Kabar Baru| 04 Mei 2021
Dampak Krisis Iklim Terhadap Panen Kopi
SALAH satu gejala krisis iklim adalah suhu ekstrem, baik panas maupun dingin. Di Nagano Jepang, salju turun pada bulan Mei. Di Kanada, hujan salju lebih lebat. Di Siberia, suhu pada musim panas mencapai rekor baru setinggi 370Celsius.
Perubahan suhu yang ekstrem itu akan mengancam panen pangan, salah satunya kopi. Kopi adalah komoditas tropis dengan nilai perdagangan global mencapai US$ 30,1 miliar atau Rp 436,4 triliun setahun. Ada sekitar 100 juta petani di dunia—sebanyak 1,5 juta dari Indonesia—yang mengandalkan hidup pada kopi.
Di era krisis iklim, kopi terancam karena ia tanaman yang sensitif pada suhu. Saat ini dominasi perdagangan kopi masih dikuasai Coffea arabica dari Brasil, yang menguasai pangsa pasar kopi 14,3%. Lalu Coffea canephora atau kopi robusta dengan permintaan yang lebih kecil.
Luas lahan kopi Indonesia sekitar 1,3 juta hektare dengan produksi lebih dari 771.000 ton per tahun. Kopi robusta menyuplai 72% produksi kopi Indonesia, sebanyak 27% arabika dan sisanya kopi liberika dan ekselsa.
Kopi arabika datang dari dataran tinggi Ethiopia dan Sudan selatan. Kopi ini akan tumbuh baik di ketinggian 1.000-1.700 meter dari permukaan laut dengan suhu 18-230 Celsius dan curah hujan 1.600-2.000 milimeter per tahun. Keadaan ini pun harus didukung jumlah bulan kering 3-4 bulan.
Sementara robusta berasal dari dataran rendah Afrika barat dan tengah ketinggian 0-800 mdpl. Di daerah ini kopi robusta bisa tahan pada suhu 26-300 Celsius, meskipun beberapa penelitian menunjukkan kualitasnya menurun jika robusta tumbuh di areal bersuhu di atas 24C.
Penelitian pada 2014 oleh Rainforest Alliance Wageningen, Belanda, di jurnal Regional Environmental Change,menunjukkan bahwa kenaikan suhu udara yang diiringi menurunnya curah hujan akan mengurangi produksi kopi Indonesia hingga 85%. Kenaikan suhu 1,70 Celsius, menurut penelitian itu, akan mengurangi lahan kopi dari 360.000 hektare menjadi 57.000 hektare karena petani berhenti menanamnya akibat merugi.
Dengan melihat pada daya tahan kopi di tiap daerah, penelitian itu memprediksi Sumatera Utara dan Aceh akan kehilangan 90% lahan produksi kopi, Sulawesi dan Bali kehilangan 67-75%. Sementara Flores menjadi daerah tidak cocok lagi sebagai produsen kopi.
Para peneliti Rainforest Alliance juga menghitung bahwa produksi kopi mungkin akan bertahan karena petani tak menyerah mengusahakan komoditas ini dengan mencari areal dengan suhu yang masih sama. Artinya, para petani akan naik ke dataran lebih tinggi, ke gunung-gunung yang masih berhutan. Akibatnya, ancaman deforestasi tak terbendung, kecuali para petani sadar dan paham dengan mempraktikkan teknik agroforestri.
Tahun lalu suhu bumi bertambah 1,10 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850. Kenaikan suhu dipicu oleh naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang mencapai 414,3 part per million. Para ahli memprediksi, jika dunia gagal menjalankan misi nol emisi pada 2050, suhu bumi bertambah 3-40 Celsius.
Jangankan suhu seekstrem itu, musim kering panjang (El Niño) dan musim kering basah (La Niña) saja membuat produksi kopi rontok. Penelitian Badan Litbang Kementerian Pertanian pada 2017 mendapatkan produksi kopi turun 10% setelah dunia dilanda El Niño 2015-2016. Sementara La Niña membuat produksi kopi turun 80%. Tak hanya itu, cuaca ekstrem menghidupkan hama penggerek yang bisa menurunkan produksi kopi Indonesia hingga 50%.
Kenaikan suhu yang bisa ditanggungkan umat manusia hanya bertambah 2C. Karena itu, 197 pihak dalam Konferensi Iklim di Paris pada 2015 berjanji mengurangi produksi emisi karbon untuk menahan suhu bumi tak lebih dari 1,5C pada 2050.
Meski secara studi kopi menjadi komoditas paling terancam, alam selalu bekerja dengan hukumnya sendiri. Jika arabika dan robusta tak tahan hidup di suhu yang panas, kopi liberika lebih tahan pada suhu yang hangat. Kopi liberika bahkan bisa tumbuh di lahan gambut yang lembap.
Varian baru kopi yang tahan suhu panas adalah Coffea stenophylla. Para peneliti masih mengulik jenis kopi berdaun sempit yang masih misterius ini. Daerah endemiknya adalah dataran tinggi Afrika barat. Dengan mengamati karakteristik sensorik, para peneliti menyimpulkan kopi stenofila lebih tahan cuaca dan perubahan iklim.
Meski jenis kopi ini hidup di areal dengan cuaca yang mirip dengan areal hidup kopi robusta dan liberika, ia tahan dan masih berproduksi dengan baik di lahan yang suhunya 6,80 Celsius lebih tinggi dibanding ruang hidup kopi arabika. Aaron Davis dari Royal Botanics Gardens Kew Inggris, yang mempublikasikan penelitiannya di jurnal Nature Plants, menyimpulkan bahwa kopi stenofila menjadi tanaman penting di masa depan karena tahan iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :