Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 24 Mei 2021

Demokrasi Ekologi untuk Perlindungan Lingkungan

Di Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni, kita sebaiknya memiliki agenda demokrasi ekologi. Demokrasi memungkinkan perlindungan lingkungan berjalan adil dan berkelanjutan.

Demokrasi ekologi

PARA ahli teori politik sering melihat demokrasi melalui musyawarah sebagai cara yang menjanjikan memperkuat ekologi. Sebab, dialog yang inklusif dan saling menghormati antar pelaku lingkungan akan memprioritaskan kepentingan bersama jangka panjang yang dibutuhkan dalam menopang perlindungan lingkungan.

Jonathan Pickering, Karin Bäckstrand, dan David Schlosberg dalam Between environmental and ecological democracy: theory and practice at the democracy-environment nexus menyimpulkan bila terjadi hubungan positif antara demokrasi dan perlindungan lingkungan, ada harapan mengatasi masalah ekologi.

Konstruksi Kayu

Misalnya, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, pilar utama demokrasi, memungkinkan media dan organisasi masyarakat sipil mendorong kesadaran publik akan bahaya merusak lingkungan. Kesadaran publik mendorong sikap dan tindakan yang lebih ramah lingkungan yang akan mempengaruhi kebijakan publik.

Sebaliknya, pers yang tak bebas dan pendapat yang dibatasi akan membuat proteksi lingkungan terancam. Tak hanya oleh pemerintahan yang otoriter. Di Amerika Serikat, media lokal yang bangkrut karena tak sanggup bersaing dengan media sosial sebagai sumber baru informasi masyarakat, membuat korupsi dan perusakan lingkungan tak terberitakan sehingga luput dari pengawasan masyarakat.

Demikian pula pemilihan umum yang bebas dan adil, sebagai atribut sistem demokrasi, akan memfasilitasi perwakilan pemilih dalam politik. Kebebasan berserikat dan persaingan pemilu yang sehat dan adil memberi kesempatan berbagai kelompok masyarakat untuk berorganisasi dan berpartisipasi dalam proses politik untuk mendorong perlindungan ekologi.

Selain itu, demokrasi juga memberi ruang partisipasi dalam perjanjian lingkungan internasional dan pemerintah tiap negara mematuhi perjanjian sebagai bagian dari tanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan.

Namun, Pickering dkk juga memberikan catatan atas hubungan positif demokrasi dan lingkungan hidup ini. Demokrasi yang didasarkan pada pemilihan bebas, kata mereka, akan memperkuat individualisme, keserakahan, dan konsumsi berlebihan. Perilaku ini jelas bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai inti keberlanjutan.

Demokrasi, karena menampung semua suara, biasanya membuat proses perlindungan lingkungan berjalan lambat, membutuhkan kompromi, tidak praktis, dan umumnya dipakai kelompok kepentingan mengumpulkan suara terbanyak untuk menghambat pembangunan berkelanjutan. Contohnya Undang-Undang Cipta Kerja.

Tapi di antara pertentangan itu, bukti menunjukkan bahwa demokrasi secara umum membawa kinerja lingkungan lebih baik daripada sistem non-demokrasi atau autokrasi. Daniel Fiorino dalam Can Democracy Handle Cimate Change? (2018) menulis bahwa pluralisme, aktivisme masyarakat sipil, dan akuntabilitas pemilu mendorong pembuat kebijakan lebih terbuka terhadap tuntutan masyarakat dalam menyediakan barang publik. Salah satunya jasa lingkungan.

Para ahli ilmu politik umumnya berpendapat tantangan mencapai kesimpulan yang lebih pasti menjadi kompleks dengan kenyataan bahwa demokrasi memiliki corak yang berbeda-beda. Demokrasi bekerja lebih baik bila berkualitas, korupsi rendah, dan sejarah institusi demokrasi lebih panjang.

Ada “demokrasi ekologi” yang mengkritik konsep lingkungan neoliberal dalam agenda transformasi, partisipasi, dan ekosentrisme. Istilah itu pada dasarnya menghubungkan nilai-nilai lingkungan dan demokrasi—baik secara teoritis maupun empiris—dalam tata kelola lingkungan.

Dalam praktik konservasi, organisasi lingkungan mendapat kritik karena mengutamakan proteksi lingkungan di atas nilai-nilai demokrasi. Akibatnya, proteksi lingkungan juga melahirkan ketimpangan, hasil serupa dalam tindakan sebaliknya, yakni eksploitasi. Proteksi lingkungan tanpa kompromi pemanfaatan akan mereduksi pengalaman masyarakat dalam interaksi memanfaatkan kekayaan alam yang lestari. 

Karena itu kini berkembang apa yang disebut pendekatan menjalankan demokratisasi keahlian lingkungan. Pickering, dkk menghimpun sejumlah literatur yang menunjukkan dalam beberapa dekade terakhir terlihat inovasi demokrasi terkait interaksi kebijakan dan ilmu lingkungan. Para ahli mengadopsi kearifan lokal melalui forum musyawarah sehingga proteksi lingkungan tetap berangkat dari kepentingan masyarakat.

“Dalam demokrasi,” kata Aristoteles, “orang miskin memiliki kekuatan lebih besar dibanding orang kaya, karena jumlah mereka lebih banyak.” Di Indonesia faktanya terjadi sebaliknya. Meski orang miskin banyak, mereka tidak berdaya ketika menjadi korban pencemaran dan perusakan alam.

Apa yang keliru di sini? Tentu saja sistem demokrasinya. The Economist menggolongkan demokrasi di Indonesia sebagai “demokrasi cacat”. Di lapangan, sepanjang pengamatan saya, cacatnya demokrasi itu terasa benar, terutama di wilayah terpencil lokasi industri ekstraktif. Pers tak bebas, kebebasan berpendapat sudah lama hilang, pemerintah daerah ragu-ragu memberi sanksi pada pelanggaran perlindungan lingkungan.

Maka apa yang bisa kita harapkan dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni tahun ini? Akankah masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya? Misalnya seremonial menanam pohon. Menanam pohon tentu penting, tapi kita perlu agenda lebih luas dengan menjalankan “demokrasi ekologi”.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain