Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 Mei 2021

Perhutanan Sosial di Jawa: Bagaimana Mengaturnya?

UU Cipta Kerja mengatur perhutanan sosial di kawasan hutan negara, termasuk di areal Perhutani. DPR menolaknya.

Petani kopi Sunda Hejo yang memanfaatkan lahan Perhutani di Garut, Jawa Barat (Foto: Rifky Fauzan/FD)

ADA perdebatan tentang perhutanan sosial di Jawa antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Perum Perhutani yang didukung Komisi Kehutanan DPR. Debat dipicu oleh bentuk kemitraan kehutanan setelah perhutanan sosial masuk dalam Undang-Undang Cipta Kerja. 

Seperti kita tahu, perhutanan sosial tertera dalam pasal tambahan UU Kehutanan pasal 29A dan 29B. Ketentuan ini lalu dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 pasal 203-265. Lalu, apa masalahnya?

Konstruksi Kayu

UU Cipta Kerja akan menata ulang hutan di Jawa dan Madura yang selama ini dikelola Perum Perhutani. Dari 2,4 juta hektare, seluas 1 juta hektare akan dijadikan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Masyarakat bisa mengelola kawasan ini melalui skema perhutanan sosial.

KLHK tengah merancang formulasinya. Menteri Siti Nurbaya mengatakan bahwa pemangkasan konsesi Perhutani itu demi menyehatkan perusahaan negara ini agar fokus pada bisnis multiusaha “dan reforma agraria perhutanan sosial untuk kesejahteraan masyarakat.”

KHDPK ditujukan untuk perhutanan sosial, penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, atau pemanfaatan jasa lingkungan. Soal apa beda antara pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan bisa dibaca di sini.

Sementara untuk perhutanan sosial, seperti sudah diatur sebelumnya, melalui lima skema: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Pemerintah berjanji merapikan aturan-aturan pendukungnya untuk mempercepat pelaksanaannya. Kelak hanya ada satu peraturan Menteri LHK untuk mengintegrasikan beberapa aturan menteri dan direktur jenderal yang sudah ada terkait perhutanan sosial.

Gagasan ini ditolak Komisi Kehutanan DPR. Antara lain oleh Darori Wonodipuro, pejabat KLHK yang menjadi politikus Partai Gerindra. Penolakan mendapat dukungan Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia (YPHI), Transtoto Handadhari, mantan Direktur Utama Perhutani.

Menurut Transtoto, meski niatnya baik, perhutanan sosial di Jawa akan merusak dan menghilangkan hutan di Jawa. “Penyiapan lahan perhutanan sosial saja tak jarang mengandung masalah. Perusakan hutan dalam penyiapan permohonan perhutanan sosial,  permainan uang, sampai konflik horizontal di lapangan,” katanya.

Sebenarnya, sebelum UU Cipta Kerja dan aturan turunannya terbit, perhutanan sosial di Jawa berbentuk kemitraan kehutanan yang diatur PP 6/2007 dan Peraturan Menteri LHK P.83/2016 tentang perhutanan sosial. Khusus Perhutani mengacu aturan khusus Peraturan Menteri LHK Nomor P.39/2017 yang dikenal dengan nama Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).

Sebelum 2016, Perhutani sudah memiliki program serupa dengan nama Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Dalam P.39/2017, pasal 8 ayat 2 mengatur keuntungan bersih IPHPS atas penjualan hasil budi daya, yakni:

a) untuk tanaman pokok hutan, 30% untuk Perum Perhutani, 70% untuk pemegang IPHPS;

b) untuk budi daya tanaman multiguna, 20% Perhutani, 80% pemegang IPHPS;

c) untuk budidaya tanaman semusim dan ternak, 10% Perhutani, 90% pemegang IPHPS;

d) budidaya ikan/tambak, 30% Perhutani, 70% pemegang IPHPS;

e) untuk jasa lingkungan 10% Perhutani, 90% pemegang IPHPS.

Sementara dalam PHBM nilai bagi hasil diatur berdasarkan nilai dan proporsi masukan faktor produksi yang dikontribusikan oleh masing-masing pihak (Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak lain yang berkepentingan). Nilai dan proporsi berbagi ditetapkan Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan pada saat penyusunan rencana yang dilakukan secara partisipatif mengacu pada Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 268/KPTS/DIR/2007.

Dari sini terlihat siapa pihak yang lebih untung memakai skema yang mana.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR pada 28 September 2020, Direktur Utama Perhutani mengatakan bahwa setiap tahun perusahaan mengevaluasi potensi untuk memetakan lahan 2,4 juta hektare tersebut. Kawasan yang benar-benar bisa dieksploitasi secara rutin hanya 672 ribu hektare. Selebihnya dibagikan kepada kelompok-kelompok masyarakat.

Ada empat zona di areal Perhutani: zona ekologi yang mencakup kawasan perlindungan seluas 932 ribu hektare, zona produksi 672 ribu hektare, zona konflik tenurial 101 ribu hektare, dan zona adaptif seluas 728 hektare. Sehingga total areal yang dieksploitasi seluas 900 ribu hektare.

Jika merujuk pada aturan-aturan yang dijadikan sandaran dua pendapat dalam memanfaatkan konsesi Perhutani, agaknya pemerintah lebih kuat karena cantolannya PP dan UU. Sehingga perdebatan soal ini seharusnya tak perlu ada.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain