Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 13 April 2021

Pancasila dan Perhutanan Sosial

Implementasi nilai-nilai Pancasila bisa terlihat dalam wujud program perhutanan sosial. Realisasinya perlu dipercepat.

Sasi nelayan Wakatobi (Foto: Dok. PSKL)

TULISAN pertama tentang tema ini mengilustrasikan bagaimana seharusnya kita merekatkan makna Pancasila dalam pengelolaan sumber daya alam, baik dalam kerangka kebijakan maupun praksis di lapangan. Bagaimana realitasnya? Apakah masih jauh dari harapan? Atau sudah adakah perubahan berarti yang menunjukkan tapak perbaikan pemaknaan Pancasila? 

Pada bagian kedua ini saya akan mengulas kebijakan dan implementasi perhutanan sosial, program bagi masyarakat miskin yang tinggal di tinggal dalam dan sekitar kawasan hutan yang berkait dengan nilai Pancasila.

Konstruksi Kayu

Dalam regulasi, perhutanan sosial sebagai sistem pengelolaan hutan negara atau hutan hak/ hutan adat oleh masyarakat setempat. Bentuknya bisa berupa hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA) dan kemitraan kehutanan (KK). Lima bentuk atau skema ini berkembang di berbagai tempat di Indonesia.

Meski definisi tersebut memasukkan unsur hutan rakyat, dalam pelaksanaannya, perhutanan sosial berfokus pada masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang kehidupannya tergantung dari kawasan hutan negara. Mengapa di kawasan hutan negara? Karena selama puluhan tahun, masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada kawasan hutan negara pernah dipandang ilegal, perambah, pelanggar hukum dan sebagainya. Ini tentunya berbeda dengan hutan hak atau hutan rakyat yang alas haknya adalah hak milik. Karenanya petani hutan rakyat relatif mengelola hutan secara merdeka dan tanpa stigma negatif karena mereka mengelola bukan di kawasan hutan negara.

Istilah perhutanan sosial baru digunakan secara resmi pada 2015. Namun praktiknya bukan sesuatu yang baru. Praktik masyarakat mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan merupakan praktik lama, bahkan banyak yang sudah dilakukan turun temurun di berbagai tempat di Indonesia, baik itu disebut sebagai kearifan tradisional, sistem hutan kerakyatan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, hutan kemasyarakatan dan sebutan-sebutan lainnya.

Selain untuk tujuan-tujuan praktis bertahan hidup, seperti mengolah pangan dan nilai ekonomi, hutan juga memiliki nilai magis-religius, konservasi, sosial budaya dan self esteem (martabat suatu suku atau kelompok, misalnya pada tanah ulayat). Jadi hutan bagi masyarakat hutan bisa memiliki ragam dan variasi nilai tertentu yang berbeda-beda pada setiap komunitas.

Meski sudah mengelola hutan secara turun-temurun, tanpa pengakuan pengelolaan dari pemerintah, masyarakat sekitar hutan akan disebut perambah, ilegal dan sebutan-sebutan lainnya. Bahkan ada yang kemudian diperkarakan dan mendapat sanksi pidana karena masuk dan mengambil hasil hutan di kawasan hutan negara secara tidak sah, meski barang yang diambil terkadang begitu sederhana: bambu untuk memperbaiki rumah atau memanfaatkan hasil hutan non-kayu.

Jika masyarakat hutan terlarang dan ilegal memanfaatkan hasil hutan di kawasan hutan negara, para investor besar yang bahkan hampir bisa dipastikan bukan orang asli/lokal mendapatkan izin mengelola kawasan hutan dengan skala besar. Ini sejalan dengan dorongan pemenuhan kebutuhan kayu nasional dan dunia saat itu. Kita lalu kerap mendengar nama orang-orang tertentu yang menjadi pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada masa itu.

Di Jawa, hutan diserahkan kepada perusahaan negara. Perhutani sejak 1961, yang menjadi kelanjutan pengelolaan hutan pemerintahan kolonial Belanda sejak 1897 di Jawa dan Madura. Di luar Jawa dan Madura, pada tahun 1970-an juga ada Industri Hutan Negara atau INHUTANI. Pada 2014, Inhutani menjadi anak perusahaan Perum Perhutani.

Waktu membuktikan kebijakan pro-investor besar cenderung menghasilkan sesuatu yang semu, tidak berkeadilan dan menyumbang pada degradasi hutan dan lingkungan. Di satu sisi, yang mendapat manfaat ekonomi hanya segelintir orang (para pemegang ijin HPH dan HTI), sementara masyarakat dan petani hutan banyak yang hidup dalam gelimang kemiskinan. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan, perubahan bentang alam, struktur dan nilai sosial budaya yang dialami masyarakat hutan tersebut.

Sesudah pertengahan tahun 2000, usaha advokasi menggiring keterbukaan pemerintah secara lebih nyata. Beberapa regulasi terkait pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan mulai menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik untuk masyarakat. Beberapa kebijakan tersebut di antaranya PP Nomor 6/2007, Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 37/2007 tentang hutan kemasyarakatan, Permenhut Nomor 49/2008 tentang hutan Desa, serta Permenhut Nomor 23/2007 tentang hutan tanaman rakyat. Semua regulasi ini mulai disusun dengan melibatkan unsur madani, meski masih secara terbatas.

Perkembangan signifikan terjadi pada 2015. Pembangunan hutan akan berangkat dari pinggiran untuk mengurangi ketimpangan. CIFOR memperkirakan 48,8 juta orang Indonesia tinggal di kawasan hutan. Dari total jumlah itu, sebanyak 10,2 juta masuk dalam klasifikasi miskin. Ini belum termasuk jumlah masyarakat miskin yang tinggal di sekitar atau dekat dengan kawasan hutan negara yang pada praktiknya juga memiliki ketergantungan terhadap  hasil hutan.

Terkait hal ini, dukungan kebijakan misalnya bisa dilihat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, di mana pemerintah telah menargetkan untuk memberikan hak dan akses kelola kepada masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan seluas total 12,7 juta hektare melalui Perhutanan Sosial dalam bentuk HKm, HD, HTR, HA dan KK.

Selain itu, pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 83 tentang perhutanan sosial. Peraturan ini menggantikan serta mengkonsolidasikan beberapa peraturan menteri yang telah disebutkan sebelumnya. Lebih lanjut, pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), di mana salah satu pasalnya secara eksplisit menyebutkan perhutanan sosial.

Sampai Maret 2021, menurut Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, lebih dari 4,5 juta hektare telah mendapat persetujuan penggunaannya untuk masyarakat dan petani hutan dalam berbagai skema perhutanan sosial. SK ijin/hak atau persetujuan yang sebanyak 6.899 unit, yang melibatkan sekitar 929.000 kepala keluarga.

Setelah SK persetujuan terbit, berbagai kegiatan baik yang sifatnya produktif, konservasi, penguatan kelembagaan dan sebagainya telah mulai dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat atau lembaga desa pemegang persetujuan perhutanan sosial. Ada yang sudah berhasil seperti hutan kemasyarakatan di Bangka Belitung dan Kalibiru, Yogyakarta, Hutan Desa di Jambi dan Hutan Adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Apa kaitan perhutanan sosial dan Pancasila?

Sila pertama mensyaratkan pemaknaan ketuhanan tidak hanya berhenti pada masalah ibadah ritual, tapi juga terkait dengan hubungan dengan sesama manusia. Yakni, bagaimana kita memiliki welas asih terhadap sesama. Saya banyak menemui fenomena menarik di sini ketika banyak petani mengakui bahwa mereka sudah merasa aman dan nyaman mengelola lahan, tidak lagi dikejar-kejar oleh polisi hutan atau dicap perambah.

Beberapa petani hutan di Bojonegoro dan Kudus yang saya temui saat pelatihan virtual pendampingan perhutanan sosial baru-baru ini mengakui adanya rasa aman dan nyaman tersebut. Hal serupa juga saya dapatkan saat melakukan verifikasi teknis usulan Perhutanan Sosial secara virtual dengan para petani Lamongan dan Blitar pada Maret 2021 lalu.

Beberapa petani mengatakan akses lahan sangat berharga bagi mereka karena tanpa lahan mereka tidak bisa hidup. Lahan adalah tempat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, utamanya pangan. Ini membuktikan bahwa bagi kelompok marginal tersebut, persoalan kepastian akses kelola kawasan hutan sangat menentukan bagi mereka untuk bertahan hidup, serta selanjutnya untuk bisa menapak ke tangga perbaikan taraf kehidupan yang lebih baik. Testimoni dari banyak petani hutan ini paling tidak merupakan petunjuk bahwa Perhutanan Sosial mengandung semangat welas asih kepada sesama.

Sila kedua, dijelaskan oleh Yudi Latif bahwa manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang selalu harus ada bersama yang lain, tidak hidup sendiri. Di sini berarti, ada dimensi sosial pada diri manusia.

Perlu kita pahami bahwa "yang lain" di sini cakupannya tidak hanya hidup dengan sesama manusia, tapi juga dengan mahluk lainnya. Bagaimanakah nilai hakiki Sila Kedua ini ada dalam perhutanan sosial?

Perhutanan sosial mengutamakan kebersamaan antar petani hutan. Para pemegang persetujuan mengkonsolidasikan diri dalam bentuk kelompok tani, gabungan kelompok tani, koperasi, lembaga adat, lembaga desa serta kelompok perempuan. Kelembagaan merupakan sesuatu yang esensial dalam perhutanan sosial. Selain itu, keseimbangan pengelolaan untuk tujuan ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan menjadi hal yang utama. Saat menyinggung unsur kelestarian lingkungan, di dalamnya ada unsur peduli dan komitmen untuk menjaga dan melindungi alam, beserta hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya, serta menjalankan kegiatan secara lestari dan berkelanjutan.

Ketiga, manusia sebagai mahluk sosial memerlukan pergaulan dan ruang hidup, yang mampu merangkul semua. Inilah bagian dari penjelasan nilai hakiki sila ketiga yang dimaknai oleh Yudi Latif. Terkait Perhutanan Sosial, berbagai bentuk kelompok petani hutan dan lembaga desa banyak yang sudah mulai menunjukkan kemampuan untuk merangkul.

Misalnya ada kelompok yang semula banyak beranggotakan laki-laki, kemudian mendorong terbentuknya Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) khusus perempuan, misalnya di Bangka dan Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau (Kalimantan Tengah). Di tempat yang desanya relatif beragam, biasanya juga anggotanya beragam. Di lokasi yang banyak kaum mudanya biasanya juga ada pelibatan petani muda.

Lalu, terkait sila keempat. Yudi menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk sosial berpotensi mengalami konflik dengan yang lain. Jika terjadi konflik tentu saja harus diselesaikan dengan cara yang baik dengan mengutamakan musyawarah. Musyawarah juga diharapkan terjadi saat pengambilan keputusan.

Terkait hal ini, perhutanan sosial mendorong penguatan kelembagaan kelompok/desa. Yang dilakukan di sini di antaranya mendorong kelompok/lembaga desa melakukan musyawarah dalam berbagai kegiatan, misalnya dalam menyusun rencana kerja umum dan rencana kerja tahunan, rencana penguatan kelembagaan serta penanganan sengketa dalam kelompok maupun dengan pihak luar. Dalam hal penyelesaian perselisihan juga diutamakan cara musyawarah untuk mufakat. 

Terakhir, sila kelima. Yudi Latif menjelaskan bahwa manusia adalah mahluk rohani yang menjasmani dan karenanya memiliki kebutuhan untuk dipenuhi. Lebih lanjut, dalam memenuhi kebutuhan jasmani ini, manusia tidak bisa bertindak sewenang-wenang.

Welas asih dan cinta kasih harus selalu menyertai pemenuhan kebutuhan jasmani tersebut, serta cara yang tepat adalah dengan menjalankan keadilan sosial dan keadilan distributif atas dasar kreativitas dan keberhasilan seseorang. Keadilan ini tentunya juga tidak melupakan kebaikan dan kesejahteraan semua manusia dan mahluk lainnya di bumi ini.

Terkait perhutanan sosial, pengalokasian luasan 12,7 juta hektare kepada masyarakat dan petani hutan adalah bentuk pendistribusian akses kelola lahan kepada mereka yang membutuhkan. Kebijakan dan tindakan distribusi ini juga merupakan langkah untuk memenuhi rasa keadilan bagi kaum tani.

Seorang petani yang mendapatkan kesempatan mengelola kawasan hutan di Rumpin, Kabupaten Bogor, bernama Silam menyatakan rasa syukur dan gembira bisa terlibat dalam kelompok. “Saya senang karena kehidupan saya bisa terbantu,” tuturnya. Sebelum bergabung di kelompok, lelaki 67 tahun ini menjadi tukang atau kuli bangunan di Jakarta. Kini, lelaki ini bisa memiliki pilihan pekerjaan, yakni menjadi petani.

Implementasi Pancasila, meski tidak sempurna, bisa kita lihat dalam wujud perhutanan sosial.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain