Kabar Baru| 02 Mei 2021
Pemikiran Maju dari Papua Barat Menjaga Hutan
JARANG ada pejabat pemerintah yang komprehensif memahami mitigasi krisis iklim dan cara mencapainya. Salah satunya Charlie D. Heatubun. Ia Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat. Charlie salah satu inisiator Deklarasi Manokwari yang mengumumkan tekad Papua Barat menjadi provinsi konservasi dengan melindungi 70% hutan dan 50% laut mereka dengan menetapkannya dalam zona lindung.
Dalam perbincangan dengan Forest Digest pada 1 Mei 2021, ia dengan lancar menjelaskan konteks deklarasi itu. Ia fasih menjelaskan konteks pemanasan global. Charlie menyebutnya “krisis iklim”, bukan perubahan iklim. Salah satu wujud deklarasi itu adalah pencabutan lima izin usaha kelapa sawit pada 27 April 2021 atas rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi karena pelbagai pelanggaran.
“Saya kira ini pertama kali di Indonesia ada daerah yang mencabut izin usaha kelapa sawit dengan alasan pembangunan hijau,” kata Charlie, 47 tahun, doktor dari The Royal Botanic Gardens Kew, Inggris, dan guru besar di Universitas Negeri Papua.
Charlie menjadi Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Papua Barat pada 20 Juli 2018. Tiga bulan kemudian provinsi ini mengumumkan Deklarasi Manokwari. Dengan visi “Tanah Papua tanah yang damai, berkelanjutan, lestari, dan bermartabat”, deklarasi berisi 14 poin itu hendak mewujudkan pembangunan hijau dengan bertumpu pada partisipasi masyarakat adat.
Deklarasi pembangunan berkelanjutan itu kemudian ditabalkan dalam Peraturan Daerah Khusus Nomor 10/2019.Peraturan daerah itu menegaskan kembali secara resmi tekad Papua Barat melindungi 70% hutan dan 50% habitat laut.
Pembangunan provinsi konservasi cukup ambisius, di tengah fakta bahwa Papua Barat menduduki posisi nomor 2 termiskin di antara 34 provinsi di Indonesia. Sumber pendapatan daerahnya sebagian besar diperoleh dari pemanfaatan sumber daya alam dengan hampir separuh belanja, dari total penerimaan Rp 4 triliun, untuk pegawai dan belanja barang.
Menurut survei Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2015, Taman Nasional Teluk Cendrawasih seluas 1,45 juta hektare—taman nasional perairan terluas di Indonesia—keragaman hayatinya berada dalam kondisi buruk, dengan tutupan karang keras di zona inti hanya 13-40%. Tata ruang juga tak menggembirakan. Sebanyak 64% merupakan lokasi areal penggunaan lain untuk pertanian, perkebunan, dan tujuan konversi lain.
Karena itu Peraturan Daerah Khusus Nomor 10 itu pada prinsipnya akan menata ulang peruntukan lahan di Papua Barat dengan membaliknya dari 34% kawasan konservasi darat menjadi 70%. Dengan penataan ini, pemerintah Papua Barat hendak mengatur izin-izin terutama di lokasi pemanfaatan dengan menurunkannya dari 64% menjadi 30%.
Penataan ini muncul di waktu yang tepat. Tak hanya karena Papua memiliki kekayaan flora terbesar di dunia, juga karena terbitnya omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang menghapus ketentuan batas minimal hutan 30% per pulau atau daerah aliran sungai di pasal 18 Undang-Undang Kehutanan. Penataan lahan di Papua Barat akan mencegah konversi hutan untuk alasan industrialisasi.
Pencabutan izin perusahaan kelapa sawit pada 27 April 2021 itu hanya awal dan salah satu komitmen Papua Barat menjalankan Deklarasi Manokwari itu. Menurut Charlie, kajian akan berlanjut pada perusahaan kayu dan pertambangan. Jika perusahaan-perusahaan itu melanggar aturan dan tata kelola, pemerintah akan mencabut izinnya dan mengelolanya bersama masyarakat adat.
Untuk kelapa sawit, dari kajian bersama KPK dan Yayasan Econusa sejak Juli 2018, pemerintah Provinsi Papua Barat mendapatkan data ada lebih dari 500.000 hektare hutan Papua yang konsesinya dipegang 24 perusahaan kelapa sawit. Dari kajian mereka, lebih dari 300.000 hektare yang masih berhutan dan bermasalah dalam tata kelola perizinannya. “Sekarang baru lima perusahaan, selanjutnya akan kami kaji sisanya,” kata Charlie.
Tutupan hutan Papua seluas 8,8 juta hektare. Dari luas ini, menurut Deklarasi Manokwari, seluas 70% akan dijadikan fungsi lindung. Artinya, seluas 6,16 juta hektare tak akan masuk zona pemanfaatan untuk industri. Menurut Charlie, izin-izin kelapa sawit yang dicabut itu akan diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat adat melalui kemitraan ekowisata, hasil hutan bukan kayu, atau kegiatan lain yang sesuai pembangunan hijau.
Charlie sadar bahwa hutan Papua adalah benteng terakhir sabuk tropis Indonesia. Di tengah pemanasan iklim global sekarang, mempertahankan hutan adalah cara terbaik mencegah krisis iklim dengan mempertahankan keragaman hayati.
Menurut penelitian 99 ahli botani dari 56 institusi pada 2017, yang dipublikasikan dalam jurnal Nature, keragaman hayati flora Papua paling tinggi di dunia, 16% lebih tinggi dibanding Madagaskar. Pulau Papua menyimpan 13.634 spesies tumbuhan dari 1.742 genus dan 264 famili.
Dengan jumlah itu, jenis flora Papua tiga kali lipat dari kekayaan tumbuhan pulau Jawa yang hanya memiliki 4.598 spesies. Kekayaan tersebut membuat Papua menjadi pulau dengan jenis tumbuhan terbanyak di Asia Tenggara, 1,4 kali lebih tinggi dibanding Filipina yang kepulauannya menyimpan 9.432 jenis tumbuhan.
Menurut Charlie, pada umumnya para pejabat di Papua Barat memahami perkembangan krisis iklim global. “Pak Gubernur sering mengatakan mari jaga hutan Papua Barat untuk generasi mendatang,” kata Charlie. “Jangan kita wariskan air mata tapi wariskan mata air.”
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :