Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 21 April 2021

Beda Target Nol Emisi Bappenas dan KLHK

Bappenas mengajukan nol emisi pada 2045, sementara KLHK baru bisa 2070. Presiden belum memilih kebijakan mencapainya.

Pembangkit listrik tenaga angin di Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan (Foto: KPHL Bila)

NOL emisi sedang menjadi tren dunia hari ini. Perjanjian Paris 2015 telah memaksa negara-negara maju untuk mengumumkan target mengurangi emisi hingga nol pada 2050. Namun, karena tak ada sanksi mengikat, tiap-tiap negara masih suka-suka dalam menetapkan target mencapai nol emisi.

Jepang 2040, Inggris, 2050, Cina baru bisa 2060. Bagaimana dengan Indonesia? Meski Perjanjian Paris mengingatkan agar program menurunkan emisi gas rumah kaca dimulai pada 2020 karena memasuki siklus pertama kesepakatan itu, Indonesia belum menentukan tahun nol emisi. “Kami akan menyerahkan kepada presiden tahun mana yang akan dipilih net-zero emission,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa dalam Indonesia Net Zero Summit 2021 pada 20 April 2021.

Konstruksi Kayu

Dalam prediksi Bappenas, ada empat skenario dan empat tahun menuju nol emisi: 2045, 2050, 2060, dan 2070. Menurut Suharso, tahun mana pun yang akan dipilih Presiden Joko Widodo akan mempengaruhi kebijakan pemerintah mencapainya. Bappenas, kata Suharso, sudah secara detail mengajukan proposalnya kepada presiden.

Menurut Suharso, apa pun pilihannya, net-zero emission atau nol-bersih emisi sangat diperlukan Indonesia karena dua alasan: menghindarkan jebakan negara berpenghasilan rendah (middle income trap) dan menghindari bencana iklim. Dua alasan ini bertemu dalam skenario pembangunan rendah karbon.

Bappenas berhitung pembangunan rendah karbon atau mengejar pertumbuhan hijau akan memberikan peluang menaikkan pertumbuhan ekonomi 2% dan menaikkan pendapatan per kapitan 2,5 kali lipat. Dengan pandangan lebih modern itu, Bappenas melihat pertumbuhan ekonomi tak bertolak belakang dengan pengurangan emisi.

Ada banyak cara, dalam tiap skenario nol emisi, yang dibuat Bappenas. Karena emisi energi dan pemakaian lahan menyumbang 90% produksi emisi Indonesia, dua sektor ini mendapatkan prioritas. Caranya menaikkan efisiensi energi dari 1% sekarang menjadi 6,5% pada 2030. 

Di sektor lahan reforestasi dan restorasi lahan gambut akan menjadi prioritas dengan menambah restorasi gambut 300.000 hektare per tahun dan penambahan reforestasi 250.000 hektare per tahun. Menurut Suharso, tanpa kebijakan ambisius Indonesia akan gagal mencapai nol emisi dari skenario paling cepat.

Soalnya, jika Indonesia gagal melakukan transformasi energi dan tak berhasil mencapai puncak emisi 2027, pergeseran nol emisi akan melenceng jauh. Dalam setahun kegagalan akan mengakibatkan 5-10 tahun kemunduran. Sebagai contoh, puncak emisi 2027 memungkinkan nol emisi tercapai pada 2045-2050. Namun jika puncak emisi baru bisa 2034, nol emisi baru tercapai 2070.

Selain efisiensi, meningkatkan bauran energi terbarukan juga menjadi kebijakan penting. Saat ini bauran energi terbarukan baru 11,2%. Selama lima tahun terakhir bauran ini naik dua kali lipat, tapi sebagian besar ditopang oleh biofuel dari minyak sawit. Sementara penambahan listrik hanya 400 megawatt per tahun, menurun dari periode sebelumnya sebanyak 600 megawatt (soal tata cara mencapai dan problem-problem energi terbarukan menjadi laporan utama edisi 19 di sini). 

Dalam segi fiskal, Bappenas merancang pembiayaan dan pajak karbon. Sektor yang membuat emisi banyak akan dikenakan pajak emisi sehingga harga energi kotor dan energi terbarukan yang bersih akan makin kompetitif. Selama ini energi terbarukan selalu dikeluhkan mahal. Dengan pajak karbon harga energi terbarukan akan bersaing. 

Masalahnya, peraturan presiden soal nilai ekonomi karbon tak kunjung disahkan. Padahal aturan ini akan menjadi basis pajak dan perdagangan karbon. Majalah ini berpendapat, meski perdagangan karbon menjadi satu skenario Perjanjian Paris, Indonesia harus lebih radikal dengan menerapkan kewajiban penurunan emisi. Sebab, tanpa pemaksaan menurunkan polusi, ketimpangan akan terjadi: mereka yang kaya cukup membeli emisi dan membayar pajak untuk tetap melukai bumi.

Angka-angka yang disampaikan Bappenas ini berbeda dengan pemaparan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain hanya memakai tiga skenario (kebijakan berjalan, transisi energi, dan pembangunan rendah karbon), target nol emisi KLHK pada 2070. Dalam perhitungan KHLK, puncak emisi terjadi pada 2030 lalu turun menjadi tinggal 550 juta ton setara CO2 dengan skenario pembangunan rendah karbon.

Dalam perhitungan KLHK, nol emisi sektor penggunaan lahan akan terjadi pada 2050 melalui kebijakan menekan deforestasi dan reforestasi tanpa menyebut target luas penurunan maupun penghutanan tersebut. Dengan skenario itu, energi kotor masih mendominasi bauran energi pada 2050.

Skenario KLHK lebih sejalan dengan kebijakan-kebijakan baru pemerintahan Joko Widodo. Undang-Undang Cipta Kerja memberikan banyak insentif dan keistimewaan kepada industri ekstraktif dibanding industri hijau yang ramah lingkungan. Pemberian royalti batu bara nol persen tak diikuti insentif sama untuk industri terbarukan yang menanggung beban biaya dan teknologi mahal.

Biofuel akan digenjot sehingga mendorong ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit. Deforestasi akan dihilangkan dengan cara mengampuni perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan. Dengan cara ini, bauran energi terbarukan yang bisa mengikis 58,1% emisi pada 2030 baru tercapai 32% pada 2050, lebih rendah 7% dibanding batu bara.

Emisi karbon adalah biang segala bencana iklim dewasa ini. Dengan emisi karbon global mencapai 51 miliar ton setahun, suhu bumi naik 1,10 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850. Perjanjian Paris menyepakati suhu bumi harus ditekan 1,5C pada 2050 dengan nol emisi untuk mencegah bencana iklim dan kerugian ekonomi. Produksi emisi Indonesia pada 2020, menurut Bappenas, 1,82 miliar ton.

Maka untuk menghindarkan kita terkena bencana iklim, dunia harus secepatnya nol emisi. Untuk Indonesia saja, akan ada 9 kejadian buruk jika tak segera melakukan pencegahannya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain