EKOSISTEM gambut Indonesia menjadi contoh sempurna hutan tropika yang lengkap dalam kondisi klimaks. Dengan vegetasi yang heterogen, tanah gambut berlapis-lapis dan air rawa yang menyatu dengan ekosistem hutan hingga menjadi ekosistem hutan rawa gambut.
Dengan ekosistem seperti itu, gambut menjadi penyerap dan penyimpan emisi karbon sangat besar. Karena itu rawa gambut mudah terbakar. Dalam kebakaran gambut di Indonesia 1997-1998, jumlah karbon yang dilepas sebanyak 2,5 miliar ton karbon setara CO2. Sedangkan kebakaran 2002-2003 ekosistem gambut melepaskan 200 juta hingga 1 miliar ton karbon ke atmosfer.
Alih fungsi rawa gambut untuk perkebunan sawit berperan besar dalam proses pengeringan hutan gambut yang menyebabkan karbon terlepas ke atmosfer. Karena itu penyelamatan hutan gambut bisa mencegah terlepasnya karbon lebih banyak per satuan luas dibandingkan usaha pencegahan deforestasi.
Menurut data Badan Restorasi Gambut (sekarang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) tahun 2020, total luas gambut di Indonesia mencapai 13,34 juta hektare, dengan lahan gambut rusak 2,67 juta hektare, yang terbagi dalam beberapa bagian.
Kawasan budidaya berizin baik kehutanan maupun perkebunan seluas 1.784.353 hektare, kawasan budidaya tidak berizin 400.458 hektare, dan kawasan lindung 491.791 hektare, lahan non konsesi 892.248 hektare. Alih fungsi hutan gambut untuk membangun Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, merupakan contoh nyata kerusakan ekosistem hutan gambut seluas satu juta hektare.
Dari cerita PLG kita tahu lahan gambut tidak cocok untuk tanaman padi. Sebagian besar keluarga transmigran yang dahulu ditempatkan di kawasan tersebut lalu meninggalkan lokasi food estate itu.
Pembukaan hutan gambut untuk PLG dengan sistem tebang habis membuat lingkungan rusak parah. Fungsi “spon” ekosistem hutan gambut yang mampu menyimpan air pada musim hujan, sehingga gambut tetap basah di musim kemarau.
Pemulihan lahan gambut membutuhkan waktu puluhan tahun. Cara memulihkannya melalui rehabilitasi, suksesi alami, restorasi. Cara yang paling mudah adalah suksesi alami karena proses pemulihannya diserahkan kepada alam. Suksesi alami dilakukan terhadap ekosistem gambut berkanal yang telah bersekat dan tidak terdapat gangguan dari aktivitas manusia. Masalahnya, suksesi alami membutuhkan waktu yang cukup lama.
Cara cepat pemulihan gambut adalah restorasi, dengan menjadikan ekosistemnya atau bagian-bagainnya berfungsi kembali seperti semula, melalui pembangunan infrastruktur pembasahan kembali gambut yang meliputi bangunan air, penampungan air, penimbunan kanal dan atau pemompaan air. Bangunan air yang dimaksud adalah sekat kanal, embung dan bangunan air lainnya.
Sejak tahun 2016, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) yang salah satu tugasnya mengatur dan memfasilitasi restorasi gambut seluas 2 juta hektare hingga 2020 di tujuh provinsi: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Restorasi gambut dengan cara tinggi air hanya mampu menekan titik api agar tidak terjadi kebakaran hutan di musim kemarau. Restorasi gambut belum dan tidak mampu mengembalikan vegetasi aslinya, tanpa adanya upaya penanaman kembali (revegetasi) jenis kayu-kayuan yang mampu bertahan hidup dalam habitat ekosistem hutan gambut berupa kegiatan rehabilitasi.
Rehabilitasi yang diartikan sebagai revegetasi adalah cara memulihkan gambut dengan menanam vegetasi kayu-kayuan. Sewaktu bekerja di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Kahayan di Kalimantan Tengah tahun 2000, saya memimpin proyek rehabilitasi lahan gambut di Kabupaten Kuala Kapuas. Bentuknya membuat model uji coba beberapa blok/petak penanaman beberapa vegetasi lokal yang mampu tumbuh kembali di lahan gambut yang telah rusak di beberapa tempat yang habitatnya berbeda-beda.
Rekomendasi IPB (1999) diuji coba pada beberapa lokasi dengan jenis lokal gelam (Melaleuca leucadendron), hasilnya gagal. Pembibitan anakan maupun biji ternyata sulit. Faktor hidrologi yang ekstrem pada daerah PLG sulit terkendali.
Musim hujan, air melimpah dan menggenang membuat anakan vegetasi jenis lokal tak bisa tumbuh bahkan mati. Rekomendasi Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Banjarbaru (sekarang Balai Penelitian Kehutanan) membuat galengan untuk menahan air tidak bisa membantu. Ketika kemarau semak di sekitarnya menjadi kering dan mudah terbakar.
Rehabilitasi hutan gambut dengan cara revegetasi adalah cara yang paling sulit dalam memulihkan ekosistem rawa gambut. Tingkat keberhasilannya rendah. Pemulihan lahan gambut yang paling efektif adalah cara gabungan antara restorasi dan suksesi alami.
Restorasi bisa mempertahankan kandungan air tanah dengan menjaga tingkat kebasahannya agar tak terbakar. Suksesi alami mampu memberi ruang dan tempat bagi jenis-jenis vegetasi lokal untuk tumbuh secara alami dengan cara dijaga agar tidak mendapat gangguan aktivitas dari manusia dan kebakaran hutan.
Pelajaran yang berharga bagi kita manusia adalah sekali ekosistem hutan alam gambut primer rusak, sekali itu sudah kita akan sulit mengembalikan kondisi seperti semula. Maka rencana food estate di lahan gambut menjadi mencemaskan karena gambut yang rusak itu akan terus dimanfaatkan, bukan dipulihkan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :