Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 29 Juni 2021

Kehutanan Setelah Kayu

Ada gagasan “kehutanan pasca kayu”. Akankah manajemen hutan Indonesia lestari jika meninggalkan produk kayu?

Kayu jati dari hutan rakyat di Gunung Kidul, Yogyakarta (Foto: Dok. FD)

SEJAK 28 Juni 2021 ada serial webinar dengan mengangkat tema “Kehutanan Paska Kayu (KPK)”. Webinar ini penting terutama karena frase “pasca kayu” yang menarik dan agaknya akan mendasari kebijakan pengelolaan hutan ke depan.

Frasa “pasca kayu” secara bahasa agak aneh karena “pasca” adalah bentuk terikat pada kata di belakangnya yang mengandung pengertian “proses”. Maka kita mengenal bentuk “pascaoperasi”, “pascasarjana”, “pascakrisis”. “Pasca kayu” tidak lazim jika merujuk pada kayu sebagai benda, kecuali jika maksudnya “pascapengelolaan kayu”, meskipun tetap tidak umum karena bentuknya tak mengikuti kaidah penulisan bahasa Indonesia.

Konstruksi Kayu

Di luar soal bahasa, saya mencatat beberapa hal setelah mengikuti serial pertama webinar ini.

Manajemen hutan ke depan (mungkin 5, 10, 20 tahun ke depan) akan berorientasi pada—dan mengutamakan—pengelolaan berbasis lanskap. Sustainable Forest Management (SFM)  atau Sustainable Landscape Management (SLM) akan jadi instrumen kontrol yang mesti lebih dikuatkan untuk memastikan keberlanjutan: hutan bermanfaat multidimensi terus menerus dengan lingkungan yang terus terjaga.

Secara tersirat ada keinginan bahwa keberadaan fisik botanis hutan sebagai ekosistem utuh menjadi produk sendiri yang mesti diperjuangkan. Ini sejalan dengan para penggagas ekoturisme seperti Fennel (1999) yang mempopulerkan konsep mengelola hutan sebagai “selling nature by saving it”.

Selain itu ada pula produk barang dan jasa lingkungan dari hutan. Kayu dan nonkayu ada di dalamnya. Perspektif ini, tentu bukan hal baru.

Hampir semua substansi paparan webinar ini secara esensial memberikan penegasan poin di atas, terutama saat menerawang hutan masa depan yang maju. Sambil memutar orientasi ke multiproduk dan multimanfaat nonkayu, hampir semua pembicara menguatkan pula bahwa permintaan akan kayu gelondongan dan produk berbasis kayu masih menjanjikan, terutama di level global.

Ahmad Maryudi dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan data dan informasi bahwa tren proyeksi global semua produk hutan akan terus meningkat sampai 2030. Herry Purnomo dari IPB University juga mengingatkan perlunya meningkatkan pendayagunaan instrumen sertifikasi atas produk kayu dan produk berbasis kayu. Ia bahkan menyinggung sertifikasi serupa untuk produk hutan nonkayu.

Dari dua pemapar webinar itu terlihat jelas bahwa pengelolaan hutan akan maju jika ada keseimbangan memanfaatkan multiproduk secara proporsional, tentu dengan dukungan skala prioritas dan kadar relevansi secara objektif. Memanfaatkan kayu skala komersial di hutan lindung dan atau kawasan konservasi, misalnya, kurang relevan dan tak elok masuk prioritas

Sulit disangkal berbagai poin di atas sebagai sebuah penegasan bahwa kehutanan yang maju adalah kehutanan yang tidak menegasikan atau bahkan meninggalkan kayu. Ilustrasi Herry Purnomo tegas sekali: “Bagaimana kehidupan keseharian masyarakat Jepara tanpa kayu?”

Sebaliknya ilustrasi pidato Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agak sedikit mengganggu ketika ia mengatakan bahwa “Zaman keemasan kayu sudah berlalu”. Tentu ini perlu klarifikasi lebih lanjut, terutama terkait konsistensi saat “kehutanan pasca kayu” atau apa pun frase dan pemaknaannya kelak ketika menjadi produk kebijakan.

Dari ruang diskusi di webinar ini tidak sedikit orang yang bingung dengan frase itu. Sekalipun seorang penggagasnya menyilakan peserta menafsir secara bebas dan leluasa frasa itu, banyak pihak mengkhawatirkan frasa ini disalahtafsirkan. Salah satu kemungkinannya, frasa itu dengan sengaja disalahafsirkan sebagai "mengubah bentang hutan (alam) jadi nonhutan".

Itu artinya kebijakan “kehutanan pascakayu” bakal jadi pintu masuk yang sangat lebar dan berpotensi semakin meningkatkan deforestasi dan degradasi hutan ke depan. Kekhawatiran ini nyambung, kalau substansi paparan Hashim Djojohadikusumo disalahrumuskan tata kelolanya kelak.

Maka perlu ada pelurusan frasa “kehutanan pasca kayu” bukan sekadar persoalan semantik. Ia bakal punya implikasi kuat, bahkan terhadap rumusan konsep dan teori mengenai hutan dan kehutanan ke depan. Juga rumusan operasionalnya nanti.

Dengan pelbagai pertimbangan itu, mempromosikan “kehutanan pasca kayu” sebagai tema webinar rasanya kurang tepat. Perlu frasa lain dengan diksi yang lebih pas untuk meluruskan dan sekaligus menghilangkan kebingungan dalam pengelolaan hutan. Apa itu?

Mungkin ini bisa jadi tema diskusi sendiri: apa frasa yang tepat dalam pengelolaan hutan lestari ke depan dibanding "kehutanan pascakayu". Masih dengan kayu, tanpa kayu, atau kombinasi multiproduk. Sisa empat seri webinar rasanya perlu membahas soal penting ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peminat isu ekonomi lingkungan hidup dan sumber daya alam

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain