Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 01 Juni 2021

Denda Kebun Sawit Ilegal

UU Cipta Kerja coba menyelesaikan perkebunan kelapa sawit ilegal di kawasan hutan. Penyelesaian ekonomi dan ekologi lebih masuk akal.

Petani perkebunan kelapa sawit di Jambi (Foto: Istimewa)

PERKEBUNAN kelapa sawit di kawasan hutan menjadi momok bagi Indonesia. Tak hanya produk sawit mendapat cap buruk di pasar internasional, pengelolaan hutan juga mendapat stigma negatif karena deforestasi. Menyelesaikan soal ini jadi pelik meski telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 104/2015.

PP tentang tata cara perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan sebetulnya lebih akomodatif menyelesaikan sawit di kawasan hutan. Namun prosedurnya yang berbelit membuat penyelesaiannya tak kunjung final. Melalui PP ini perkebunan yang mendapat pemutihan tidak hanya yang beroperasi di kawasan hutan produksi (HP) atau hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), juga di hutan konservasi dan hutan lindung (HL). 

Konstruksi Kayu

Bedanya, jika di hutan produksi atau hutan produksi yang bisa dikonversi pengelola perkebunan bisa mengajukan izin yang berlaku selamanya, di hutan konservasi dan hutan lindung pengelola hanya diberi kesempatan beroperasi untuk satu daur saja.

Ada usul agar sawit dikelompokkan tanaman hutan saja sehingga perkebunan di kawasan hutan tak disebut deforestasi. Sawit disamakan dengan karet yang sama-sama tanaman perkebunan dan kini banyak ditanam sebagai bagian dari agroforestri. IPB yang mengusulkannya.

Sementara UGM mengusulkan strategi jangka benah untuk sawit rakyat. Jangka benah merupakan upaya pembenahan kawasan hutan yang telah telanjur dibuka masyarakat menjadi kebun sawit untuk dikembalikan menjadi hutan kembali melalui agroforestri.

Pada November 2019 pemerintah mempertimbangkan mengizinkan kebun sawit di kawasan hutan dikelola dengan agroforestri. Jangka waktu pemberian dispensasi akan diperpanjang, tidak lagi 12 tahun. 

Perkebunan sawit yang mencaplok kawasan hutan yang belum memiliki izin pelepasan kawasan seluas 3,1 juta hektare. Dari jumlah itu, sekitar 576.983 hektare sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya sekitar 1,2-1,7 juta hektare terindikasi sebagai sawit masyarakat perorangan.

Karena itu menghukum masyarakat bukan tindakan arif. Apalagi, banyak kebun yang dibangun karena regulasi saat itu memungkinkan. Skema perhutanan sosial membolehkan sawit di kawasan hutan hingga usia 12 tahun. Setelah itu dibunuh. Masyarakat menolak karena 12 tahun adalah usia sawit menghasilkan buah tandan segar. 

Regulasi dan wacana agroforestri sawit akan gugur dengan berlakunya UU Cipta Kerja. Lalu bagaimana nasib sekitar 1,7 juta hektare kebun sawit rakyat yang tidak mungkin ikut dalam mekanisme proses pelepasan kawasan hutan?

Pasal 110B mengatur soal sawit ilegal milik perorangan. Sanksinya denda. Jika mengacu pada perhitungan di pasal penjelasan dengan tarif denda 20% dari pendapatan negara akan memperoleh pendapatan dari pemutihan sawit ilegalRp 75 triliun. Jumlah yang besar.

Dengan mekanisme ini, penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah mencaplok kawasan hutan dengan membayar denda. Dari 3,1 juta hektare itu sekitar 576.983 hektare yang sedang proses permohonan pelepasan kawasan hutan wajib membayar provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi. Jika diasumsikan potensi kayu yang telah ditebang rata-rata 30 meter kubik per hektare, kayu yang telah tertebang berasal dari lahan 676.963 hektare.

Sebesar itu pula deforestasinya. Volume kayunya mencapai 17.308.980 meter kubik. Maka pajak PSDH jika mengacu Peraturan Menteri P64/2017 tentang harga kayu bulat rimba campuran sebesar Rp 600.000 per meter kubik menghasilkan pajak hampir Rp 10,4 triliun. Jika tarif dana reboisasi US$ 12 per meter kubik menghasilkan pajak Rp 2,2 triliun.

Berdasarkan PP 24/2021, dari luas kebun sawit 576.983 hektare tersebut harus dipisahkan antara kebun sawit di hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi melalui inventarisasi dan pendataan kegiatan usaha yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan berusaha. Selanjutnya baru bisa diketahui angka pasti luas hutan untuk sawit.

Masalahnya, bersediakah para pemilik kebun sawit rakyat membayar denda sebesar itu? Apalagi sawit di hutan lindung dan hutan konservasi yang harus menyerahkan areal usahanya kepada negara.

Agaknya solusi mengampuni dan memutihkan sawit di kawasan hutan masih akan panjang. Karena itu, cara yang ditawarkan IPB lebih masuk akal, yakni memakai pendekatan ekonomi dan ekologi melalui hortikultura. Silakan baca penjelasan dan hitung-hitungannya di sini.

Percakapan tentang sawit di kawasan hutan ada di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain