Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 23 April 2021

Krisis Iklim dalam Sejumlah Retorika

Pidato Presiden Jokowi di KTT Perubahan Iklim Leader’s Summit on Climate. Indonesia akan menurunkan emisi jika negara maju berkomitmen serupa.

Tidak ada planet lain untuk kita tinggal (Foto: Kevin Snyman via Pixabay)

ALIH-alih memakai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Leader’s Summit on Climate yang digelar Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada 22 April 2021 untuk menegaskan komitmen Indonesia nol emisi, Presiden Joko Widodo meminta negara lain terlebih dahulu untuk berkomitmen serupa.

Di hadapan 40 kepala negara, kepala pemerintah, dan ketua organisasi, Presiden Jokowi menyampaikan dua hal pokok mencapai janji penurunan emisi karbon seperti tertuang dalam kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC) Indonesia pada 2030. Ia menegaskan bahwa Indonesia terus berkomitmen mencapai penurunan emisi 29% pada 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.

Konstruksi Kayu

“Lakukan aksi nyata, hindari retorika,” kata Jokowi. Tak jelas ucapan itu ditujukan kepada siapa. Agaknya kepada pendengarnya karena penjelasan poin pertama itu diikuti oleh serangkaian klaim Jokowi atas pencapaian Indonesia menurunkan laju deforestasi yang disebutnya terendah dalam 20 tahun terakhir.

Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut, menurut Jokowi, mencapai 66 juta hektare. “Gabungan luas Inggris dan Norwegia,” katanya. Sementara kebakaran hutan menurun 82% ketika “saat kawasan Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas.”

Jokowi juga menyambut baik komitmen negara lain yang telah mendeklarasikan diri nol emisi pada 2050, seperti mandat Perjanjian paris 2015. Alih-alih menetapkan tahun yang sama, Jokowi meminta negara lain memberikan komitmen yang kredibel terutama penurunan emisi 2030.

“Negara berkembang akan melakukan ambisi serupa,” katanya. “Jika komitmen negara maju kredibel dan didukung pendanaan disertai dukungan riil pendanaan dan teknologi.” 

Poin kedua yang ditekankan Presiden Jokowi adalah kemitraan global. Indonesia, kata Jokowi, terbuka pada investasi dan transfer teknologi, terutama untuk transisi dari energi fosil ke energi terbarukan yang memerlukan biaya US$ 3 miliar atau Rp 43,5 triliun per tahunan. 

Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia juga terbuka pada pengembangan bahan bakar nabati, teknologi baterai, dan kendaraan listrik. “Saling menyalahkan solusi,” katanya. “ Terlebih lagi menerapkan hambatan perdagangan dengan dalih isu lingkungan.”

Meski tak secara spesifik mengacu pada suatu isu, pernyataan terakhir Jokowi ini agaknya untuk pelarangan produk kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa karena menyangkut isu deforestasi. Dari 16,1 juta hektare kebun kelapa sawit Indonesia, 3,1 juta hektare berada di kawasan hutan yang setengah ilegal. Pemerintah hendak mengampuninya melalui Undang-Undang Cipta Kerja sehingga sawit akan dilegalkan dan tak masuk lagi dalam angka laju deforestasi.

Tuntutan ekonomi ramah lingkungan adalah tuntutan global yang berkembang akibat kewajiban menurunkan emisi dalam Perjanjian Paris. Negara-negara lain yang berkomitmen dengan serius pada Perjanjian itu, telah mengumumkan nol emisi 2050. Jepang 2040, Inggris, 2050, Tiongkok 2060.

Negara-negara tersebut juga tak lagi mendukung pemakaian energi fosil, seperti minyak, gas, dan batu bara, untuk mencapai komitmen tersebut. Indonesia sebaliknya. Melalui UU Cipta Kerja, industri batu bara mendapatkan insentif royalti nol persen bagi perusahaan yang memberikan nilai tambah.

Nilai tambah itu berupa perubahan batu bara menjadi energi lain, seperti mengubahnya menjadi cairan dan gas. Cara ini akan menambah emisi dan deforestasi. Sebab, batu bara akan terus dikeruk, lalu diubah menjadi gas dengan teknologi kompresi. Padahal, prosesnya menghasilkan emisi 5 kali lipat dibanding proses pembuatan gas alam yang hendak digantikannya.

Karena itu bauran energi batu bara diproyeksikan masih sebanyak 39%, 7% lebih tinggi dibanding bauran energi terbarukan pada 2050. Kenaikan energi terbarukan itu pun lebih banyak ditopang oleh biofuel minyak sawit, bukan energi terbarukan yang sebenarnya, seperti angin dan matahari.

Dengan komposisi energi seperti itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan Indonesia baru bisa nol emisi pada 2070. Emisi pemakaian energi dan deforestasi bertanggung jawab pada 90% produksi emisi Indonesia tiap tahun. Tahun lalu produksi emisi sebanyak 1,82 miliar ton setara CO2

Berbeda dengan KLHK, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang empat skenario nol emisi: 2045, 2050, 2060, dan 2070. Menurut Menteri Bappenas Suharso Monoarfa, syarat nol emisi 2045 adalah transformasi energi harus berhasil pada 2027. Jika gagal, katanya, nol emisi akan melenceng lima tahun untuk per tahun kegagalan.

Meski begitu, menurut Suharso, empat skenario itu sudah ia sampaikan kepada Presiden Jokowi untuk dipilih tahun mana yang akan dipakai Indonesia mencapai nol emisi. Sepertinya Presiden belum menentukan karena ia tak menegaskannya dalam KTT Perubahan Iklim Leader’s Summit on Climate, konferensi yang menegaskan kembalinya komitmen Amerika dalam mitigasi krisis iklim setelah ditinggalkan di era Presiden Donald Trump.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain