MELALUI Peraturan Pemerintah Nomor 64/2021, pemerintah Indonesia mendirikan Bank Tanah dan segera beroperasi. Banyak yang meragukan fungsinya, terutama apakah lembaga ini benar-benar akan menjamin ketersediaan tanah bagi ekonomi berkeadilan, sesuai tujuan yang tercantum dalam peraturannya. Ataukah hanya akan menjadi instrumen yang semakin meningkatkan ketimpangan akses dan hak atas tanah, dan menjadi penyebab terjadinya korupsi institusional?
Denis F. Thompson (2013) dalam “Two Concepts of Corruption”, menulis bahwa korupsi institusional adalah rusaknya kepercayaan publik yang mengurangi otoritas dan legitimasi pada negara maupun sektor swasta, proses politik, serta akuntabilitasnya. Kerusakan itu terjadi bila publik memandang institusi tidak lagi bisa dipercaya, bahkan bila institusi itu berfungsi sebagaimana mestinya.Begitu kepercayaan publik rusak, kata Thompson, sulit mengembalikannya dan mendorong lingkaran korupsi institusional yang ganas dan menular.
Untuk mengantisipasi peluang korupsi institusional dalam Bank Tanah, kita perlu mempelajari praktik institusi serupa di negara lain. Frank S. Alexander, misalnya, dalam “Land Banks and Land Banking” (2015), menguraikan perkembangan bank tanah di Amerika Serikat dan pusat cadangan tanah di Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Tanpa harus masuk pada perbandingan hukum dan perspektif kebijakan sosial tentang bank tanah antar negara, Alexander menetapkan kemiripan historis melalui satu paralel kunci yang menonjol, baik untuk perbedaan maupun persamaannya, berikut ini:
Pertama, ada tiga perbedaan mendasar bank tanah di Amerika Serikat dan RRT, yaitu perbedaan atas sifat kepemilikan tanah, perbedaan tahap yang dijalankan untuk masuk pada siklus hidup pasar, serta perbedaan sifat otoritas hukum dan politik.
Di RRT, kepemilikan pribadi atas properti jarang terjadi. Hampir semua tanah, saluran air, dan sumber daya alam di bawah kepemilikan dan kendali pemerintah pusat, yaitu Kementerian Pertanahan dan Sumber Daya RRT (MLR). Salah satu pusat cadangan tanah pertama di RRT—dan saat ini yang terkuat dan terbesar—adalah Pusat Cadangan Tanah Shanghai, yang didirikan pada 1996, dengan fungsi utama mengelola transformasi properti milik pemerintah agar bisa masuk ke dalam pengaturan ekonomi pasar. Tanah tersebut digunakan untuk merangsang pembangunan baru melalui seperangkat hak penggunaan tanah yang dinegosiasikan dalam suatu kontrak.
Di Amerika Serikat sebaliknya. Premis awal bank tanah di sana adalah kepemilikan pribadi atas properti, yang tunduk pada berbagai tingkat regulasi pemerintah atas penggunaan lahan. Bank tanah di Amerika Serikat berfokus pada properti milik perorangan atau swasta yang sebagian besar telah ditinggalkan oleh pasar, atau tidak bisa diakses oleh pasar, karena berbagai hambatan hukum dan ekonomi.
Mengomentari sifat bank tanah kedua negara, Kevin O'Brien, dkk dalam “Best Practices in Land Bank Operation” (2005) menyebut bahwa kebijakan bank tanah harus memiliki fokus yang sempit dalam tujuan dan sasaran pemanfaatan kembali tanah-tanah yang dihimpun lembaga ini. Menurut mereka, ini akan menghilangkan tujuan penggunaan lahan yang saling bertentangan dan mencegah konflik kepentingan.
Kedua, dengan demikian, konsep dasar bank tanah terletak pada kedua ujung spektrum pasar. Di pasar swasta yang terus bergerak memakan tanah untuk perumahan mewah, Bank Tanah harus berperan melestarikan ruang publik, termasuk tempat-tempat bersejarah, untuk kebutuhan dan prioritas publik saat ini dan di masa depan. Sebaliknya, di pasar yang runtuh, dengan meninggalkan perumahan kumuh sebagai sampah masyarakat konsumen, Bank Tanah bisa berfungsi untuk mengubahnya menjadi aset produktif.
Untuk menjalankan tugas itu, struktur korporasi Bank Tanah sangat penting sebagai badan hukum independen. Dengan independen, pengambilan keputusan terpisah dari otoritas lembaga negara lain serta cukup fleksibel untuk mengejar tujuan yang terfokus secara spesifik.
Ketiga, terlepas dari perbedaan yang signifikan, ada kesamaan utama bank tanah di Amerika dan Cina. Mereka dibangun dan beroperasi tidak di tingkat nasional tetapi di tingkat lokal. Sehingga bank tanah di kedua negara bisa mewujudkan lebih dari 2.000 pusat cadangan tanah yang berbeda di berbagai tempat hanya dalam beberapa tahun, masing-masing dengan bentuk otoritas dan tanggung jawab untuk transaksi tanah yang berbeda.
Di kedua negara itu, pusat-pusat pemegang otoritas cadangan tanah lokal mendapat keleluasaan relatif besar mengarahkan penggunaan kembali atau penggunaan tanah baru, untuk memenuhi kondisi dan tujuan sosial ekonomi lokal. Hanya saja, tantangan yang mereka hadapi, antara lain, terjebak dalam tekanan harus mandiri secara finansial dan pada saat yang sama harus memenuhi berbagai bentuk kepentingan publik berbasis tanah.
Keempat, ada kecenderungan berbahaya bagi pemerintah daerah bila menganggap Bank Tanah sebagai solusi lengkap atas problem ruang yang mereka hadapi. Bila pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas internal mengelola properti di atas standar, pembentukan Bank Tanah yang stafnya terdiri dari unsur-unsur organisasi daerah, tidak akan mencapai tujuan.
Demikian pula bila pemerintah daerah didominasi oleh pejabat terpilih yang bersikeras mengelola secara mikro setiap keputusan, Bank Tanah tidak akan menghasilkan banyak hal secara efisien, kecuali jika kewenangan tata kelolanya dipisahkan dari pejabat publik terpilih itu. Penyebab korupsi praktik Bank Tanah di Amerika dan Cina lebih sering dipicu oleh situasi ini (Eason, 2015).
Berkaca pada pelaksanaan Bank Tanah di Amerika dan Cina tersebut, serta praktik terbaiknya oleh O'Brien, dkk, isi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan peraturan pemerintah mengenai Badan Bank Tanah, kita bisa melihatnya ada beberapa potensi permasalahan yang mungkin terjadi.
Pertama, berbagai alokasi obyek dan subyek yang menjadi klien Bank Tanah, akan mendorong kontestasi kuasa ataupun konflik kepentingan. Alokasi hak pengelolaan tanah bisa dilakukan kepada instansi pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, Bank Tanah, badan hukum negara/daerah, serta badan hukum yang ditunjuk pemerintah (pasal 138, UU Cipta Kerja).
Demikian halnya dengan alokasi obyek tanah dari Bank Tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria (pasal 126, UU Cipta Kerja dan pasal 2 PP 64/2021).
Kedua, Bank Tanah di Indonesia tidak memenuhi syarat independensi O'Brien, dkk di atas. Badan ini akan dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden dengan para Menteri sebagai komite tertinggi, serta Badan Pengawas yang sebagian anggotanya harus mendapat persetujuan DPR. Modal awal pembentukannya juga disediakan oleh pemerintah sebesar Rp 2,5 triliun (pasal 130-135 UU Cipta Kerja dan pasal 43 PP 64/2021).
Ketiga, Bank Tanah tidak didesentralisasikan seperti di Amerika Serikat maupun RRT. Bank Tanah di Indonesia sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, kecuali dalam bentuk kerja sama (pasal 36 PP 64/2021). Transaksi antara kebutuhan Bank Tanah dan kebutuhan daerah ini berpotensi melahirkan kontestasi kepentingan, sebagaimana banyaknya korupsi alokasi anggaran yang selama ini terjadi.
Keempat, Bank Tanah mempunyai tujuan spesifik alokasi tanah, seperti untuk reforma agraria dengan jumlah luas yang ditetapkan paling sedikit 30% dari luas tanah yang dikelola Bank Tanah (pasal 22 PP 64/2021).
Meski begitu, distribusi tanah oleh Bank Tanah untuk kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi sosial/keagamaan, dan masyarakat ditetapkan oleh pemerintah pusat (pasal 15 PP 64/2021). Ini berarti reforma agraria tidak akan partisipatif, dan melemahkan pelaksanaannya secara keseluruhan. Selain itu tidak ada definisi mengenai “tanah” yang semestinya sudah dibebaskan dari berbagai hak masyarakat lokal maupun adat yang mungkin masih ada di dalamnya.
Beberapa potensi kelemahan operasional Bank Tanah di atas, apabila benar-benar terjadi, sudah cukup melahirkan korupsi institusional. Untuk itu sejalan dengan persiapan pendiriannya, sangat perlu ada mitigasi risiko. Apabila tidak, korupsi institusional akan terjadi dan modal awal yang disediakan pemerintah untuk pendiriannya akan sia-sia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :