Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 01 Juli 2021

Bisakah Food Estate Jadi Solusi Krisis Pangan?

Berdalih mencegah krisis pangan akibat pandemi covid-19, pemerintah membangun food estate di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Perlu desentralisasi dan kemandirian.

Agroforestri, menggabungkan tanaman pertanian dan kehutanan, satu cara dalam ketahanan pangan dalam konsep food estate (Foto: Dok. FD)

TAHUN lalu Badan Pangan Dunia (FAO) memperingatkan munculnya ancaman krisis pangan akibat pandemi covid-19. Pada 29 Juni 2021, para menteri anggota G20 melakukan pertemuan di Italia membahas ancaman tersebut.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat berpidato dalam pembukaan pertemuan itu mengatakan bahwa pandemi membuat situasi yang lebih sulit dalam menciptakan ketahanan pangan. “Jika tak segera diatasi akan menciptakan masalah kesehatan dan mengganggu harapan hidup,” katanya.

Konstruksi Kayu

Pemerintah Indonesia merespons peringatan FAO itu dengan membangun lumbung pangan atau food estate. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Oktober tahun lalu bahkan membuat aturan khusus membuka hutan lindung untuk keperluan ini.

Para pegiat lingkungan dan pakar gizi menilai respons pemerintah itu tidak tepat. Sebab, problem pangan di Indonesia, kata mereka, bukan pada ketersediaannya, melainkan pada distribusinya. Indonesia yang berpulau-pulau menyulitkan penyebaran pangan di tengah kebijakan pembatasan interaksi sosial.

Menurut Presiden Joko Widodo, anggaran yang disediakan untuk mencegah krisis pangan sebesar Rp 104,2 triliun. Di dalamnya ada anggaran untuk membangun lumbung pangan di Kalimantan, Sumatera, dan Papua.

Anggaran disebar ke sejumlah kementerian, di antaranya Rp 34,3 triliun untuk Kementerian Pekerjaan dan Perumahan Rakyat (PUPR), Rp 21,8 triliun untuk Kementerian Pertanian, dan Rp 6,7 triliun untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Pekan lalu, DPR meminta pemerintah mengevaluasi proyek yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 ini karena berpotensi tumpang tindih anggaran dan target produksi yang tidak terukur.

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, khawatir pembangunan lumbung pangan akan mengulang kegagalan program serupa di masa lalu. Apalagi lumbung pangan ala Presiden Joko Widodo berada di areal yang sama di Kalimantan Tengah, yakni proyek lahan gambut sejuta hektare.

Kegagalan Soeharto membangun lumbung pangan mengakibatkan bencana lingkungan yang masif di sana karena pembukaan lahan gambut untuk pertanian. “Proyek ini gagal karena kondisi tanah yang tidak cocok dengan jenis tanamannya. Selain itu, praktik pengeringan lahan gambut dengan pembukaan kanal-kanal besar menyebabkan terjadinya lahan gambut menjadi rusak dan kehilangan fungsinya sebagai tandon air,” kata Iola.

Tahun lalu, pemerintah memulai proyek lumbung pada lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG) seluas 30.000 hektare dari target 770.6601 hektare di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Selain referensi kegagalan, pembukaan lahan gambut melepaskan emisi yang disimpannya yang menyebabkan krisis iklim.

Selain Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membuka hutan untuk food estate di Merauke, Papua. Pelbagai izin usaha lahan untuk perkebunan tebu dan sawit menuai protes karena menimbulkan sejumlah masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan serta perlawanan masyarakat adat.

Di Merauke, kata CEO Yayasan Econusa Bustar Maitar, lumbung pangan tidak kunjung jadi. “Tapi pembukaan hutannya jalan terus,” katanya. Menurut dia, cara tepat menyediakan pangan di Papua melalui intensifikasi pada lahan sawah daerah transmigran dengan dimaksimalkan produktivitasnya.

Menurut Bustar pemerintah tidak harus mengalihfungsikan lahan dalam jumlah besar dalam mengejar ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan bisa melalui dukungan bagi komunitas terkecil seperti perkampungan. “Masyarakat bisa memproduksi pangannya sendiri dan sejalan dengan mitigasi dampak krisis seperti pada pandemi,” kata dia. 

Econusa coba membangun lumbung pangan dengan konsep kemandirian di Gane, Posi-posi, dan Samo, Maluku Utara pada 2018. Sudah dua dekade masyarakat di tiga kampung tersebut meninggalkan kebiasaan bercocok tanam padi karena mengandalkan pasokan beras dari wilayah lain.

Dengan mendatangkan bibit dari kampung lain, pada 2019 masyarakat tiga kampung bisa panen masing-masing 50 ton gabah. Ketika pandemi datang dan logistik tak masuk ke sini, masyarakat tiga kampung di Maluku Utara itu sudah memiliki stok beras.

Ahli nutrisi dan gizi Mulia Nurhasan menambahkan dalam ketahanan pangan nada dua parameter, yakni keberlanjutan dan keberdayaan atau kemandirian. “Konsep food estate tidak menjamin aspek ketahanan pangan dari segi aksesibilitas dan manfaatnya,” kata dia.

Di Pulang Pisau, penduduk transmigran diajak kembali menanam padi di lahannya dengan cara bekerja di perusahaan yang menanam pagi. Cara serupa dilakukan di Sumatera Utara. Menurut Mulia, cara seperti ini, selain mendorong ketergantungan pada komoditas tertentu, lumbung pangan juga membuka hutan dalam jumlah besar.

Di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, hutan dibuka untuk kebun singkong. Dengan hanya fokus pada satu komoditas tertentu, asupan gizi masyarakat di sekitarnya juga cenderung menurun karena kearifan lokal masyarakat mengakses pangan di hutan sekitar mereka yang beragam.

Studi Center for International Forestry Research (CIFOR) menemukan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mengonsumsi lebih banyak sayur dan ikan, sementara di daerah dengan deforestasi tinggi masyarakatnya lebih banyak mengonsumsi pangan olahan dan minuman manis, yang mendorong naiknya sejumlah penyakit gula.

Mulia meminta pemerintah mengkaji kembali proyek lumbung pangan yang cenderung fokus pada beras dan komoditas karbohidrat. Ia menganjurkan program pangan tetap melihat kebutuhan pangan dan gizi yang berbeda tiap wilayah. 

“Kebijakan pangan yang mempertimbangkan keberdayaan masyarakat lokal dan mengedepankan desentralisasi bisa meningkatkan ketahanan pangan dan gizi secara berkelanjutan,” kata Mulia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain