Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 28 Juni 2021

Syarat Mengelola Hutan Secara Lestari

Kita sering mendengar jargon pengelolaan hutan secara lestari. Apa saja syarat-syarat untuk mencapainya?

Penduduk di Gunung Kidul sedang mengangkut kayu jati yang mereka panen dari areal KPH Yogyakarta. Skema perhutanan sosial membuat mereka bisa memanen kayu dari hutan negara (Foto: Dok. FD)

JARANG sekali kita membicarakan kelestarian sumber daya alam dari sisi ekonomi dan faktor-faktor pembangunan yang lebih luas. Kelestarian kita bahas terbatas pada seputar apa yang harus dilakukan usaha komersial atau lembaga-lembaga pemerintah. Dalam bidang kehutanan, sifatnya lebih praktis dan teknis: dari konservasi, merehabilitasi hutan, atau menanam pohon. 

Tentu saja hal-hal itu penting. Tapi setelah sekian tahun dan hasilnya kita tahu, perlu telaah lebih jauh mewujudkan kelestarian dari sekadar aspek teknis. Kita mesti memulainya dari pandangan bahwa kelestarian sumber daya alam ditentukan oleh kebijakan pemerintah, yang bisa mendukung atau meniadakan upaya-upaya mewujudkan kelestarian itu.

Edward B. Barbier dalam Natural Resources and Economic Development (2019), menegaskan beberapa hal terkait pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dalam konteks ekonomi pembangunan. Saya sarikan berikut ini.

Pertama, eksploitasi memiliki “keberlanjutan yang lemah” dalam pembangunan di wilayah yang sumber daya alamnya melimpah. Sebab, dalam keadaan seperti itu, pembangunan mesti memastikan bahwa pengelolaannya efisien sehingga tiap rente—selisih pendapatan dikurangi biaya dan keuntungan normal—bisa maksimal. Selain itu, rente dari menipisnya modal alam diinvestasikan ke dalam aset produktif dalam ekonomi. Pembangunan seperti itu berhasil selama zaman keemasan pembangunan berbasis sumber daya pada 1870–1913.

Kedua, pembangunan berbasis sumber daya alam di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah saat ini kurang berhasil. Sebab, pembangunan di negara berkembang sering kali jauh dari persyaratan minimum mencapai keberlanjutan. Nilai rente yang sedikit tidak menghasilkan investasi yang cukup dalam aset produktif dan di sektor ekonomi yang lebih dinamis. Selain itu terdapat ketergantungan ekonomi secara keseluruhan pada ekspor produk primer dan sebagian besar penduduk perdesaan terkonsentrasi di daerah pertanian marginal dan tingkat kemiskinan yang tinggi.

Ini gejala “lingkaran setan”, karena berjalan terus melalui proses yang tidak adil. Nilai rente diterima oleh individu-individu kaya yang meningkatkan insentif untuk perilaku “mencari rente”. Perilaku ini juga didukung oleh distorsi kebijakan yang memperkuat pola alokasi dan distribusi sumber daya alam.

Ketiga, model pembangunan berbasis sumber daya alam dan pertumbuhan jangka panjang masih mungkin memutus lingkaran setan itu. Dalam keadaan yang tepat, eksploitasi sumber daya dan perluasan lahan bisa sejalan dengan keberhasilan pembangunan berbasis sumber daya dalam ekonomi kecil dan terbuka.

Kondisi itu meliputi: (1) perubahan teknologi untuk meningkatkan nilai sumber daya alam, (2) keterkaitan yang kuat antara sektor sumber daya alam dan manufaktur; dan (3) limpahan pengetahuan substansial guna pengembangan kapasitas di seluruh produsen dalam perekonomian, termasuk kebijakan dan investasi tambahan untuk meningkatkan peluang ekonomi dan mata pencaharian masyarakat miskin perdesaan dibanding hanya mengandalkan perluasan lahan dan migrasi perkotaan sebagai saluran utama untuk mengentaskan kemiskinan pedesaan. 

Serta (4) sumber daya alam diekstraksi secara efisien, yaitu tidak ada kegagalan pasar dan kebijakan yang mendorong perilaku perburuan rente, reformasi kebijakan pemerintah yang menguntungkan investor kaya di pasar untuk sumber daya alam yang berharga termasuk tanah yang subur, korupsi, atau akses terbuka terhadap sumber daya alam. 

Keempat, untuk mewujudkan pembangunan berbasis sumber daya alam yang lestari tampak sulit bagi banyak negara dengan ekonomi berpenghasilan rendah dan menengah. Akan tetapi, beberapa negara seperti Botswana, Malaysia, dan Thailand bisa menjadi contoh instruktif bagaimana tujuan itu tercapai.

Selain itu, pengalaman Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan menunjukkan bahwa kebijakan pertanahan mereka juga mengubah jalur pertumbuhan ekonomi dan mengarah pada tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi secara permanen serta menaikkan mata pencaharian masyarakat miskin perdesaan.

Dari empat rumusan Barbier itu, logika yang muncul adalah jika kehutanan dipandang sebagai kegiatan ekonomi maka sektor ini akan menghasilkan rente. Rente ini, selain perlu dialokasikan secara adil, juga perlu untuk mengembangkan ekonomi yang lebih dinamis.

Pada akhirnya manfaat ekonomi yang dinamis itu untuk mengelola hutan. Syaratnya, mencegah pemburu rente masuk dalam siklus akibat kebijakan pemerintah yang menguntungkan pelaku kaya, peluang korupsi, akses terbuka hutan, serta sistem politik yang memungkinkan syarat kelestarian itu bisa diwujudkan.

Berdasarkan cara berpikir seperti itu, berbagai upaya pelestarian hutan di Indonesia bisa kita lakukan dengan menerapkan kebijakan berikut ini:

Pertama, untuk meningkatkan nilai rente ekonomi salah satu caranya dengan meningkatkan produktivitas hutan dan menghindarkan berbagai pungutan liar. Sebab meningkatnya produktivitas memungkinkan naiknya nilai rente serta semakin kokohnya hutan agar tidak dikonversi untuk mendapatkan komoditas yang nilainya lebih tinggi. Manfaat rente yang maksimal tak akan mengganggu operasi perusahaan apabila pungutan liar sangat minimal atau tidak ada sama sekali.

Kedua, nilai rente tersebut perlu diprioritaskan pemanfaatannya untuk mengembangkan ekonomi masyarakat yang secara bersamaan terhubung dengan industri manufaktur untuk meningkatkan nilai tambahnya. Atau, dalam pemanfaatan jasa lingkungan seperti wisata alam, masyarakat terhubung dengan infrastruktur untuk memudahkan aksesnya.

Ketiga, mencegah akses terbuka hutan. Ini berarti bahwa pengukuhan kawasan hutan harus selesai, bukan hanya secara legal, juga secara substansial, dalam arti hasilnya diakui semua pihak. Sifat hutan secara ekonomi institusi adalah sulit mengeluarkan pihak-pihak yang tidak berhak (high exclusion cost). Karena itu negara dan perusahaan saja tidak mungkin bisa menjaganya. Masyarakat harus menjadi bagian dari sistem ekonomi kehutanan sehingga dengan sendirinya mereka menjaga hutan karena ada kepentingan ekonomi mereka di sana.

Keempat, kebijakan nasional dan daerah perlu diarahkan membentuk kelembagaan kehutanan yang efisien, tanpa pungutan liar, tanpa korupsi dan pembiaran terhadap perilaku pemburu rente. Persoalan tata kelola ini penting untuk menentukan apakah hutan bisa dikelola secara lestari atau tidak.

Persoalan tata kelola ini tak semata-mata persoalan moral, tapi terkonstruksi di dalam struktur pemerintahan dan peraturan-perundangan berupa tindakan korupsi menggunakan instrumen negara (state capture corruption). Dalam praktiknya, korupsi masif itu membentuk jaringan dalam kehidupan sosial-politik kita. 

Melestarikan sumber daya hutan tak hanya harus ditopang peraturan-perundangan yang baik, juga instrumen kebijakan ekonomi yang tepat, serta kelembagaan yang bersih. Tanpa itu semua, upaya melestarikan hutan utopia belaka.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain