PARA petani di Desa Katongan Gunung Kidul, Yogyakarta, tak lagi muda. Tapi dari bicara dan tatapan mata mereka terasa ada semangat yang menyala. Saya bertemu mereka pada 26 Mei 2021 untuk tahu apa yang berubah dengan hidup petani di desa ini setelah mereka mengelola hutan di sekitar tempat tinggalnya.
Ada 250 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Kusuma Tani mengelola 80 hektare hutan. Mereka menerima surat keputusan hutan kemasyarakatan (HKm) pada Desember 2017. HKm adalah salah satu skema perhutanan sosial—program pemerintah memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat. HKm Kusuma Tani mendapatkan hak kelola 35 tahun.
Perhutanan sosial adalah solusi yang dipilih pemerintah dalam menyelesaikan konflik dengan masyarakat yang merambah kawasan hutan negara. Pemerintah, sesuai mandat undang-undang, wajib menjaga kawasan hutan dari aktivitas yang tak mendapatkan izin.
Masyarakat tak mendapatkan izin masuk kawasan hutan. Akibatnya, siapa pun yang masuk ke sana akan berhadapan dengan polisi hutan. Sementara masyarakat di sekitarnya membutuhkan pangan berbasis lahan. Akibatnya, mereka masuk ke dalam kawasan hutan dengan mengubahnya menjadi areal pertanian.
Konflik semacam ini menjadi umum di seluruh Indonesia. “Saya akan lari terbirit-birit karena dikejar mandor karena menggarap lahan untuk palawija,” kata Narto Wiyono. Cerita petani 74 tahun ini langsung disambut gelak tawa petani lain seusianya. Mereka unjuk tangan ketika saya tanya siapa lagi yang punya cerita serupa.
Maka ketika perhutanan sosial menjadi program pemerintah, para petani mengajukannya. Surat keputusan HKm yang mereka terima membuat hidup berubah 180 derajat. “Sekarang rasanya aman karena tak lagi dikejar mandor ketika masuk hutan,” kata Narto.
Dengan SK perhutanan sosial, para petani harus menghimpun diri dalam kelompok tani. Mereka harus menuliskan rencana mengelola kawasan hutan lindung itu dengan rapi sehingga jelas untuk apa mereka masuk kawasan hutan. Pada 2007, mereka merencanakan menanam jati.
Perhutanan sosial mengharuskan petani memelihara kawasan hutan. Mereka diizinkan mengelola ruang di bawah tegakan untuk pelbagai keperluan. Petani di Gunung Kidul memilih jati dan memanfaatkan ruang di bawahnya untuk menanam palawija. Teknik ini disebut tumpang sari atau agroforestri.
Pilihan jati bukan tanpa alasan. Kondisi tanah di hutan lindung Gunung Kidup yang berkapur bahkan batu kapur keras membuat petani tak punya banyak pilihan menanam pelbagai jenis pohon. “Pohon lain tidak cocok hidup di tanah berkapur. Pasti mati. Kalaupun ada yang hidup, hidup ala kadarnya saja. Tidak akan menghasilkan,” kata Suparman, yang kini jadi Ketua Kelompok Kusuma Tani.
Seiring jati tumbuh, para petani menanami ruang kosong di sela-selanya dengan pelbagai jenis palawija, seperti jagung dan ketela. Terkadang juga kacang tanah. Saat jati makin besar, ruang tanaman sela jadi menyempit. Tapi petani mendapatkan keuntungan lain, yakni manfaat ekologi.
Ketika jati membesar, bukti dan lahan berkapur di desa ini pelan-pelan menghijau. Setelah lebih 10 tahun, penduduk mendapatkan kembali air tanah. Mereka mengebor tanah kapur dan bisa menimba air untuk keperluan penduduk desa. “Kami tak lagi harus berjalan jauh untuk mengangkut air,” kata seorang petani. “Bahkan ketika musim kemarau.”
Kembalinya gunung yang menghijau juga menjadi rumah baru bagi sekawanan burung. Beberapa jenis burung yang sempat menghilang karena kehilangan pohon yang ditebang masyarakat, seperti tekukur dan kutilang, kini mudah ditemui lagi. Kicaunya menjadi nuansa penghibur pendudukan.
Kini para petani Kusuma Tani sedang merencanakan mengembangkan jasa lingkungan (air) dan wisata. Mereka ingin menjadikan hutan jati sebagai ekowisata dengan membuka areal perkemahan.
Dari 80 hektare kawasan hutan yang mereka kelola, ada 10 hektare yang bisa ditanami pohon selain jati. Mereka pun menanam 2.000 pohon alpukat. Sewaktu saya ke sana pohon alpukat mulai tumbuh dengan baik.
Apakah mereka akan menebang jati yang sudah besar? Mereka kompak menggeleng. “Kalau kami tebang jati air akan hilang lagi, tanpa jati kami juga akan kepanasan,” kata Narto.
Walhasil, mereka akan membiarkan jati itu tumbuh merimbuni bukti di desa itu. Menurut Narto penduduk di desanya sudah paham bagaimana seharusnya menjaga hutan. “Jati adalah jantung hutan desa kami,” katanya, filosofis.
Untuk mendapat manfaat dari hutan mereka sudah paham mendapatkannya dari potensi lain, semacam ekowisata dan pohon buah-buahan. Di Desa Katongan, perhutanan sosial terwujud dengan memberikan tiga manfaat sekaligus: konflik sosial antara masyarakat dan negara mereda, manfaat ekologis, dan manfaat ekonomi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.
Topik :