Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 04 Juni 2021

Nol Emisi yang Belum Pasti

Pemerintah tak kunjung menetapkan target waktu nol emisi atau karbon netral. Kementerian ESDM, KLHK, dan Bappenas punya tahun berbeda.

Pembangkit tenaga angin di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan (Foto: Dok. EBTKE)

NOL emisi menjadi isu menarik menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Glasgow pada 2 November 2021. Beberapa negara telah merevisi target penurunan emisi sebagai mitigasi mencegah krisis iklim dan menetapkan tahun nol emisi atau karbon netral.

Nol emisi tak merujuk pada berhentinya produksi emisi sebuah negara. Nol emisi merujuk pada karbon netral, yakni keadaan ketika jumlah emisi yang diproduksi bisa diserap seluruhnya sebelum naik ke atmosfer menjadi gas rumah kaca yang bisa menaikkan suhu bumi.

Konstruksi Kayu

Kesepakatan Iklim Paris 2015 menetapkan nol emisi pada 2050. Tahun tersebut dipilih karena, secara ilmiah, menunda pencapaian target mencegah kenaikan suhu 1,50 Celsius akan mengakibatkan dampak buruk bagi bumi berupa pelbagai bencana yang akan mengancam eksistensi manusia.

Beberapa negara sudah merevisi target pengurangan emisi mereka, dalam dokumen kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC). Amerika Serikat akan mencapai nol emisi pada 2050 yang separuh emisinya akan dikurangi pada 2030. Inggris pada 2050 dengan target 2035 mengurangi emisi sebanyak 78%. Tiongkok molor sepuluh tahun pada 2060. Bagaimana dengan Indonesia?

Belum ada tahun yang definitif. Dalam Konferensi Iklim yang dihela Presiden Joe Biden pada awal Maret lalu, Presiden Joko Widodo tak menegaskan tahun berapa Indonesia akan mencapai nol emisi atau karbon netral.

Kementerian-kementerian masih berbeda dalam menyampaikan target nol emisi. Badan Perencanaan Pembangunan membuat empat skenario pengurangan emisi hingga netral pada 2045, 2050, 2060, dan 2070. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan nol emisi 2070.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral lain lagi. Menurut Direktur Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana, dengan pelbagai program mengubah energi fosil menjadi terbarukan, nol-bersih emisi atau net-zero emissions bisa tercapai pada 2060

Indonesia akan menurunkan emisi melalui lima sektor: hutan dan lahan, energi, pertanian, proses produksi, dan limbah. Pada sektor lahan, melalui pencegahan deforestasi dan kebakaran hutan serta menaikkan restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan. Kementerian Kehutanan memiliki tanggung jawab mengurangi emisi 17%. Sementara dari sektor energi sebanyak 11%.

Angka-angka itu adalah target pengurangan emisi pada 2030. Indonesia tak merevisi target NDC 2015 dengan tetap berkhidmat pada target mengurangi emisi 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan asing pada 2030. Rasio 41% kira-kira 1,1 miliar ton setara CO2 yang merujuk pada prediksi emisi pada 2010. Angka ini menjadi acuan karena tahun lalu Indonesia mendapat komitmen pembayaran mencegah deforestasi sebesar Rp 813 miliar dari Norwegia dan Rp 1,5 triliun dari Green Climate Fund.

Hibah sebesar itu merupakan pembelian emisi yang bisa dihindarkan melalui pencegahan deforestasi. Norwegia menganggap Indonesia bisa menghindarkan emisi sebanyak 11,2 juta ton setara CO2 pada 2016-2017. Sementara GCF menghargai penurunan deforestasi pada dua tahun sebelumnya.

Cara mencapai nol emisi sektor energi terlihat dari presentasi PLN dalam mengubah sumber energi listrik dari fosil ke sumber terbarukan pada Mei lalu dalam rapat kabinet terbatas di Istana Merdeka. Dalam rapat itu, menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana, Presiden Joko Widodo melarang pembangunan pembangkit baru dari batu bara. 

Karena itu, secara mengejutkan, PLN memproyeksikan produksi listrik sebanyak 1.360 terra watt jam (TWh) hingga 2060. Semua kebutuhan listrik itu akan dipasok dari energi baru dan terbarukan.

Menuju karbon netral 2060

Menurut perhitungan PLN, kebutuhan listrik hingga 2060 sebanyak 1.800 TWh. Saat ini produksi listrik sebanyak 300 TWh plus 120 TWh lungsuran dari listrik proyek 35.000 megawatt yang dirancang sejak 2015. Jika seluruh kebutuhan itu bersumber dari minyak dan gas, defisit keuangan negara mencapai Rp 1.000 triliun per tahun karena mengandalkan lebih banyak minyak impor akibat cadangan di dalam negeri kian menipis. 

Penggantian pembangkit listrik dari energi fosil (minyak, gas, batu bara) akan mulai diganti pada 2030, bertahap tiap lima tahun hingga seluruh pembangkit berganti menghasilkan energi bersih pada 2056-2060. Nuklir akan menjadi energi tambahan baru yang akan mulai dibangun pada 2040.

Sebaliknya, pembangkit energi bersih mulai terpasang secara masif pada 2028 dengan mengandalkan pada teknologi baterai. Meskipun begitu, karena bahan baku baterai berasal dari nikel, penggalian bumi seperti batu bara akan tetap masif. Sementara nikel banyak terdapat di hutan-hutan lindung. PLN belum menjelaskan mitigasi penambangan nikel yang bisa tak terkendali sehingga merusak hutan.

Sebab, dalam karbon netral, keberadaan hutan mesti terus ditingkatkan agar emisi yang masih diproduksi untuk menghidupkan ekonomi tetap memiliki penyerap. Hutan adalah ekosistem terbaik menyerap emisi untuk karbon netral sebelum mereka menguap menjadi gas rumah kaca yang merusak atmosfer dan menaikkan suhu bumi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain