Kabar Baru| 01 Mei 2021
Papua Barat Cabut 5 Izin Usaha Kelapa Sawit
PEMERINTAH Kabupaten Sorong menerbitkan aturan yang mencabut empat izin perusahaan kelapa sawit pada 27 April 2021. Di hari yang sama, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Papua Barat Charlie Heatubun, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni juga mencabut satu izin perusahaan kelapa sawit.
Pencabutan lima izin konsesi kelapa sawit itu merupakan bagian dari tekad Provinsi Papua Barat menjadi Provinsi Konservasi lima tahun lalu melalui Deklarasi Manokwari. Deklarasi tersebut hendak mengembalikan zona lindung hutan Papua Barat seluas 70% dan laut 50%, lalu mengurangi zona pemanfaatan dari 64% menjadi 30%.
Untuk mewujudkannya, Papua Barat menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi dan Yayasan Econusa sebagai mitra pembangunan hijau mengkaji kemungkinan mewujudkan ambisi itu. Dari sekitar 576.090,84 hektare izin operasi kelapa sawit di Papua Barat oleh 24 perusahaan, seluas 383.431,05 hektare masih berupa hutan yang berada di delapan kabupaten: Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Manokwari Selatan, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Maybrat, dan Fakfak.
Menurut Charlie Heatubun, masalah-masalah perusahaan kelapa sawit menurut kajian tersebut antara lain tata kelola, kewajiban perpajakan yang melekat pada izin, operasi perusahaan di lapangan. “Misalnya, operasinya keluar dari area konsesi atau land grabing karena hutannya masih lebat,” kata Charlie, pejabat Papua Barat di balik lahirnya Deklarasi Manokwari, dalam perbincangan dengan Forest Digest pada 1 Mei 2021.
Dasar dari pencabutan itu selain Deklarasi Manokwari, juga Instruksi Presiden dalam moratorium izin baru pembukaan hutan untuk industri kelapa sawit. Dua dasar hukum itu juga sejalan dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam yang dibuat KPK yang menyoroti tata kelola yang buruk dalam pemanfaatan hutan.
Empat perusahaan kelapa sawit yang dicabut izinnya di Sorong, seperti tertuang dalam keputusan Bupati Johny Kamuru, adalah PT Inti Kebun Lestari, PT Cipta Papua Plantation, PT Papua Lestari Abadi, PT Sorong Agro Sawitindo. (Klik untuk mendapatkan keputusan pencabutan)
Pencabutan izin operasi perusahaan kelapa sawit ini telah melalui kajian sejak Juli 2018. Karena itu, menurut Charlie, perusahaan juga sudah dikonfirmasi karena ada tim dari KPK yang turun ke lapangan mengecek konsesi dan mewawancarai manajemen perusahaannya. Sehingga, pemerintah daerah memakai rekomendasi tim tersebut ketika mencabut izinnya.
Saat memberikan keterangan pers selesainya evaluasi izin pemanfaatan hutan pada akhir Februari lalu, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan mengatakan bahwa lahan konsep perusahaan kelapa sawit yang belum ditanami dan masih berupa hutan itu akan diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat setelah izinnya dicabut. “Dengan prinsip-prinsip keberlanjutan,” katanya.
Charlie Heatubun menambahkan pengelolaan bersama masyarakat akan sepenuhnya memakai kearifan lokal dan program yang ramah lingkungan, seperti ekowisata dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. “Atau skema-skema lain yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan,” katanya.
Setelah pencabutan izin usaha kelapa sawit, kata Charlie, kajian akan merembet ke bidang usaha lain seperti perusahaan kayu dan pertambangan. Konsesi-konsesi tersebut akan dikaji oleh sebuah tim dengan mencari celah legal untuk mencabut izin-izinnya. “Semoga tahun ini semua beres,” kata Charlie.
Menurut Charlie, pemerintah Papua Barat menyadari bahwa kebijakan ini anti-mainstream karena di daerah lain industri kelapa sawit menjadi idola dan tumpuan pendapatan daerah. Sebaliknya, Papua Barat memilih menjadi Provinsi Konservasi dengan hendak melindungi hutan mereka dari kerusakan akibat terlalu luas dipakai untuk zona pemanfaatan industri.
Kebijakan tersebut, kata Charlie, berangkat dari kondisi global saat ini yang tengah menghadapi krisis iklim. Salah satu penyebabnya adalah kerusakan hutan akibat deforestasi sehingga emisi karbon yang diproduksi karena industrialisasi tak lagi memiliki penyerap. Atau cadangan karbon yang terserap oleh hutan menguap ke udara menjadi gas rumah kaca.
Sebagai provinsi yang masih memiliki tutupan hutan seluas 8,8 juta hektare dengan kekayaan flora paling tinggi di dunia, Papua Barat tak ingin merusaknya dengan memberikan izin pemanfaatan kepada industri ekstraktif. Menurut Charlie, komitmen ini sudah dituangkan dalam pelbagai aturan, seperti Peraturan Daerah Khusus Nomor 10/2019 tentang pembangunan berkelanjutan dan naskah akademik komitmen melindungi 70% habitat darat pada Februari 2021.
*Koreksi 3 Mei 2021: perbaikan waktu wawancara. Sebelumnya tertulis Juni 2021.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :