Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 06 Juni 2021

Bisakah Kawasan Hutan Dibuka untuk Bisnis?

Kisruh penetapan kawasan hutan dan non kawasan hutan berdampak pada kekacauan data. UU Cipta Kerja hendak menyelesaikan dengan mengampuni usaha di kawasan hutan.

Permukiman di sekitar hutan lindung Bujang Raba, Jambi (Foto: Dok. KKI Warsi)

KITA mungkin acap salah memahami kawasan lindung dan hutan lindung. Ini dua istilah berbeda, dalam pengertian maupun wujudnya.

Hutan lindung adalah bagian kawasan lindung. Sementara kawasan lindung belum tentu masuk dalam pengertian kawasan hutan lindung. Ia lebih luas karena mencakup kawasan-kawasan lindung lainnya. 

Secara umum, daratan Indonesia diatur oleh Undang-Undang (UU) Penataan Ruang yang telah disusun dan dibuat dua kali, yakni UU Nomor 24/1992 dan direvisi dan diperbarui 15 tahun kemudian melalui UU Nomor 26/2007.

UU Penataan Ruang melingkupi regulasi lain seperti UU Kehutanan. Sayangnya, UU Nomor 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan yang lahir jauh sebelumnya, dalam banyak penggunaan ruang terjadi irisan. Apalagi UU Kehutanan bersifat khusus sehingga menegasikan UU Penataan Ruang. 

Beberapa irisan kedua undang-undang dengan menengok sejarahnya:

Dalam penjelasan UU 24/1992, pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa kawasan lindung mencakup kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan, sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam.

Areal yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan.

Dalam penjelasan UU 5/1967 pasal 1, hutan adalah lapangan cukup luas, bertumbuhan kayu, bambu dan/atau palem yang bersama-sama dengan tanahnya, beserta segala isinya baik berupa alam nabati maupun alam hewani, secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan dan/atau manfaat-manfaat lainnya secara lestari. Artinya kawasan hutan produksi tidak bisa dipisahkan manfaatnya dengan manfaat dari kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang membentuk sutu kesatuan ekosistem yang utuh.

Departemen Pertanian cq Ditjen Kehutanan sebagai penanggung jawab penggunaan dan pemanfaatan hutan dan Departemen Dalam Negeri sebagai penanggung jawab penataan ruang wilayah, sepakat memisahkan kawasan hutan produksi yang menjadi kewenangan Departemen Kehutanan dan pemerintah daerah. Lalu muncul istilah TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan).

Kawasan hutan produksi yang disepakati menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam TGHK disebut APL (Areal Penggunaan Lain), sedangkan kawasan hutan produksi yang menjadi kewenangan kehutanan tetap disebut kawasan hutan produksi. Meski telah disepakati bersama, beberapa daerah provinsi masih menetapkan kawasan hutan sebagai APL untuk disahkan sebagai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Menjadi rumit saat terjadi penyusutan luasan APL dari 37% berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8/2003 menjadi sekitar 18% sebagai konsekuensi lahirnya SK 529/Menhut II/2012.

Lahan hutan seluas 125,2 juta hektare menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara lahan APL 67,4 juta hektare, 12% di antaranya memiliki tutupan hutan seluas 7,9 juta hektare. APL bisa dipakai untuk keperluan nonkehutanan.

Sekarang implikasinya setelah terbit UU Cipta Kerja.

Untuk memudahkan investasi investasi, UU Cipta Kerja merevisi penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR) di tingkat kabupaten yang memuat tentang rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten dan arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan.

Dalam revisi UU 41/1999 pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Pengukuhan kawasan hutan sebagai proses pintu masuk legalitas kawasan hutan (temu gelang) belum bisa dilakukan secara keseluruhan apabila RTRW Provinsi belum disahkan. Kalimantan Tengah belum mengesahkan RTRW karena tarik menarik luas APL dengan pusat.

Bagaimana dengan perkebunan sawit yang telanjur di kawasan hutan tapi sesuai tata ruang provinsi? Menurut PP 24/2021 pasal 7a Menteri Lingkungan Hidup dan bisa mengambil dengan cara menerbitkan persetujuan pelepasan kawasan hutan. Jika berada di kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan konservasi, persetujuannya berupa melanjutkan usaha selama satu daur atau maksimal 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain