Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 20 Juni 2021

Bersama Mencegah Desertifikasi

Ada istilah lama dalam kamus iklim yang kurang populer: desertifikasi. Indonesia punya target desertifikasi netral pada 2040.

Kekeringan (Foto: Klimkin/Pixabay)

SEJALAN dengan kampanye global tentang dekade untuk restorasi ekosistem, tanggal 17 Juni lalu menjadi Hari Peringatan Melawan Kekeringan dan Desertifikasi.

Desertifikasi mungkin terdengar kurang familier atau belum sepopuler peringatan terkait lingkungan lainnya, seperti Hari Bumi maupun Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Namun ini tidak kalah pentingnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya restorasi ekosistem di tingkat global maupun lokal. 

Konstruksi Kayu

Setelah melalui sejumlah negosiasi dan perundingan internasional yang cukup panjang, tanggal 17 Juni 1994 menjadi tonggak Konvensi PBB Melawan Desertifikasi atau United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD).

Ini menjadi rangkaian Konvensi Rio de Janeiro pada 1992 setelah dua konvensi lingkungan utama sebelumnya, yaitu Konvensi untuk Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD) dan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pemerintah Indonesia meratifikasi UNCCD pada 1998, dan karenanya memiliki sejumlah komitmen untuk berkontribusi pada visi besar UNCCD.

Visi kerangka kerja UNCCD adalah mewujudkan masa depan yang menghindari, meminimalkan, dan membalikkan desertifikasi. Istilah ini mengacu kepada degradasi lahan dan mengurangi dampak kekeringan dan mencapai dunia yang netral terhadap degradasi lahan. 

Menurut laporan IPBES pada 2018, lebih dari seperempat lahan bumi saat ini terdegradasi, mempengaruhi kehidupan 3,2 miliar orang, terutama petani kecil, mereka yang berada di komunitas pedesaan dan populasi termiskin di dunia. 

UNCCD mendefinisikan desertifikasi atau penggurunan adalah degradasi lahan di daerah gersang, semi-kering, dan sub-lembab kering yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk variasi iklim dan aktivitas manusia. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, lahan kering mengacu pada daerah sub-lembab kering, semi-kering dan kering, dan tidak termasuk gurun.

Dengan kata lain, desertifikasi adalah degradasi lahan yang spesifik terjadi di lahan kering. Ketika degradasi lahan terjadi di lahan kering dunia, ini sering kali menciptakan kondisi seperti gurun.

Bahayanya, ketika tanah menjadi gurun, kemampuannya untuk mendukung populasi manusia dan hewan di sekitarnya menjadi menurun tajam. Lahan menjadi tidak mampu menahan air dan siklus nutrisi pun terhenti.

Berbagai sumber pangan tidak bisa tumbuh karena sulitnya mendapat air, yang kemudian menyebabkan perubahan habitat. Perubahan ini sering kali menimbulkan berbagai masalah kesehatan manusia mulai dari kekurangan gizi, penyakit pernapasan akibat udara berdebu, penyebaran penyakit menular karena terjadi migrasi populasi, dan berbagai penyakit lain yang bersumber dari kekurangan air bersih.

Desertifikasi berisiko menyerang beberapa populasi termiskin dan paling rentan, karena pertanian subsisten banyak berada di daerah yang terkena dampak—secara tidak berkelanjutan, yang selanjutnya menyebabkan erosi.

Desertifikasi menjadi isu yang sangat penting pada negara-negara dengan curah hujan yang sangat rendah, seperti di Afrika. Lahan kering di kawasan ini melingkupi lebih dari 40%, yang menjadi rumah bagi 2,1 miliar orang. Permasalahan kekeringan diperkirakan akan memaksa tergusurnya sekitar 50 juta orang sampai pada tahun 2030. UNCCD memperkirakan pada 2025, sebanyak 1,8 miliar orang akan menderita kelangkaan air mutlak, dan 2/3 dari dunia akan hidup dalam kondisi kekurangan air.

Tidak semua lahan kering di dunia terancam desertifikasi pada tingkat yang sama. Di beberapa wilayah padang rumput (prairies) di Kanada, meski masuk kategori lahan kering, namun memiliki risiko desertifikasi yang rendah.

Walaupun ancaman kekeringan tetap ada, tata kelola air dan lingkungan di Kanada serta keberhasilan mempraktikkan pertanian lahan kering berkelanjutan membantu menurunkan risiko ini. Risiko desertifikasi akan semakin besar pada negara-negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, PDB per kapita yang rendah, hasil panen rendah, tekanan kuat pada ekspansi pertanian, peningkatan tekanan air yang nyata, dan ketergantungan pada impor pangan dari daerah lain. 

Berdasarkan definisi UNCCD itu, secara nasional Indonesia tidak memiliki keterkaitan langsung atau serta merta terancam masalah desertifikasi. Namun degradasi lahan masih menjadi tantangan karena ada sekitar 14 juta hektare lahan kritis. Indonesia rupanya berkomitmen mencapai degradasi lahan netral pada 2040, dengan mengurangi degradasi lahan 27,5 juta hektare, dengan asumsi tak ada degradasi baru 3,2 juta hektare pada 2015-2040.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain