ENERGI fosil memasuki masa senjakala. Pandemi virus corona covid-19 yang melanda dunia sejak November 2019, mengoreksi permintaan energi pada 2020. Catatan International Energy Agency, pada tahun lalu permintaan energi global turun 5,3%. Akibatnya, sebesar itu pula emisi dunia turun dari produksi tahunan yang mencapai 51 miliar ton setara CO2.
Menurut IEA, permintaan untuk semua energi fosil turun. Baik untuk minyak, gas, batu bara. “Hanya energi terbarukan yang naik 0,9%,” kata Adhityani Putri, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah dalam zoominarKemandirian Energi: Bagaimana Mewujudkannya? pada 10 Juni 2021.
Maka, bagi Adhityani, untuk menjawab pertanyaan dalam tema zoominar itu, kemandirian energi paling mungkin bisa dicapai jika pemerintah mendorong energi terbarukan. Energi terbarukan juga sesungguhnya tak membutuhkan biaya besar karena bahan bakunya melimpah di semua wilayah, dibanding energi fosil yang membutuhkan teknologi canggih, biaya, bahkan penyimpanan.
Secara ekonomi, investasi energi terbarukan juga terbukti paling tahan terhadap krisis. Adhityani mengutip data Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), pada 2020 meski investasi turun 40%, investasi sub sektor energi terbarukan turun paling kecil, hanya 26%.
Kesadaran penduduk dunia akan bahaya krisis iklim telah mendorong pemahaman dan kebutuhan energi bersih meningkat. Akibatnya, secara langsung, kesadaran ini menciptakan permintaan pasar pada energi terbarukan. “Tapi untuk permintaan Indonesia saya belum tahu karena tidak ada datanya,” kata Adhityani.
Bauran energi terbarukan pada kuartal pertama tahun ini naik 4% dibanding tahun lalu. Sehingga total bauran energi terbarukan kini sebanyak 13,5%. Itu pun paling banyak bersumber dari biofuel minyak sawit. Energi listrik dari energi surya atau angin hanya bertambah 400 megawatt per tahun dalam lima tahun terakhir.
Permintaannya tak terlihat. Tapi, survei tahun 2019 menunjukkan bahwa konsumen Indonesia tak keberatan membeli listrik energi terbarukan, meski harganya lebih mahal. Menurut Universitas Indonesia, harga listrik energi terbarukan masih dua kali lebih mahal dibanding listrik dari batu bara. Untuk tiap kWh listrik energi terbarukan harganya masih US$ 4-12. Sementara batu bara hanya US$ 3 sen.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan baru pada 2060 semua pembangkit batu bara akan beralih ke energi terbarukan. Transisi energi akan berlangsung selama 40 tahun dengan lonjakan energi terbarukan dimulai pada 20298. Presiden Joko Widodo sudah melarang pendirian pembangkit listrik baru yang memakai batu bara.
Menurut Adhityani Putri, ada tiga pilar menempuh transisi energi: keamanan, keadilan, dan kelestarian energi. Keamanan energi adalah kemampuan sebuah negara menyediakan energi masa depan dengan seminimal mungkin gangguan dalam transisi. Keadilan energi mencerminkan kemampuan menyediakan energi untuk siapa saja yang dengan harga yang terjangkau secara domestik dan pemakaian komersial.
Sementara kelestarian lebih kepada kemampuan menghindarkan produksi energi berdampak pada lingkungan dan iklim. “Satu tidak ada, kemandirian energi tidak akan tercapai,” kata Adhityani.
Masalahnya, kebijakan politik tak mencerminkan transisi energi itu. Indonesia bahkan belum mengumumkan target nol-emisi bersih yang dijanjikan dalam Kesepakatan Iklim Paris 2015 pada 2050. Kementerian Energi menargetkan 2060, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lebih lama lagi, yakni 2070. Sementara Bappenas mengajukan empat skenario kepada presiden: 2045, 2050, 2060, dan 2070.
Padahal, kata Adhityani, target nol-bersih emisi bisa menjadi pijakan dalam transisi energi. Ketiadaan target pasti membuat kebijakan pemerintah dalam proyek strategis nasional juga melenceng. Misalnya, batu bara didorong diolah menjadi gas yang emisinya 5 kali lebih banyak. Harganya juga ternyata lebih mahal, sementara energi yang dihasilkannya juga lebih sedikit dibanding LPG.
Adhityani mengutip data Institute for Energy Economics and Financial Analysis bahwa tiap kilogram dymethil ether—gas batu bara—menghasilkan 6.900 kilokalori, lebih kecil dibanding LPG sebanyak 11.000 kilokalori. Harga DME dan gas global hampir sama, yakni US$ 365 per ton. Tapi harga DME Indonesia, karena membutuhkan energi banyak dalam mengolahnya, senilai US$ 470 per ton.
Artinya, DME akan membuat gas batu bara membutuhkan subsidi tak sedikit. Padahal, tujuan pembuatan DME adalah mengalihkan pemakaian LPG yang menyedot anggaran Rp 19 triliun per tahun untuk subsidi dan pengadaannya.
Maka kemandirian energi yang berbasis masyarakat adalah pilihan terbaik. Kesediaan masyarakat membeli energi terbarukan karena kesadaran akan bahaya emisi karbon yang mengakibatkan pemanasan global bisa menjadi pasar menjanjikan. Jika produksinya sudah massal, harga energi terbarukan juga akan dengan sendirinya turun.
Di Bali, seorang petani sudah mandiri secara energi dengan memanfaatkan sampah organik dan kotoran hewan menjadi biogas. Su-re.co, lembaga gajian energi di Bali, yang mendampingi para petani kopi dan coklat mendorong mereka memakai biogas untuk produksi komoditas itu. “Kami beli kopi dan coklat dengan harga lebih mahal sebagai insentif,” kata Fabian Peri Wiropranoto, asisten peneliti su-re.co.
Dalam zoominar itu su-re.co menghadirkan Rudi, petani yang memakai biogas. Sehari ia memerlukan dua ember kotoran kambing dan sampah organik untuk memasak. Seluruh keperluan memasak Rudi sekeluarga ditopang oleh gas dari kotoran dan sampah itu yang dialirkan ke kompor khusus.
Di Bali, menurut Fabian, biogas rumahan masih terkendala teknologi dan kesadaran pemakaiannya. Belum banyak petani yang bersedia memakai kotoran hewan untuk menghasilkan gas dan sampah organik. “Ke depan kami akan ajukan penghindaran emisi karbonnya untuk menambah pendapatan petani,” katanya.
Dari segi prospek, kata Fabian, biogas amat menjanjikan karena bahan bakunya tersedia dan teknologinya tak mahal. Selain manfaatnya yang banyak, biogas lebih mungkin dikembangkan untuk kemandirian energi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Bekerja di Fakultas Kehutanan IPB
Topik :