JIKA Forest Digest melayangkan “Surat dari Darmaga”, di bulan April ini, kita ingat ada surat istimewa dari Jepara. Suratnya berusia lebih dari 100 tahun. Ditulis seorang perempuan muda putri Bupati Jepara, Raden Ajeng Kartini.
Kita memanggilnya “Ibu Kartini”, padahal ia wafat di usia 25 pada 17 September 1904. Zaman sekarang, perempuan usia sedini itu baru lulus kuliah, baru bekerja, atau sedang melanjutkan studi master. Masih kinyis-kinyis. Tapi, bukan karena itu pula, dalam satu suratnya, Kartini meminta teman penanya memanggil ia “Kartini saja.” Ia memang egaliter sejak dalam pikiran.
Kartini talhir 21 April 1879. Pendidikannya hanya jenjang pendidikan dasar. Sejak usia 12 ia dipingit, ruang geraknya terbatas hanya di lingkungan rumah. Bermodal kemampuan bahasa Belanda, Kartini membaca dan mengembarakan intelektualnya melintasi batas negara dan benua. Suplai bacaan bermutu diperoleh dari kakaknya, Rd. Sosrto Kartono, yang berprofesi sebagai jurnalis.
Berkat bacaan dan kecerdasannya, Kartini menganalisis situasi sosial di sekitarnya. Ide-idenya ia tuangkan dalam korespondensi kepada beberapa tokoh di Belanda. Mereka adalah teman sekolah, para pejabat pemerintahan Belanda, aktivis politik kiri, dan istri-istrinya yang pernah tinggal di Indonesia.
Membaca surat-surat Kartini terasa benar apa yang dikatakan Nawal el Saadawi, penulis dan aktivis Mesir yang baru saja wafat: Feminisme tak lahir di Barat, tak muncul di Amerika. Feminisme lahir dalam tiap agama, tiap suku, tiap bangsa karena perempuan berjuang menuntut hak mereka”.
Berkat jasa Tuan Abendanon, Menteri Pendidikan Belanda saat itu, korespondensi Kartini terdokumentasi menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht, "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".
Gagasan penerbitan buku datang dari Ny. Rose Manuela, yang mengagumi Kartini selama mereka bertemu di Jepara. Buku kumpulan 87 surat Kartini terbit pada 1911. Penulis Armijn Pane menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia di bawah judul yang lebih terkenal, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Dalam surat-suratnya bisa kita baca Kartini hidup dalam tiga budaya: patriarki, feodalisme, dan kolonialisme. Ketiganya dia urai dengan kritis. Meski anak bangsawan, Kartini tidak suka dengan feodalisme yang angkuh. Namun kegelisahan terbesarnya terletak pada budaya patriarki dan ketidakberdayaan perempuan.
Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, bahkan hak penguasaan atas properti. Sistem sosial patriarki menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan.
Seorang perempuan Jawa, seperti tergambar dalam syair Ronggowarsito di kitab Candrarini: “…yang setia kepada laki-laki; rela dimadu, mencintai suami, terampil dalam pekerjaan (domestik), pandai berdandan dan merawat diri, sederhana, pandai melayani kehendak laki-laki, memberikan perhatian kepada mertua, dan gemar membaca buku yang berisi nasihat.”
Itulah kriteria istri pilihan bangsawan zaman itu, yang kriterianya lebih pada kategori fisik.
Atas budaya tersebut, Kartini memberontak. Ia mempertanyakan konsep itu kepada ibunya, namun selalu diminta manut saja. Mengapa perempuan lebih rendah dari laki-laki? Mengapa perempuan harus selalu patuh? Mengapa tidak ada ruang mengajukan keberatan? Bukankah pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan sama sebagai manusia.
Dalam sebuah surat kepada Ny. Abendanon, 10 Agustus 1900, Kartini menulis: “Seorang gadis Jawa adalah sebutir permata, pendiam, tak bergerak-gerak seperti boneka kayu; bicara hanya bila benar-benar perlu dengan suara berbisik, sampai semut pun tak sanggup mendengarnya; berjalan setindak demi setindak seperti siput; tertawa halus tanpa suara, tanpa membuka bibir, sungguh buruk nian kalo giginya tampak seperti luwak”.
Pernyataan Kartini ini tentang ketidakberdayaan perempuan ini sarkasem atas sistem patriarki itu.
Soal kemiskinan juga menjadi sorotannya. Akar masalahnya, menurut Kartini, karena kepentingan penjajah Belanda mengisi pundi-pundi mereka yang sempat terkuras akibat Perang Jawa. Pemerintahan kolonial menerapkan kebijakan Cultuurstelsel, yang mencekik rakyat.
Cultuurstelsel mewajibkan pribumi pemilik tanah menanam komoditas perkebunan kualitas ekspor (kopi, nila, cengkeh), yang menurut aturan hanya 20% dari luas lahan, kenyataannya 100% lahan harus menghasilkan produk komersial tersebut.
Untuk warga yang tidak memiliki lahan, wajib menggarap tanah Belanda, dengan ketentuan 75 hari wajib kerja. Praktiknya kerja paksa itu dijalankan setahun penuh dengan bayaran sangat murah. Ditambah dengan kewajiban membayar pajak. Setiap produk dan usaha tidak ada yang luput dari penarikan pajak.
Kemiskinan masyarakat kian dalam karena candu. Kepada Ny. Abendanon ia menulis: “Di sini ada barang yang jauh lebih jahat dari alkohol, yaitu candu. Tak dapat dikatakan betapa besarnya kesengsaraan yang disebabkan oleh candu atas negeriku, rakyatku. Candu itu ibarat penyakit sampar (wabah pes) bagi Jawa. Sebetulnya lebih jahat dari penyakit sampar. Penyakit sampar tidak merajalela untuk selama-lamanya, cepat atau lambat ia akan hilang. Tetapi akibat dari candu akan makin besar, makin meluas dan tidak akan lenyap, karena dilindungi oleh pemerintah. Makin banyak orang mengisap candu di Jawa, makin penuh peti orang Pemerintah karena penjualan candu merupakan salah satu sumber kekayaan yang paling besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Peduli apa kesejahteraan rakyat, yang penting pemerintah memperoleh keuntungan besar. Kutukan rakyat mengisi kantong pemerintah Hindia Belanda dengan emas berton-ton, berjuta-juta.”
Gagasan dan Perjuangan
Perjuangan Kartini tidak mudah melawan tiga budaya sekaligus (patriarki, feodalisme, dan kolonialisme). Garis perjuangan yang ditempuhnya adalah dengan mengabarkan kesengsaraan bangsa Indonesia kepada dunia luar. Ia menetapkan diri berjuang dalam surat-surat dengan semangat dan optimisme yang tinggi. “Hidup karena panggilan jiwa perjuangan adalah sebuah kenikmatan”, sebagaimana dalam surat untuk Nyonya Ovink-Soer awal 1900. Nyonya Ovink adalah istri asisten residen yang tinggal selama tujuh tahun di Jepara.
“Dianggap gila juga tidak apa-apa, karena hanya orang gila yang bisa memutar dunia. Saya menyadari ketidakmampuan saya, Stella. Tiap orang akan tertawa terbahak-bahak membaca secarik kertas ini untukku. Alangkah gila pikiran saya, bukan? Saya, yang tidak belajar apa pun, tidak tahu apa pun, memberanikan diri dalam sastra.” (Surat kepada Estella Zeehandelaar, 6 November 1899).
Solusi yang ditawarkan Kartini melawan tiga budaya itu melalui jalur pendidikan, khususnya pendidikan bagi kaum perempuan. Kepada Stella, pada 12 Januari 1900, ia menulis, “Pemerintah tidak akan sanggup menyediakan nasi di piring bagi segala orang Jawa, akan dimakannya, tetapi pemerintah dapat memberikan daya upaya supaya orang Jawa itu dapat mencapai tempat makanan itu. Daya upaya itu ialah pengajaran.”
“Memberi kesempatan kepada anak bangsa Jawa laki-laki dan perempuan untuk mencari kepandaian agar mereka mampu membawa tanah air dan bangsanya ke arah perkembangan jiwa, kecerdasan pikiran, serta kemakmuran dan kesejahteraan.”
Kepada Nona Van Kool, Kartini juga menulis hal serupa: “Karena saya yakin sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh kepada masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, agar supaya kelak dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita. O iya, saya ingin sekali menuntun anak-anak itu membentuk wataknya, mengembangkan otaknya yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita dari hari depan, supaya mereka kelak dapat meneruskan segala yang baik itu. Bagi masyarakat kita pasti akan membahagiakan, jika wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik.”
Dua tahun sebelum meninggal R.A. Kartini menyatakan semangatnya untuk mendidik kaum ibu. Surat itu ditujukan kepada Prof. Dr. G.K. Anton, 4 Oktober 1902.
“Bukan tanpa alasan orang mengatakan kebaikan dan kejahatan dimulai anak bersama air susu ibu. Alam sendirilah yang menunjuk dia untuk melakukan kewajiban itu sebagai ibu. Dialah pendidik pertama anaknya, di pangkuannya anak pertama belajar merasa, berpikir, berbicara, dan dalam kebanyakan hal pendidikan pertama bukan tanpa arti untuk seluruh hidupnya. Tangan ibulah yang meletakan benih kebaikan dan kejahatan dalam hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya. Dan, bagaimana sekarang ibu, ibu Jawa, dapat mendidik anak-anaknya kalau mereka sendiri tidak terdidik? Peradaban dan kecerdasan bangsa Jawa tidak akan maju dengan pesatnya kalau perempuan dalam hal itu terbelakang.”
Senada dengan Kartini, filsuf pakar pendidikan Erich From, juga menyatakan bahwa peran ibu adalah pembentuk watak dan karakter manusia. Jika ibu tidak berkualitas, manusia juga tak akan berkualitas. Karena ibu adalah guru yang pertama. Jika ibu dipinggirkan maka jangan menyesal jika generasi selanjutnya menjadi generasi tersingkir dan terpinggirkan. Maka menurut Kartini, seorang ibu harus kuat dan paling kuat karena dia yang membangun generasi. Dengan kata lain, ibu adalah pendidik karakter pertama bagi tiap orang.
Menjelang akhir hayatnya, Kartini berhasil mewujudkan gagasannya membangun sekolah, dan memberikan pengajaran kepada para perempuan di sekitarnya. Belum genap satu tahun setelah kumpulan surat Kartini diterbitkan pada tahun 1911, perhatian atas pendidikan formal perempuan Jawa mulai meningkat. Ratu Belanda menunjuk Abendanon untuk mengurusi pendidikan perempuan pribumi Hindia Belanda.
Awal 1912, terbentuklah komite perumusan model pendidikan perempuan Jawa. Komite ini digerakkan oleh orang-orang yang dekat dengan pemikiran Kartini. Komite mengadakan rapat pertama pada 1 Februari 1912 di Den Haag dan membentuk Yayasan Kartini. Sumber dana yayasan berasal dari penjualan buku Kartini. Kartini berhasil mengambil tempat istimewa di kalangan elite Belanda. Mereka memiliki penghargaan yang disebut Kartini Award, serta beberapa jalan di Belanda, salah satunya di Utrech, yang diberi nama Jalan Kartini.
Perempuan Masa Kini
Lebih dari 100 tahun setelah Kartini wafat, apa yang terjadi dengan perempuan Indonesia? Ada gagasan 30% jumlah perempuan di parlemen. Ada pemikiran mengedepankan gender. Tapi gender pula yang selalu jadi masalah.
Setidaknya ada lima masalah utama dalam ketidakadilan gender sekarang: subordinasi, gender stereotip, beban ganda, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan.
Subordinasi: menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Pada umumnya terjadi pada perempuan yang tidak memiliki kesempatan mengambil keputusan dan menyalurkan pendapat. Saya mengamatinya ketika mengunjungi kelompok-kelompok masyarakat sekitar hutan. Dalam tiap diskusi, moderator laki-laki belum bisa menggali aspirasi perempuan. Sehingga diskusi dipisahkan hanya agar perempuan lebih terbuka menyampaikan gagasannya.
Stereotip gender: pandangan terhadap karakter kelompok perempuan, sebagaimana contoh yang disebutkan dalam ketentuan pasal 5 PERMA Nomor 3 tahun 2017, bahwa perempuan berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis. Perempuan juga sering dipersepsikan sebagai pihak yang lemah. Sebuah studi oleh Rahayu et. al (2019) menunjukkan hanya 30,9% perusahaan yang menempatkan perempuan sebagai pimpinan tertinggi. Namun perusahaan yang memberikan kesempatan perempuan untuk memimpin, mampu membuktikan performance lebih baik dibanding perusahaan yang dipimpin kelompok laki-laki.
Beban ganda: perempuan mendapatkan beban kerja lebih besar karena menjalankan peran mengurus rumah tangga, memastikan keluarga keadaan baik, melahirkan, menyusui, tetapi sering tidak dihargai sebagai kegiatan produktif.
Marginalisasi: peminggiran dari akses sumber daya dan pemiskinan perempuan. Perempuan dianggap makhluk domestik yang hanya diarahkan untuk menjadi pengurus rumah tangga. Data MonashUniversity (2016) menyatakan bahwa pasar kerja dan ekonomi Indonesia berubah secara signifikan namun angka partisipasi bekerja perempuan Indonesia tidak mengalami perubahan. Angka partisipasi perempuan tetap 51%, sedangkan pendapatan perempuan 42%—lebih rendah dari laki-laki. Penyebabnya adalah interupsi pada karier perempuan pada saat aktif bereproduksi atau mengurus rumah tangga.
Kekerasan: Adanya perlakuan kasar atau tindakan kekerasan yang dialami kelompok perempuan yang dianggap sebagai makhluk lemah dan pasrah. Data Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (2020) menunjukkan, sepanjang tahun 2019 terjadi 431.4711 tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Data ini meningkat sejak lima tahun terakhir. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan terdiri atas kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun kekerasan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 1 dari 5 perempuan atau 20,5% pernah mendapatkan kekerasan emosional atau psikis dari pasangannya. Kekerasan seksual pernah dialami oleh 10,6%, kekerasan fisik 12,3%, dan 24,5% perempuan mengalami kekerasan ekonomi dari pasangannya. Kekerasan ekonomi bisa berbentuk; larangan bekerja oleh pasangan, tabungan diambil oleh pasangan tanpa persetujuan, serta tidak diberi atau mengalami penolakan dari suami atas uang belanja.
Kekerasan tersebut dialami oleh perempuan dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas sebesar 39,4%, dan status pekerjaan untuk perempuan yang tidak bekerja sebesar 35,1%. Artinya bahwa perempuan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi relatif tidak berpotensi mengalami kekerasan.
Untuk itulah semangat pemberdayaan perempuan menjadi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia berikutnya. Perempuan berdaya bisa lebih percaya diri, secara ekonomi tidak harus bergantung pada pasangannya.
Dari Kartini kita belajar semangat dan optimisme, sekalipun dianggap tidak biasa pada zamannya, bahkan “nyeleneh”. “Saya tahu jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, banyak duri dan onaknya, dan lubang-lubangnya, jalan itu berbatu-batu, berlekuk-lekuk, licin. Belum dirintis. Dan meskipun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya turut membantu membuka jalan menuju ke tempat perempuan bumiputra merdeka dan berdiri sendiri (Oktober 1900).”
Kunci perjuangan adalah pendidikan yang merupakan pemberdayaan diri nomor satu. Untuk itu kita harus berani mendidik diri kita sendiri secara terus menerus. Socrates mengatakan, semakin banyak pengetahuan seseorang, maka akan semakin luas wawasannya dan semakin bijaklah orang tersebut dalam menjalani kehidupan.
Tidak ada beda peran laki-laki dan perempuan, kecuali berdasarkan fitrah-kodratinya selaku mahluk yang diciptakan Tuhan sebagai laki-laki dan perempuan. Secara sosial dan konstruksi budaya maka perempuan adalah sama-sama makhluk yang setara dengan laki-laki. Dia tidak lebih baik, tidak lebih bijaksana, tidak lebih kuat, tidak juga lebih cerdas dan kreatif, atau bahkan tidak lebih harus bertanggung jawab dari pada laki-laki.
*) Terima kasih kepada guru-guruku. Tulisan ini terinspirasi oleh ceramah dosen filsafat Dr. Fahrudin Faiz.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Direktur Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :