Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 April 2021

Berbagai Pengertian tentang Hutan

Sejak 1976 definisi hutan berubah. Pengertian resmi hutan dalam undang-undang dan tiap lembaga berbeda-beda. Mengapa?

Tutupan hutan

DALAM diktat mata kuliah Silvika oleh Wiratmo Soekotjo, dosen Fakulutas Kehutanan IPB tahun 1976, definisi hutan adalah lahan yang ditumbuhi pohon-pohonan atau vegetasi kayu-kayuan, baik sejenis maupun campuran yang mampu menciptakan iklim mikro di lingkungan sekitarnya. Undang-Undang Kehutanan Nomor 41/1999 mengatur hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Kedua pengertian hutan tersebut bersifat kualitatif tanpa menyebut secara kuantitatif luasan terkecil. Yang penting dan perlu dicatat  bahwa kumpulan pohon tersebut membentuk suatu ekosistem yang dapat mempengaruhi iklim mikro.

Dalam beberapa referensi, pustaka maupun regulasi, kawasan hutan dibatasi dengan luasan terkecil. Peraturan Menteri Kehutanan P.14/2004 mendefinisikan hutan sebagai lahan dengan luas minimum 0,25 hektare, dengan tutupan tajuk pohon setidaknya 30% dan dengan pepohonan mencapai tinggi 5 meter. 

Sementara Badan Pangan PBB (FAO) pada 2010 mendefinisikan bahwa hutan adalah suatu hamparan lahan dengan luas lebih dari 0,50 hektare yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih dari 10% atau ditumbuhi pohon yang secara alami tumbuh dengan tinggi lebih dari 5 meter.

Yang terbaru, definisi menurut Peraturan Menteri Kehutanan digabungkan ke dalam “definisi kerja” UNFCCC Indonesia untuk melaksanakan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) yang dibakukan dalam Tingkat Emisi Rujukan Deforestasi dan Degradasi Hutan Nasional Indonesia (FREL). Menurut definisi baru ini hutan adalah suatu areal lahan lebih dari 6,25 hektare dengan pohon lebih tinggi dari 5 meter pada waktu dewasa dan tutupan kanopi lebih dari 30%. 

Keputusan memperluas menjadi 6,25 hektare karena didorong pertimbangan pengukuran dan penafsiran visual: 6,25 hektare adalah areal terkecil yang dapat diukur dengan satelit, diplotkan pada 0,25 sentimeter persegi , dan dipetakan pada skala penafsiran 1:50.000.

Sementara untuk kepentingan penilaian/evaluasi tanaman hasil kegiatan rehabilitasi lahan, pendekatan satuan unit terkecil luas hutan seluas 4,0 hektare, menurut Peraturan Menteri LHK P.2/2020).

Terlepas dari perbedaan luasan kawasan hutan tersebut dan kesepakatan pengertian hutan secara kualitatif berdasarkan patokan ekosistem yang dibentuk oleh pohon-pohonan dan iklim mikro yang tercipta, masih terdapat perdebatan lagi tentang pengertian hutan dan kebun kayu. 

Forest Watch Indonesia (FWI) menyatakan usaha kehutanan tidak diklasifikasikan sebagai hutan. Sebab hutan tanaman hanya terdiri atas satu jenis tanaman atau monokultur sehingga lebih cocok disebut perkebunan.

FWI telalu patuh pada pengertian UU Kehutanan. Sebelum setuju atau tak setuju atas definisi itu, kita perlu menimbang beberapa hal:

Pertama, secara legal usaha kehutanan disebut hutan termuat dalam  penjelasan pasal 28 ayat (1) UU Kehutanan, yaknipemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman.  

Usaha pemanfaatan hutan tanaman dapat berupa hutan tanaman sejenis dan atau hutan tanaman berbagai jenis. Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam. 

Kedua, secara filosofis ilmu kehutanan, budidaya hutan tanaman mengenal adanya kegiatan penjarangan (thining), pemangkasan cabang, ranting dan dahan (pruning) dan pemanenan (cutting) dalam proses penanaman dari bibit/anakan sampai pemanenan. 

Tujuan membangun hutan tanaman dengan masa panen yang cukup lama adalah diperolehnya jenis kayu yang berkualitas baik, lurus dan bernilai ekonomis tinggi. Maka, dalam menanam bibit pada tahun pertama, biasanya jarak tanam dibuat rapat (3 x 2 meter).

Pada periode tahun tertentu, biasanya ada penjarangan dengan jarak tanam yang lebar, untuk ruang tumbuh dan hidup pohon yang lebih baik. Penjarangan bisa 2-3 kali tergantung kebutuhan. Sambil dijarangi dengan menebang pohon yang tumbuh tidak baik dan berkualitas rendah, pohon yang tinggal dipangkas rantingnya gar tumbuh lurus dan bermutu.

Hutan tanaman masih mempunyai fungsi hidrologis (menyimpan air), karena mempunyai perakaran yang dalam.

Sementara itu, tanaman perkebunan, misalnya, karet, tidak mengenal penjarangan dan pemangkasan. Jarak tanam awal lebar, misalnya 8 x 8 meter. Jika bibit mati akan disulam di lubang tanam yang sama. 

Fungsi hidrologis pada tanaman perkebunan pada umumnya kurang baik dibanding dengan tanaman kayu kayuan karena komoditas yang ditanam perakarannya dangkal, seperti sawit, kopi, kelapa, teh  dan sejenisnya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain