Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 April 2021

Bitcoin Tak Ramah Lingkungan

Kendati virtual, penambangan dan perdagangan bitcoin menghasilkan emisi lebih banyak dibanding Qatar dan Ceko. Sumber energinya mesti diubah.

Elon Musk dan bitcoin (Foto: Diolah dari Creative Commons dan Flickr)

POPULARITAS bitcoin melonjak sejak Elon Musk mencuit tagar ini pada Januari 2021. Pendiri pabrik mobil listrik Tesla itu, orang terkaya di planet ini, juga mengatakan bahwa mata uang virtual ini jauh lebih baik ketimbang mata uang fisik. Karena popularitas itu 1 bitcoin kini setara Rp 862.625.754,10, nilai tukar para 10 April 2021.

Bitcoin, atau kita sebut saja “koin bit” (satuan bilangan biner yang merujuk pada kecepatan peralihan data per detik), dikembangkan Satoshi Nakamoto pada 2007. Hingga kini tak ada yang tahu siapa Satoshi. Ia mengaku sebagai laki-laki 37 tahun tinggal di Jepang. Tapi para ahli kode digital mencurigai Satoshi adalah satu tim pembuat kode digital brilian. Beberapa yang lain mencurigai Satoshi adalah Elon Musk.

Konstruksi Kayu

Di luar soal misteri pembuatnya, bitcoin segera meraih popularitas. Mata uang digital ini diperdagangkan dengan nilai tukar yang terus naik. Karena digital, ia hanya bisa diakses atau diperdagangkan melalui komputer atau aplikasi. Maka karena memakai perangkat komputer, menggali bitcoin membutuhkan listrik yang banyak. 

Sejumlah peneliti Cina coba menghitung produksi emisi karbon yang dilepas dalam penambangan dan transaksi bitcoin di negara mereka. Cina, dengan revolusi digital yang masif, tergolong negara dengan penduduk yang paling banyak bertransaksi secara digital dengan bitcoin.

Penelitian mereka dipublikasikan dalam jurnal Nature Communications edisi 6 April 2021. Hasilnya, produksi emisi bitcoin mencapai 130,5 juta ton setara CO2 setahun. Emisi sebanyak ini melebihi produksi emisi tahunan Qatar dan Republik Ceko.

Produksi emisi bitcoin berasal dari pemakaian listrik yang banyak. Dengan menghitung tren perdagangan bitcoin (yang disebut blockchain), para peneliti memprediksi puncak pemakaiannya akan terjadi pada 2024. Di tahun itu jumlah energi yang terpakai untuk perdagangan bitcoin sebanyak 296,59 triliun watt jam (TWh). Energi sebanyak ini melebihi pemakaian energi Italia dan Arab Saudi atau menempati konsumsi energi nomor 12 dari peringkat semua negara.

Untuk mendapatkan 1 bitcoin butuh banyak energi listrik. Ini disebut penambangan. Jika Anda mulai menambang bitcoin sekarang, butuh beberapa tahun agar mendapatkan 1 keping bitcoin. Atau cara kedua, dengan membeli bitcoin dari orang lain memakai uang fisik melalui transfer virtual. Cara ketiga: menjual barang yang ditukar dengan bitcoin secara digital.

Bitcoin menjadi tidak ramah lingkungan karena 63% sumber energi listrik global masih memakai bahan bakar tak terbarukan, seperti minyak bumi, gas, dan batu bara. Karena itu semakin banyak listrik yang kita konsumsi untuk menghidupkan benda digital akan semakin banyak produksi emisi karbon. Jangankan bitcoin yang butuh listrik banyak, mengirim pesan “ya, terima kasih” melalui email saja menghasilkan emisi 0,000001 ton setara CO2. Secara global, kita membuat emisi 0,1% dari 51 miliar ton dari mengirim email tak berguna.

Revolusi internet membuat ekonomi digital menggelegar. Transaksi digital naik sehingga pertumbuhan ekonomi ikut terdongkrak. Kini nilai ekonomi digital mencapai US$ 11,5 triliun atau 15% dari produk domestik bruto global dengan kecepatan dua kali kecepatan pertumbuhan ekonomi konvensional sejak 2000.

Dengan kecenderungan dan nilainya yang besar, ekonomi digital akan semakin menopang pertumbuhan ekonomi dunia. Sementara dunia menghadapi krisis iklim yang menjadi ancaman laten tiap negara. Karena itu cara terbaik menjawab masalah ini adalah dengan memperbaiki sumber energinya di hulu.

Sepanjang energi listrik masih memakai energi fosil, aktivitas ekonomi akan meninggalkan jejak karbon yang akan menambah konsentrasi gas rumah kaca. Maka menyetop energi fosil dan beralih ke energi terbarukan, seperti angin dan matahari, adalah langkah menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 

Masalahnya, menghasilkan energi terbarukan selalu bukan prioritas tiap negara. Cina baru bisa mengurangi 60% produksi karbonnya pada 2050. Mereka berjanji baru bisa nol emisi pada 2060. Indonesia lebih lama lagi, tahun 2070.

Konsumsi energi dan produksi emisi bitcoin 

Sumber energi yang masih memakai batu bara membuat target nol emisi Indonesia melenceng 20 tahun dari Perjanjian Paris 2015. Pertumbuhan energi terbarukan begitu lambat. Energi terbarukan kini baru menyumbang 8,5% dari bauran energi. Tahun 2025 pemerintah punya target menaikkannya menjadi 23%, masih kalah jauh dibanding minyak bumi (25%) dan batu bara (30,3%).

Dengan komposisi seperti ini, alih-alih menopang kelestarian, transaksi digital seperti bitcoin yang menjadi solusi dalam ekonomi malah menjadi malapetaka karena produksi emisinya yang besar berasal dari energi tak terbarukan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain