Kabar Baru| 12 April 2021
Manfaat Puasa Menurut Kajian Ilmiah

BESOK, 13 April 2021, umat Islam di Indonesia akan memulai 1 Ramadan 1442 Hijriyah. Selama 30 hari umat Muslim akan berpuasa sejak terbit matahari hingga terbenam selama 16 jam. K.H Zainuddin M.Z pernah mengilustrasikan bahwa puasa seperti jeda pada mesin, overhaul, sehingga tubuh memiliki waktu memulihkan diri.
Ada banyak kajian ilmiah yang menghubungkan puasa dengan fungsi lain di dalam tubuh. Peter Longo, misalnya. Peneliti di USC Longevity Institute ini meneliti peran puasa dalam meningkatkan kekebalan tubuh pada pasien yang terkena kanker dan menjalani kemoterapi. Penyemprotan sinar laser ke dalam tubuh memang bisa membunuh sel jahat pemicu kanker, tapi sel sehat juga ikut tersapu.
Longo menemukan bahwa pasien kanker yang berpuasa 18 jam sebelum menjalani kemoterapi, sel-sel darah putihnya banyak yang bertahan. Sel darah putih adalah pendorong kekebalan tubuh. Rupanya, karena puasa mendorong terpecahnya sel darah putih sehingga kekebalan menjadi meningkat. Regenerasi sel pada pasien yang berpuasa juga relatif cepat dibanding pasien yang tak berpuasa.
Proses regenerasi yang tak dijelaskan Peter Longo itu secara ilmiah disebut autofagi, dari autophagy. Kendati sudah diteliti ilmuwan Jerman sejak 1955, istilah autofagi baru muncul pada pertengahan 1960 dari seorang ilmuwan Belgia, Christian de Duve. Istilah ini mengacu pada karung sel yang memakan sel-sel tak berfungsi. Autofagi berasal dari bahasa Yunani: auto, sendiri; dan phagen, makan.
De Duve menemukan bahwa sel memiliki aktivitas regenerasi dengan memakan sel yang tak berfungsi. Sel mati ini yang menjadi penyebab penuaan dan keriput dan gampang terserang penyakit. Dengan mekanisme alamiah, sel mengirim sel mati dan protein tak berguna itu ke sebuah “karung sel” dan di sana sel dan protein tersebut dihancurkan. De Duve menamai karung sel sampah itu lisosom. Temuan ini membuat De Duve mendapat Nobel bidang Kedokteran pada 1974.
Pertanyaannya adalah bagaimana proses mengangkut sel mati itu terjadi? Sejumlah ilmuwan coba mendeteksinya. Sebab, autofagi menjadi proses penting dalam tubuh karena kita membutuhkan regenerasi agar sel-sel tetap berfungsi untuk menghidupkan roh dan raga manusia. Sampai kemudian ilmuwan Jepang, Yoshinori Ohsumi, mencoba mengamati pembentukan sel pada ragi.
Percobaan Ohsumi ini ia publikasikan pada 1992 untuk menjawab pertanyaan besar dalam bidang ilmu biologi dan kedokteran dalam hal pemicu aktivitas autofagi: bagaimana protein terdegradasi sehingga sel mengirimkannya ke lisosom dan dihancurkan di sana. Selain mendapatkan metode efektif menemukan proses autofagi, Ohsumi juga mendapatkan bukti bahwa degradasi protein dipicu oleh terhentinya asupan ke dalam sel.

Kompartemen dalam sel. Lisosom salah satu kompartemen yang mengandung enzim untuk pencernaan isi sel. Saat autofagosom terbentuk, ia menelan konten seluler, seperti protein dan organel yang rusak. Akhirnya, itu menyatu dengan lisosom, di mana isinya terdegradasi menjadi konstituen yang lebih kecil. Proses ini memberi sel nutrisi dan blok bangunan untuk pembaruan (Foto dan Keterangan: Panitia Penghargaan Nobel, 2016)
Maka benar Zainuddin M.Z. Ketika sel berhenti mendapatkan suplai makanan, ia memiliki waktu leluasa untuk memilah protein baik dan protein tak berguna serta mengirimkannya kepada lisosom untuk dilebur. Regenerasi sel ini juga yang memungkinkan mahluk hidup memiliki daya tahan ketika kelaparan untuk jangka waktu tertentu.
Dengan temuannya itu, Ohsumi mendapatkan Nobel Kedokteran pada 2016. Dalam penjelasannya, panitia Nobel mengatakan bahwa peran besar Ohsumi adalah menggambarkan formula kerja autofagi dalam regenerasi sel sehingga memudahkan metode pengobatan. Sebab, proses autofagi adalah mengontrol perpecahan protein sehingga sel membuat formula baru.
Formula baru ini yang memicu daya tahan tubuh meningkat, seperti temuan Peter Longo pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Aktivitas sel autofagi naik ketika tubuh terinfeksi virus atau mahluk asing lain yang hendak melemahkan fungsi sel dalam tubuh mahluk hidup. Autofagi menyediakan bahan bakar bagi sel melawan mahluk asing tersebut.
Dengan bahasa lain, Longo menyebut puasa seperti membuang kelebihan beban dalam sebuah pesawat. Beban berlebih membuat pesawat tak bisa terbang atau bergerak dengan rigid. Maka puasa membuang beban itu sehingga pesawat menjadi hampang dan terbang karena bebannya sesuai kapasitas gerakannya.
Dalam dunia modern, para ahli gizi menyarankan kita diet. Diet adalah mengatur asupan gizi ke dalam tubuh dan mengatur pola makan dengan jarak tertentu sehingga sel dan organ tubuh punya waktu cukup mencerna segala makanan yang masuk dalam sel.
Jika dikaitkan dengan krisis iklim, puasa juga akan berperan menghentikan—atau setidaknya mengurangi—eksploitasi bumi. Jika politisi bisa berperan membuat kebijakan ramah lingkungan, dunia usaha membangun bisnis yang sesuai proteksi bumi, tiap individu bisa berperan dengan mengubah gaya hidup. Salah satunya mengurangi makan berlebih, melalui puasa.
Eksploitasi sumber daya alam membuat bumi merana karena pengerukan itu memakai energi tak sedikit. Seperti ditunjukkan dalam film Seaspiracy, eksploitasi laut sudah berlebihan sehingga eksosistem laut menjadi tak seimbang.
Produksi makanan bagi 7,8 miliar manusia dibumi bertanggung jawab pada 26% produksi emisi gas rumah kaca yang mendorong bencana iklim. Dari pembukaan hutan untuk pertanian, pemakaian energi kotor untuk memproduksi, hingga transportasi untuk distribusinya.
Belum lagi sampah makanan menyumbang separuh dari 64 juta ton sampah di Indonesia setahun. Sampah menghasilkan gas metana yang 25 kali lebih kuat menyebabkan pemanasan global dibanding karbon dioksida.
Sebagai konsumen kita bisa memainkan peran dalam hal permintaan. Maka berpuasa tak hanya baik bagi tubuh kita karena menciptakan regenerasi ilmiah sel yang berfungsi menaikkan daya tahan tubuh dan mencegah penuaan, puasa juga akan menyelamatkan planet ini dari krisis iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Redaksi
Topik :