spesies yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia. Risiko spesies itu hilang selamanya meningkat lebih dari sepuluh kali lipat jika kita melewatkan tujuan Perjanjian Paris,” kata penulis utama studi dan peneliti di Universitas Federal Rio de Janeiro, Stella Manes, seperti termuat dalam rilis yang disebarkan Yayasan Indonesia Cerah.
Keanekaragaman hayati, kata Manes, menjadi indikator kesehatan alam. alam yang sehat memberikan kontribusi yang sangat diperlukan bagi orang-orang, seperti air, makanan, material, perlindungan dari bencana, rekreasi, serta hubungan budaya dan spiritual. Sehingga perubahan iklim justu bisa ditangkal dengannya. Masalahnya, mereka justru terancam oleh perubahan iklim. Padahal,
Para ilmuwan juga memastikan jika emisi gas rumah kaca terus naik, tumbuhan endemik di kepulauan Karibia, Madagaskar, dan Sri Lanka akan musnah setelah 2050. Daerah tropis memang rentan. Mereka memprediksi lebih dari 60% spesies endemik tropis menghadapi kepunahan.
“Studi ini menemukan risiko kepunahan akibat perubahan iklim untuk spesies yang tidak ditemukan di mana pun kecuali pulau-pulau seperti di Karibia, Pasifik, Asia Tenggara, Mediterania, atau Oseania, yang berisiko sebanyak delapan kali lebih tinggi daripada di wilayah daratan,” kata Shobha S. Maharaj, Spesialis Pulau dari Jurnal Ilmu Lingkungan dan Energi Terbarukan Karibia.
Kelangkaan geografis dari spesies ini, kata Maharaj, membuat mereka memiliki nilai penting bagi alam. Spesies seperti itu tidak dapat berpindah dengan mudah ke lingkungan yang lebih menguntungkan, dan kepunahan mereka dapat mengakibatkan hilangnya spesies global yang tidak proporsional.
Karena itu, untuk menahan laju kepunahan satwa liar, para peneliti menganjurkan agar setiap negara patuh pada janji menurunkan emisi karbon dan nol emisi pada 2050. Perjanjian Paris 2015 mencatat sebanyak 195 negara telah berjanji menurunkan emisi mereka mulai 2020 untuk mencegah kenaikan suhu bumi naik 1,5C pada 2050.
Kini jumlah emisi global tahunan sebanyak 51 miliar ton setara CO2. Jika kita ingin menahan suhu bumi di bawah1,5-2C, emisi mesti ditekan hingga 25-30 miliar ton setahun. Sayangnya, dengan kebijakan sekarang jumlah emisi diperkirakan melonjak 64 miliar ton sehingga kenaikan suhu bumi diperkirakan tembus 4C.
Beberapa negara telah berjanji nol emisi pada 2050, seperti Inggris. Tapi Cina baru menyatakan nol emisi 2060. Indonesia lebih lama lagi: 2070. Kebijakan menuju ke sana juga mencemaskan karena energi fosil masih akan jadi prioritas untuk menumbuhkan ekonomi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :