KORUPSI mereduksi hampir seluruh makna dan manfaat kehidupan. Sebab, hidup terikat pada interaksi sosial yang bersandar pada ketentuan, aturan formal, kontrak, norma yang dipercaya bersama-sama. Semua itu runtuh jika di dalamnya ada korupsi dan konflik kepentingan.
Korupsi membuat interaksi sosial itu tidak punya makna lagi. Ketika peraturan, kontrak, hingga watak pemimpin dapat “diurus” dan disetir oleh kepentingan tertentu, reputasinya sebagai pengikat kehidupan akan sirna.
Hari-hari ini kita menyaksikan runtuh dan sirnanya ikatan sosial tersebut. Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebanyak 75 penyidik senior KPK gagal tes wawasan kebangsaan sehingga tak bisa menjadi aparat negara—mengingat KPK kini bukan lagi lembaga independen.
Tanpa perlu tahu detail perkara ini, siapa saja bisa langsung melihat reputasi pemberantasan korupsi sedang runtuh. KPK bukan lagi lembaga yang bisa kita andalkan untuk mencapai cita-cita kita bersama setelah Reformasi 1998: Indonesia yang bebas korupsi untuk melesat mencapai kemajuan dan kesejahteraan.
Jika masih bingung memahami reputasi, mari kita lihat kelahiran Komisi Independen Anti Korupsi (ICAC) Hong Kong. Mungkin bisa jadi cermin untuk membandingkan dengan KPK kita sekarang.
Sejak berdiri pada 1974, ICAC berhasil menempatkan Hong Kong sebagai salah satu negara terbersih di dunia. Dari laporan Indeks Persepsi Korupsi 2020, sejak 1995 Hong Kong konsisten berada di seputar kelompok peringkat ke-11 provinsi otonom setingkat negara paling tidak korup, dari 180 negara yang dinilai. Seberapa serius korupsi di Hong Kong sebelum ada ICAC?
Tahun 1960-1970, Hong Kong mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat. Kebutuhan pokok tak bisa mengimbangi laju pertambahan orang. Persaingan mendapatkan penghidupan pun tak terbendung. Persaingan itu yang melahirkan orang menempuh cara belakang dengan “uang teh”, “uang hitam”, “uang neraka”—istilah-istilah populer menyebut suap.
Sesuatu yang tak akrab karena dikerjakan bersama dan jadi kebutuhan menjadi hal biasa. Korupsi terjadi secara terbuka dan dianggap wajar. Keluarga pasien tak lagi menyoal ketika sopir ambulans meminta uang teh sebelum menjemput anggota keluarga yang sakit. Di rumah sakit petugas minta “tips” untuk pispot dan segelas air. Tiap orang harus menyuap untuk mendapatkan perumahan, layanan pendidikan, dan layanan-layanan umum lain.
Korupsi yang sangat serius terjadi di kepolisian. Petugas polisi yang korup menawarkan perlindungan kepada para penjahat. Mereka menjadi centeng rumah judi, pelacuran, hingga peredaran narkotika. Masyarakat yang menjadi korban korupsi, hanya menelan amarah, karena pemerintah tak berdaya.
Kesabaran masyarakat semakin menipis karena penyidikan kejahatan korupsi pun pura-pura belaka. Pada awal 1970-an, kemarahan publik memuncak, ketika Peter Godber, Kepala Inspektur Polisi yang diduga korup dan sedang diselidiki, melarikan diri dari Hong Kong. Kekayaan Godber sekitar HK $ 4,3 juta.
Pelarian Godber memicu protes publik. Mahasiswa memimpin demonstrasi di Victoria Park, memprotes dan mengutuk pemerintah karena gagal mencegahnya lari. Mereka menuntut tindakan segera. Mereka minta Godber diekstradisi dan diadili.
Pemerintah lalu menunjuk Sir Alastair Blair-Kerr, seorang hakim senior membentuk Komisi Penyelidikan atas pelarian Godber. Dalam laporannya, Blair-Kerr menyatakan, “Publik tak yakin pemerintah serius memerangi korupsi jika pengusutan korupsi dipegang polisi dan lembaga antikorupsi tidak dipisahkan dari mereka”.
Gubernur Sir Murray MacLehose berpidato di mimbar Dewan Legislatif pada Oktober 1973. Ia mengartikulasikan pembentukan organisasi anti-korupsi seperti usulan Blair-Kerr. “Kita butuh sebuah organisasi yang dipimpin oleh orang dengan pangkat dan status tinggi yang mengabdikan seluruh waktunya memberantas kejahatan ini. Seiring dengan itu kepercayaan publik harus dijaga. Mereka akan lebih percaya kepada lembaga independen yang terpisah dari pemerintah, termasuk polisi.”
Setelah ICAC terbentuk, pada 1975 Godber diekstradisi dari Inggris. Ia lalu diadili dengan tuduhan pelanggaran dan konspirasi serta menerima suap. Sejak itu ICAC menjadi pernyataan Hong Kong paling serius dalam memberantas korupsi.
Dalam “A Comparative Analysis of Indonesia’s KPK and Hong Kong ICAC in Eradicating Corruption (2019), para dosen Universitas Negeri Semarang menulis bahwa undang-undang yang menjadi senjata ICAC bekerja sangat efektif. Pasal-pasalnya tak memunculkan celah hukum dan hambatan bagi para penyidiknya.
Strategi ICAC berfokus pada akar masalah terjadinya korupsi—termasuk korupsi swasta. Mereka fokus pada struktur lembaga pemerintah dan swasta yang bisa mendorong korupsi lebih masif.
Dengan mengungkap banyak kasus besar dan penting, kepercayaan publik kepada pemerintah Hong Kong kembali. Harapan mereka tumbuh lagi akan masa depan Hong Kong yang bersih dan baik.
Mengapa kerja ICAC begitu efektif? Setidaknya tiga hal, selain hal utama, yakni independensi dari lembaga pemerintah yang menjadi objek penyelidikan mereka:
Pertama, Ordonansi Komisi Independen Anti Korupsi yang memuat kewenangan komisaris, kewenangan penyidik, parameter dalam penyidikan, serta tata cara memperlakukan tersangka dan alat bukti. Ini menjadi semacam standar prosedur operasi ICAC dalam menangani pelbagai kasus. Standar ini yang membuat penyidik ICAC punya kerja yang jelas.
Kedua, Ordinasi Pencegahan Suap yang mendefinisikan secara khusus tentang suap yang di lembaga layanan publik, badan publik, dan karyawan atau perusahaan swasta. Dengan ketentuan ini penyidik ICAC bisa mengidentifikasi dan membongkar transaksi serta aset hasil korupsi yang disamarkan.
Ketiga, regulasi menjaga kerahasiaan kegiatan investigasi ICAC. ICAC memiliki badan intelijen sendiri untuk mendeteksi tindak korupsi.
Dengan independensi, ICAC bebas dari konflik kepentingan. Mereka tak tunduk pada perintah atasan, gubernur atau jabatan tertinggi di Hong Kong, yang justru hendak mereka selidiki perbuatan korupsinya. Strategi ini hanya lahir dari komitmen pemimpin tertinggi dalam memberantas korupsi.
Dan strategi itu muncul dari desakan publik. Seperti kata Delia Ferreira, Ketua Transparency International, bahwa “Ketidakpedulian masyarakat adalah tempat terbaik berkembang biaknya korupsi”. Reputasi KPK mungkin gembos hari ini, tapi gerakan masyarakat sipil harus makin kuat mendorong pemberantasan korupsi, meski kita seperti kembali ke era sebelum 2003.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :