MAJALAH Forest Digest, edisi April-Juni 2020 menerbitkan tulisan Dodik Ridho Nurrochmat, guru besar kebijakan kehutanan Fakultas Kehutanan IPB University, yang cukup menarik tentang multiusaha di hutan produksi. Sebagai praktisi kehutanan, saya membaca berulang-ulang untuk mengerti dan memahami maksud dan tujuan tulisan tersebut.
Secara ekonomi riil, nilai lahan hutan masih sangat rendah sehingga memicu konversi hutan atau deforestasi. Akibatnya, cepat atau lambat, lahan hutan akan dikonversi. Oleh karena itu cara yang paling logis dan efektif untuk menurunkan laju konversi hutan adalah dengan meningkatkan nilai riil lahan hutan sehingga lebih tinggi dari alternatif penggunaan lahan lainnya. Untuk menaikkan nilai hutan Profesor Dodik mengajukan multiusaha hortikultura.
Persepsi umum bahwa hutan secara ekonomi tidak kompetitif dibandingkan dengan sektor lain harus dibantah dengan menunjukkan bukti yang empiris. Faktanya, di beberapa daerah banyak kreativitas masyarakat kelompok tani hutan (KTH) dalam memilih berbagai komoditas kehutanan terbukti mampu mengungguli pendapatan berlipat lipat dari pendapatan primadona di bidang agro saat ini.
Multiusaha kehutanan diartikan sebagai penerapan beberapa usaha oleh unit manajemen di areal hak pengelolaan hutan, izin usaha pemanfaatan hutan (kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan), pemungutan hasil hutan, perhutanan sosial sebagai upaya mengoptimalkan produktivitas kawasan hutan terutama hutan produksi. Konsep multiusaha cukup satu izin usaha untuk seluruh aktivitas bisnis perusahan di dalam kawasan hutan.
Saat ini pengembangan model multiusaha kehutanan mendapat momentum yang tepat di tengah pandemi covid-19, khususnya berkaitan penyediaan kebutuhan pangan. Model multiusaha yang mengintregasikan pemanfaatan hasil hutan kayu dengan hasil hutan bukan kayu berupa tanaman atau komoditas semusim menjadi solusi efektif antisipasi krisis pangan.
Menurut Direktur Usaha Jasa Lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu KLHK, multiusaha kehutanan bukan izin baru. Secara teknis kebijakan multiusaha adalah pemberian izin mengembangkan jenis usaha lain selain memproduksi kayu. Nanti, pemilik konsesi diminta merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan dengan memasukkan bisnis non kayu.
Bisakah konsep ini direalisasikan setelah terbit UU CIpta Kerja dan PP 23/2021? Apa saja kelemahan multiusaha kehutanan di lapangan?
UU Cipta Kerja tidak menyebut multiusaha kehutanan. Kata ini muncul dalam dalam PP no. 23/2021 pasal 149. Multiusaha kehutanan meliputi kegiatan: a) Pemanfaatan Kawasan; b) Pemanfaatan Jasa Lingkungan; c) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; d) Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu; e. Pemungutan Hasil Hutan Kayu; dan/atau f) Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu, tanpa adanya penjelasan lebih lanjut tentang multiusaha kehutanan.
Pembatasan jumlah perizinan berusaha dapat diberikan paling banyak dua perizinan berusaha tanpa ada penjelasan lokasi yang sama atau berbeda. Dengan demikian, satu perizinan berusaha untuk beberapa jenis kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi tidak berlaku dalam PP ini. Karena terbit sebelum UU Cipta Kerja dan PP 23/2021, peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan dan Produksi Lestari (PHPL) KLHK tentang multiusaha tidak boleh bertentangan dengan kedua regulasi di atasnya.
Dari segi industri, multiusaha juga tak menguntungkan. Setelah 2000, industri kayu kolaps karena biaya produksi lebih besar dari niali jual kayu. Maka multiusaha tentu akan membebani arus modal keuangan perusahaan yang sedang tidak sehat saat ini.
Dari aspek agroklimat, multi usaha kehutanan pada areal konsesi (HPH maupun HTI) haruslah dikaji lebih cermat lagi. Apabila multiusaha kehutanan pada areal konsesi yang tersisa sekarang (HPH dengan luas 18,7 juta hektare dan HTI dengan luas 11,3 juta hektare) diarahkan untuk penyediaan pangan dengan pola agroforestri juga mungkin tidak cocok.
Lahan konsesi umumnya berjenis podsolik merah-kuning yang miskin hara dan mempunyai keasaman yang tinggi (tanah bergambut). Sehingga jika dipaksakan untuk budi daya tanaman pangan perlu perlakukan khusus.
Pengapuran untuk membuat tanah menjadi basa dan pemupukan dengan dosis yang tinggi membutuhkan biaya tinggi. Hitung-hitungan secara ekonomis tidak akan menguntungkan bagi perusahaan pemegang konsesi.
Dari sisi penyediaan tenaga kerja yang akan terlibat dalam multiusaha kehutanan juga perlu dipertanyakan. Multiusaha kehutanan untuk penyediaan pangan, dis amping padat modal, juga membutuhkan padat karya (tenaga kerja) yang cukup banyak yang tidak sama dengan usaha pemanfaatan kayu yang selama ini dilakukan.
Jika hutan akan didorong menjadi usaha penyedia pangan, mengapa taka memakai skema perhutanan sosial yang luasnya 12,7 juta hektare saja? Program ini padat karya yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Multiusaha kehutanan tidak sekadar aspek eknomis. Ada aspek fisik dan sosilogi yang menyertainya. Sebagai konsep, multiusaha kehutanan di hutan produksi perlukajian mendalam serta perlu mengacu kepada UU Cipta Kerja dan aturan turunannya. Meskipun Profesor Dodik Ridho Nurrohmat telah menunjukkan studi-studi terbaru tentang keuntungan ekonomi, sosial, dan lingkungan dari praktik multiusaha.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :