KERUSAKAN hutan alam ditandai dengan degradasi dan deforestasi. Degradasi hutan adalah penurunan kualitas dari fungsinya. Fungsi hutan sebagai penyedia air, penyerap karbon, dan sebagai habitat pelbagai satwa. Degradasi bisa terlihat dari menurunnya luas tutupan tajuk hingga perubahan struktur hutan dari semak hingga pohon tinggi.
Penyebab degradasi hutan bisa karena faktor alam seperti kebakaran hutan, perubahan iklim, hama dan penyakit. Atau juga karena fragmentasi hutan sehingga tersekat untuk pelbagai keperluan. Hutan alam Indonesia yang telah mengalami degradasi diperkirakan 30 persen atau sekitar 34 juta hektare, meski validitasnya masih jadi perdebatan.
Sementara deforestasi adalah menghilangnya wilayah hutan untuk kepentingan tertentu sehingga hutan kehilangan fungsi utamanya. Deforestasi lebih banyak karena faktor manusia yang mengubah hutan untuk peternakan, pertanian, hingga permukiman. Sejak revolusi industri tiga abad lalu, setengah tutupan hutan dunia telah hilang.
Dalam perubahan iklim global sekarang, degradasi dan deforestasi hutan alam tropika basah seperti di Indonesia menjadi penyebab terbesar kenaikan suhu bumi akibat peningkatan emisi karbon. Kawasan hutan gambut dan mangrove mampu melepaskan berjuta-juta ton karbon di alam bebas karena kemampuan menyerap karbonnya yang tinggi dibanding ekosistem hutan lain.
Sebelum pemerintah mengizinkan investasi membuka hutan pada 1968, deforestasi relatif kecil. Bentuk deforestasi hanya akibat praktik perladangan berpindah oleh masyarakat. Penelitian telah membuktikan, praktik ladang berpindah tak akan berdampak negatif karena skalanya kecil, bahkan masyarakat menciptakan siklus hutan memulihkan diri secara alamiah.
Bonanza kayu menjadi tulang punggung pembangunan selama tiga dekade, penyumbang devisa terbesar setelah minyak bumi. Meski Orde Baru runtuh, eksploitasi hasil hutan kayu alam tidak jauh berubah setelah Reformasi 1998. Izin baru membuka hutan pada 2000 bertambah 600 perusahaan dengan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare. Devisa negara dari mereka hampir setara dengan minyak bumi, US$ 9 miliar per tahun.
Ekses izin HPH yang tidak terkendali adalah tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk untuk bisnis. Hasilnya adalah degradasi dan deforestasi hutan. Bentuknya adalah kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan, banjir dan longsor, serta kekeringan. Kita kalang kabut memadamkan semua bencana itu. Belum lagi konflik tenurial akibat ketimpangan dalam pengusahaan hutan.
Kini areal konsesi yang ditinggalkan oleh 345 perusahaan seluas lebih dari 45,3 juta hektare yang menjadi daerah bebas dan terbuka (open access) yang mudah dimasuki oleh perambah hutan. Memang, sebagian bekas HPH ini digunakan juga untuk izin hutan tanaman industri (HTI) yang jumlahnya 293 unit dengan luas areal 11,3 juta hektare.
Kita berasumsi bahwa sisa lahan hutan yang terbuka itu untuk perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare. Sementara alih fungsi kawasan hutan seluas 6,7 juta hektare. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pelepasan kawasan tersebut pada era Soeharto seluas 3,4 juta hektare, Habibie 678.373 hektare, era Abdurrahman Wahid 163.566 hektare, Megawati 0 ha, Susilo Bambang Yudhoyono 2,2 juta hektare dan era Joko Widodo 305.984 hektare.
Jika ditambah dengan kebakaran, perambahan hutan dan perladangan berpindah, alih fungsi hutan lebih dari 1,5 juta hektare. Maka deforestasi akibat HPH setelah dikurangi HTI, semestinya untuk perhutanan sosial seluas 13,1 juta hektare. Jika ditambah areal terbakar, areal terbuka yang menjadi deforestasi seluas 14,6 juta hektare.
Sementara jika merujuk Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK 2020-2124, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare (2018), yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektare , hutan lindung 2.379.371 hektare , hutan produksi 5.109.936 hektare, kawasan lindung pada areal penggunaan lain (APL) 2.234.657 hektare, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare. Sedangkan laju penambahan deforestasi setiap tahun rata-rata 500.000 hektare.
Karena itu kita butuh pemulihan hutan. Dalam bahasa yang sederhana pemulihan (recovery) hutan adalah kegiatan mengembalikan kondisi hutan seperti semula. Kegiatan pemulihan hutan, skala dan cakupannya lebih luas dibandingkan dengan rehabilitasi dan restorasi hutan. Pemulihan hutan dikenal dalam pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam serta pemulihan ekosistem lahan gambut.
Pemulihan hutan selain restorasi adalah mekanisme alam melalui suksesi alami, rehabilitasi dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rehabilitasi Hutan
Dalam pasal 40 UU Kehutanan, rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.
Reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan. Jika reboisasi dilaksanakan dalam kawasan hutan, penghijauan di luar kawasan hutan. Rehabilitasi hutan dan lahan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama di bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir dan kekeringan bisa dipertahankan secara maksimal.
Rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya. Pada cagar alam dan zona inti taman nasional terlarang ada kegiatan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.
Reklamasi Hutan
Reklamasi hutan meliputi usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 76/2008 yang diperbarui PP 26/2020, reklamasi hutan dilakukan pada lahan dan vegetasi hutan pada kawasan hutan yang telah mengalami perubahan permukaan tanah dan perubahan penutupan tanah akibat penggunaan kawasan hutan dan bencana alam.
Perubahan permukaan tanah adalah berubahnya bentang alam pada kawasan hutan. Perubahan bentang alam sebagai akibat penggunaan kawasan hutan antara lain berupa pembangunan instalasi air, eksploitasi pertambangan, atau bencana alam, yang menyebabkan penurunan kualitas hutan secara ekonomi, sosial dan ekologi dalam keseimbangan ekosistem DAS. Sementara perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan.
Reklamasi hutan biasanya dilakukan di bekas pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, instalasi air, kepentingan religi, kepentingan pertahanan keamanan, atau bencana alam. Reklamasi hutan akibat bencana alam dalam kawasan hutan bisa terjadi secara murni dan sebagai akibat kelalaian pemegang hak pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan. Reklamasi hutan pada areal bencana alam dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Restorasi Hutan
Restorasi adalah salah satu istilah yang digunakan dalam kegiatan pengawetan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Salah satu kegiatan pengawetan adalah pemulihan ekosistem. Pemulihan ekosistem untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
PP 28/2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam mengamanatkan tata cara pelaksanaan pemulihan ekosistem yang dilakukan melalui mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi. Restorasi juga bisa dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain.
Sejak 2007, Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan produksi melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Pemerintah telah mengalokasikan sekitar 1,79 juta hektar kawasan hutan produksi untuk kegiatan Restorasi Ekosistem. Saat ini, arela restorasi baru 558,185 ribu hektare oleh 14 perusahaan.
Dengan terbitnya PP 23/2021, yang menjadi turunan UU Cipta Kerja, restorasi ekosistem tak ada lagi. Begitu juga HPH dan HTI. Kini hanya ada satu izin, yakni izin berusaha. Jenisnya bermacam-macam, termasuk penyerapan karbon yang menjadi usaha inti restorasi ekosistem.
Istilah restorasi juga dikenal dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.
Dalam PP 57/2016 disebutkan bahwa pemulihan fungsi ekosistem gambut melalui suksesi alami, rehabilitasi, restorasi, dan/atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Restorasi pada ekosistem gambut dilakukan dengan penerapan teknik-teknik restorasi: mencakup pengaturan tata air di tingkat tapak, pekerjaan konstruksi, operasi, dan pemeliharaan yang meliputi penataan infrastruktur pembasahan (rewetting) gambut, dan/atau penerapan budidaya menurut kearifan lokal.
Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut pada 2016 yang bertugas merestorasi gambut yang rusak seluas 2,4juta hektare. BRG berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove dengan tambahan tugas merestorasi gambut yang tersisa seluas 1,2 juta hektare dan merehabilitasi mangrove 600.000 hektare di enam provinsi: Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Utara dan Papua Barat.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :